"Beneran tidak mau diantar?"
"Iya, terima kasih."
Yusuf melambaikan tangan dan meninggalkanku. Lalu aku melangkah masuk ke dalam cafe. Perempuan berkulit putih inipun memandangku dengan pandangan mematikan. Ahh, aku jadi salah tingkah.
"Permisi," ucapku.
"Silahkan, Bu," balas perempuan cantik itu.
Aku mengambil handbag di atas kursi, lalu duduk di sebelah Adam. Dia memandangku begitu dalam, hingga debaran aneh menyerangku detik ini. Tuhan, ada apa dengan dia?
"Kok lama sih, teleponnya. Dianggurin gitu aja aku ini." Adam mengungkapkan perasaannya dengan mimik masam.
"Ini siapa Adam?"
Aku tersenyum dan terdiam. Mengharap dia memberikan jawaban kepada perempuan yang tidak kukenal ini. Lagipun perempuan itu juga bukan temanku. Biarlah dia saja yang menjelaskannya.
Adam memandang perempuan itu, lalu beralih menatapku. Hatiku sudah kebat-kebit, diliputi perasaan gelisah. Khawatir rahasia kami terbongkar. Apakah ini bermaksud aku lebih senang berselindung dari status kebenaran, kah? Entahlah! Semua hal yang terjadi ini sangat tumpang tindih.
"Dia ... temanku di kampung. Benarkan Sarah?"