Mohon tunggu...
Chevyco Hendratantular
Chevyco Hendratantular Mohon Tunggu... Freelancer - Sarjana Arkeologi, Pekerja Industri Kreatif

Sarjana Arkeologi, tertarik dengan komunikasi sains dan budaya dan apapun yang berhubungan dengan Ke-Indonesia-an

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Jagat Sinema Bumilangit, Suguhan Cerita yang Akan Lebih Epik dari MCU

8 September 2019   23:03 Diperbarui: 9 September 2019   03:43 3582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jagat Sinema Bumilangit (sumber: instagram.com/jokoanwar)

Siapa yang belum menonton film Gundala? Bagi yang belum menonton sepertinya film ini adalah tontonan wajib bagi seluruh rakyat Indonesia yang sudah berusia 13 tahun keatas. 

Anjuran saya ini bukanlah semata-mata propaganda untuk mencintai dan membeli produk-produk dalam negeri layaknya Maspion dengan iklan-iklannya di TV, namun film ini memang film yang akan menjadi sejarah dalam industri perfilman Indonesia. Film Gundala adalah film yang masuk ke dalam jajaran film tanah air dengan anggaran produksi termahal.

Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Tahir Saleh dari CNBC Indonesia, Neil Ricardo Tobing, Direktur Visi Media Asia (VIVA) salah satu perusahan penyokong Jagat Sinema Bumilangit, film besutan sutradara Joko Anwar ini  setidaknya menghabiskan dana hingga 30 miliar lebih untuk biaya produksi filmnya. Sebuah angka yang bisa dibilang fantastis dimana rata-rata film Indonesia biasanya hanya menghabiskan setengah dari anggaran tersebut.

Dana memang menjadi salah satu patokan untuk menilai potensi kualitas dan keberhasilan sebuah film, tapi letak daya tarik film Gundala tersebut justru bukan hanya berasal dari dana yang digelontorkan dalam pembuatannya, namun dari penyajian filmnya dan epos cerita jagat sinema pada latarnya. 

Film Gundala bisa dikatakan sebagai terobosan yang baru dan segar dalam industri film tanah air. Di tengah keseragaman beberapa film Indonesia yang itu-itu saja, film Gundala hadir untuk menjadi sebuah suguhan baru yang benar-benar memanjakan mata, hati, dan pikiran penontonnya. 

Tidak hanya itu, film Gundala sebagai pembuka jagat sinema bumilangit bahkan bisa mengejar peluangnya sebagai penantang baru untuk mengguncang jagat-jagat raksasa sinema lain yang telah hadir lebih dahulu seperti Marvel dan DC. Tidak percaya?

Dua Rival Dalam Pakem Superhero di Layar Lebar Dunia

Memang bagi penikmat film, apalagi yang ber-genre sci-fi dan bertema superhero akan sangat akrab dengan film-film yang disuguhkan dua studio raksasa asal Amerika Serikat yaitu Marvel dan DC. 

Kehadiran dua studio besar ini berperan sebagai pelopor kehadiran film-film superhero di layar-layar lebar seluruh dunia, mereka seakan menetapkan pakem dari citra sebuah karakter Superhero yang diciptakan setelahnya dan yang diciptakan oleh negara-negara lain.

Dalam satu dekade belakangan ini, yakni dari tahun 2008 saat munculnya film Iron man - hingga film Spiderman: Far From Home yang yang rilis pada Juli 2019 lalu, Marvel Studios sukses membawakan Infinity Saga dalam formula penceritaan yang unik dan berbeda dari yang ada sebelumnya. 

Marvel memformulasikan teknik penceritaan dengan melakukan pembentukan sebuah jagat sinema (Cinematic Universe) yaitu sebuah dunia imajiner yang memungkinkan segala peristiwa yang diceritakan dapat terwujud. 

Jagat sinema yang besar dan utuh ini kemudian dibagi oleh Marvel menjadi beberapa fase partial yang didukung oleh puluhan film yang berdiri secara mandiri. 

Film-film mandiri ini dibuat untuk menceritakan masing-masing karakter superhero berdasarkan sudut pandang masing-masing yang tidak harus selalu mengikuti alur waktu yang sama dari cerita utama layaknya film serial, namun mereka terhubung dengan karakter superhero dari film yang berbeda dalam sebuah teknik penceritaan yang disebut dengan crossover.

Teknik Crossover yang dipakai oleh Marvel memungkinkan karakter-karakter superhero yang berbeda bertemu dalam dunia yang sama untuk saling mempengaruhi, memicu atau menjadi katalis perkembangan karakter lainnnya.

Membentuk sebuah peristiwa dalam jagat sinema tersebut. Teknik ini juga memungkinkan kehadiran puluhan film yang berbeda yang tetap dapat mewakili satu kontinuitas cerita yang sama dan utuh.

Inovasi marvel dalam bentuk penceritaannya yang unik, membuat DC pun tidak mau kalah bersaing dengan marvel sebagai rival abadinya dalam dunia superhero. 

DC berusaha menata ulang jagat sinemanya sendiri (DC Extended Universe) untuk menandingi dominasi Marvel dalam produksi film superhero, namun sayang Marvel yang sudah terlanjur menjadi market leader membuat DC sulit untuk mencuri kembali perhatian penonton di dunia dari Marvel.

Menurut beberapa kritikus film, redupnya DC dalam rivalitas dengan Marvel ini disebabkan karena DC bermain dalam permainan yang dibuat oleh Marvel. 

DC berusaha mengikuti gaya bercerita yang diciptakan oleh marvel yang lebih ramah anak-anak, cerah-ceria, penuh humor, dan ringan. Usaha DC yang ngotot menyasar target market yang sama membuatnya harus mengorbankan ciri khasnya yang sebetulnya sudah unggul dalam Dark Knight Trilogy yang disutradarai Christoper Nolan.

Akan tetapi terlepas dari persaingan antara Marvel dan DC kita memang patut mengakui bahwa keduanya telah menyajikan film-film berkualitas dengan ciri khas mereka masing-masing yang mengena kepada basis penggemarnya maupun penonton secara umum. Keadaan inilah yang mungkin menjadi mimpi buruk film-film superhero lain yang ingin mengikuti jejak mereka, karena kehadiran pendatang baru pastilah akan diperbandingkan dengan para pendahulunya.

Lantas bagaimana dengan nasib Jagat sinema Bumilangit yang menghadirkan Gundala sebagai film pembuka sebuah jagat sinema asli karya anak bangsa ini?

Karakteristik Superhero dalam jagat sinema Dari Negeri Paman Sam

Jagat sinema Bumilangit memang sepertinya terinspirasi dengan kesuksesan Marvel Cinematic Universe. Pasalnya bumilangit studio juga merencanakan 7 buah film sebagai jilid pertama dari jagat sinemanya. 

Film-film ini walaupun berdiri secara mandiri namun saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dengan menggunakan teknik Crossover yang sama dilakukan oleh Marvel maupun DC. 

Kita bisa mencermati fenomena ini ketika selesai menonton film Gundala hingga pada bagian post-credit scene-nya, ada beberapa adegan yang memicu rasa penasaran penontonnya lebih lanjut yang membawa penonton menyelami lebih dalam misteri-misteri dari jagat sinema bumilangit ini. 

Namun jikalau memang mengacu pada Marvel Cinematic Universe, pertanyaannya: apakah yang membedakan keduanya?

Untuk dapat menjawab pertanyaan itu kita akan sedikit membedah karakteristik Superhero dalam jagat sinema yang diproduksi oleh Amerika Serikat khususnya Marvel. 

Pada era keemasan komik di Amerika Serikat, yang berawal pada tahun 1938, komik-komik yang bertema superhero yang sebelumnya merupakan cerita selingan pada pulp fiction (format publikasi murah, mirip publikasi stensil) mulai disatukan dalam format majalah antologi berilustrasi yang berisikan beberapa cerita dari berbagai pengarang komik yang berbeda. 

Dalam format majalah yang baru ini hak pengarang komik terhadap karakter komiknya dibeli oleh pihak penerbit, sehingga penggunaan karakter komiknya menjadi leluasa dan mudah dikolaborasikan kemunculannya.

Sedangkan untuk karakter superhero-nya, komik superhero dari Amerika Serikat sangat akrab dengan tema futuristik dan perang dunia. Hal ini didasari dari keadaan sosial-ekonomi-politik yang dialami oleh warga amerika di masa-masa perang dunia baik yang pertama maupun yang kedua ataupun perang dingin. 

Singkatnya karakter superhero hadir untuk menghibur dan menyokong moral dari para warga Amerika Serikat untuk terus bertahan dalam keadaan negara yang tidak menentu. 

Warga Amerika, baik sengaja maupun tidak sengaja membentuk citra superhero yang mampu menjadi teladan dan pemberi semangat optimistis ditengah depresi yang sedang melanda.

Bahkan diantaranya digunakan sebagai alat propaganda oleh pemerintah untuk menggelorakan semangat patriotis dan nasionalisme kepada warga negaranya.

Dari dua ciri khas diatas jelas tema futuristik dan perang dunia serta teknik crossover benar-benar menjadi inti dari 23 film yang merangkum infinity Saga dari Marvel Studio. 

Tema perang dunia misalnya, akan sangat kental kita rasakan pada cerita Captain America dan Captain Marvel, sedangkan tema futuristik dapat kita perhatikan pada semua alur cerita di film Marvel yang selalu dipicu dengan kehadiran teknologi atau eksperimen ilmiah. 

Infinity Saga membawa kita pada sebuah konflik dalam skala antar galaksi, di mana Thanos yang digambarkan sebagai antagonis utama, berusaha mewujudkan idealismenya untuk membawa keseimbangan di jagat raya dengan metodenya sendiri. 

Tanpa sadar film yang dari semula berlatar cerita di Bumi membawa kita pada latar luar angkasa dengan berbagai makhluk extraterrestrial dan manusia yang saling berinteraksi.

Inilah yang menjadi karakteristik film-film Hollywood bertemakan superhero. Mereka hampir selalu ber-setting di luar angkasa dan berangkat dengan tema perang dunia yang nampaknya selalu diglorifikasikan. 

Kalaupun mereka ingin menggunakan latar kebudayaan, biasanya mereka menggunakan latar kebudayaan dari negara lain, seperti contohnya Thor yang menggunakan mitologi dan epos dari bangsa nordik di eropa utara, Black Panther yang menggunakan latar kebudayaan tradisional afrika atau Doctor Strange yang diceritakan mendapatkan kekuatannya dengan merantau hingga ke wilayah Nepal. 

Hampir Tidak ada satupun tema yang diangkat dari tradisi kebudayaan asli dari negaranya sendiri, negara Amerika Serikat. 

Inilah yang menurut saya menjadi kelebihan dari para Jagoan (Superhero) asli Indonesia, kita tidak perlu repot-repot mengkhayalkan peradaban di luar angkasa sana atau mengulik-ngulik corak kebudayaan dari bangsa lain.

Karena sangat banyak sekali cerita yang diwariskan untuk kita dari para leluhur melalui tradisi kebudayaan seperti cerita rakyat (Folklore), epos, mitologi, kesenian, dan produk kebudayaan lainnya yang menunggu untuk digali.

Memanfaatkan potensi yang tidak dimiliki Raksasa Marvel dan DC

Film Gundala yang menjadi film pertama dalam membuka Jagat Sinema Bumilangit mungkin memang tidak dapat memuaskan seluruh penontonnya. 

Ada yang mengatakan kurang puas dalam penceritaannya, terlalu rumit diikuti, terlalu brutal untuk anak-anak (beberapa orang kurang paham dalam batasan umur dan bimbingan orangtua dalam menonton film), atau ada juga yang mengatakan visual efek-nya tidak seru karena mereka membandingkannya dengan film-film Hollywood. 

Tapi menurut saya, terlepas dari semua komentar itu, Gundala sukses membuka jalan bagi perindustrian film Indonesia untuk mengeksplorasi  genre fantasi superhero yang belum sempat terjamah di Indonesia, tak hanya itu, film Gundala pun diwujudkan dalam standar kualitas film yang baik.

Film yang baik bukan saja hanya dilihat dari dana yang digelontorkan untuk menciptakan efek-efek visual canggih, mendatangkan aktor-aktris papan atas, atau menggunakan setting latar yang mewah. 

Film yang baik terletak dari cerita dan teknik penceritaannya yang unik, berbeda, menyentuh emosi, memiliki karakter peran yang mendalam, detil, terarah, dan rapi. 

Kita tidak perlu takut bersaing dengan film Hollywood yang diproduksi dengan biaya ratusan juta dolar, karena tentunya para penonton film-film superhero Marvel tidak membeli tiket hanya untuk menonton efek visual dari Tony Stark yang sedang memakai armor Iron man-nya atau menembakkan laser dari tangannya, lalu pulang. 

Para penonton justru lebih tertarik dengan Karakter dan sudut pandang Tony Stark sebagai seorang jenius kaya raya yang menciptakan armor Iron Man untuk mengatasi permasalahannya dan mengalahkan musuh-musuhnya.

Unsur penceritaan inilah yang nampaknya dihadirkan Jagat Sinema Bumilangit untuk melawan film-film superhero dari Hollywood. Jagat Sinema Bumilangit menyiapkan epos cerita yang jauh berbeda dengan tema-tema superhero Hollywood. Secara jeli Bumilangit studio memasukkan unsur-unsur keindonesiaan yang tidak sembarangan diambil, namun terlebih dahulu didalami dan diriset. 

Dalam menjalin karakter jagoan yang berada pada masa yang berbeda, jagat sinema bumi langit memberi petunjuk dalam film Gundala (Foreshadowing) tentang keberadaan entitas abadi (Immortal) yang berasal dari masa yang lebih tua. 

Upaya ini nampaknya dilakukan Bumilangit studio untuk menghubungkan 4 era yang diperkenalkan Bumilangit studio pada saat launching Jagat Sinema Bumi Langit pada bulan agustus lalu, dimana Bumilangit studio memperkenalkan era legenda, era jawara, era patriot, dan era revolusi yang menjadi pondasi dari penciptaan jagatnya.

Bumilangit mengawali kisah jagat sinemanya dengan peristiwa letusan Toba pada 75.000 tahun sebelum masehi. Peristiwa ini walaupun berasal dari cerita fiksi, memang benar diambil dari fakta ilmiah yang ada. 

Menurut teori ilmiah, letusan Toba ini memicu musim dingin vulkanik global yang menyebabkan menurunnya populasi makhluk hidup yang ada pada periode tersebut, inilah jadi awal dari kanon cerita kemunculan para adisatria dan jagoan-jagoan, era ini dikelompokkan oleh Bumilangit Studio ke dalam era legenda. 

Era legenda kemudian berakhir pada akhir zaman es dimana bencana banjir besar yang melanda bumi menjadi penyebabnya. Berakhirnya era legenda kemudian disusul dengan era jawara, dimana para pendekar hidup. 

Mulai dari Mandala hingga Si Buta dari Gua Hantu akan ditempatkan Bumilangit studio ke dalam satu era ini untuk saling berinteraksi. Era jawara menggunakan latar periode pada jaman Kerajaan-kerajaan Nusantara hingga masa kolonial. 

Berdasarkan informasi yang dibocorkan oleh Imansyah Lubis selaku production Manager dari Bumilangit studio, era jawara akan bersinggungan dengan makhluk-makhluk misterius dari ranah dunia siluman. Setelahnya era akan berganti dari era jawara ke dalam era patriot yang akan berlanjut pada era revolusi yang berada di masa depan.

Bagi saya pribadi penjabaran storyline jagat sinema Bumilangit sudah mampu meyakinkan saya untuk menantikan misteri dan kejutan cerita dalam film-film sekuelnya kelak setelah film Gundala. 

Imajinasi saya sudah terlanjur menjadi liar ketika bumilangit studio telah meriset dengan lebih mendalam tentang keindonesiaan, menggunakan fakta-fakta ilmiah maupun legenda, cerita rakyat, warisan tutur dan memanifestasikannya kembali dalam bentuk produk kreatif karakter superhero yang pernah berjaya lalu mati suri untuk kemudian dibangkitkan kembali di Indonesia. 

Bumilangit studio berhasil mengangkat tema tentang letusan Toba, peradaban sebelum zaman es pada dataran sunda (yang mereka sebut dengan sundalandia), kehadiran jaman es, masa kerajaan-kerajaan nusantara dan kolonial yang sebenarnya memang paralel dengan fakta sejarah.

Pembabakan periode jaman geologi, arkeologi, dan sejarah di Indonesia, walaupun perlu kita ingat pastilah sangat jauh dari fakta yang sebenarnya di dunia nyata karena ini adalah produk kreatif dan imajinatif. 

Belum lagi dengan cerdas mereka menyisipkan kembali legenda-legenda Indonesia yang  mungkin sempat terlupakan di Indonesia seperti misalnya kehadiran kekuatan Villain yang serupa dengan "ilmu rawa rontek yang dicirikan pada kehadiran antagonis baru di akhir film Gundala. 

Rasa-rasanya baru kali ini selama saya menjadi penikmat karya-karya cerita fantasi, Indonesia berhasil menghadirkan cerita fantasi khas Indonesia yang tidak melulu soal mistisme dengan plot yang benar-benar "ajaib" (terlalu melakukan Deus Ex machina atau tidak konsisten dalam menerapkan logika fantasinya).

Masa Depan Jagat Sinema Bumilangit

Film Gundala memang bukanlah film yang sempurna, Indonesia pun masih belum menjadi negara yang nyaman untuk perkembangan Industri perfilman, namun banyak hal yang bisa dipelajari dari kehadiran film Gundala. 

Film Gundala menjadi penyadar akan potensi keindonesiaan kita yang selama ini gagal digali dan menjadi ilham bagi masyarakatnya. 

Genre baru telah dibuka, teknik sinematografi pun berevolusi, teknik penceritaan yang mengandalkan riset, mempertahankan logika sebab-akibat, sistematis, rapi, dan beragam pun akan menjadi standar yang tidak akan terus diabaikan seperti yang sudah-sudah.

Kebudayaan dan tradisi Indonesia yang belum pernah tersentuh sebelumnya sudah sepatutnya kini menjadi fokus perhatian kita, terutama dalam pengolahannya ke bentuk produk-produk kreatif. 

Jangan sampai orang Indonesia sendiri gagal melihat kedalaman warisan budayanya sedangkan orang-orang dari negara asing berbondong-bondong mengadopsi dan mempopulerkan corak kebudayaan Indonesia melalui produk-produk kreatif mereka.

Disclaimer: tulisan ini bukan dibuat untuk mendiskreditkan berbagai produk kreatif yang telah dibuat Marvel atau DC atau memberikan bentuk penilaian tertentu terhadap hal tersebut, namun tulisan ini dibuat untuk mengetahui dan mempelajari hal apa saja yang masih dapat dikembangkan, diperbaiki, dan diadopsi atau diadaptasi dari berbagai produk kreatif dari luar negeri untuk produk kreatif di dalam negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun