Mohon tunggu...
Dion Pardede
Dion Pardede Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan terus dan selalu belajar.

Absurdites de l'existence. Roséanne Park 💍

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Transplantasi Hukum dan Penyusutan Hukum Lokal

17 Juli 2020   23:37 Diperbarui: 19 Juli 2020   08:02 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu 3,5 abad pastinya sangat panjang serta sangat mungkin untuk terjadinya transplantasi hukum dari sebuah negara penjajah terhadap negara koloninya. 

Hal itulah yang terjadi pada Sistem Hukum kita (Indonesia), di mana waktu yang panjang itu berhasil memasukkan roh hukum eropa ke dalam tubuh hukum kita.  

Indonesia sebagaimana kita tahu secara sadar atau tidak menganut sistem hukum adat sebelum datangnya negara-negara barat.

Sistem hukum adat menghendaki segala kebiasaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat menjadi hukum yang tertinggi pula. 

Barulah, ketentuan-ketentuan dalam hukum adat beserta instrumennya 'dipreteli' oleh kolonial Belanda demi kepentingan serta kelancaran bisnis VOC.

Lalu, bagaimana saat ini?, Apakah efek transplantasi hukum tersebut masih dapat dirasakan? 

Untuk menjawab hal tersebut mari kita lihat produk hukum yang masih kita pergunakan hingga saat ini, KUHP dan KUH Perdata yang merupakan produk hukum Belanda yang diadopsi dengan asas konkordansi yang bertujuan menghindari terjadinya kekosongan hukum.

Secara keseluruhan, mungkin produk hukum ini lumayan efektif dan masyarakat Indonesia cenderung sudah banyak beradaptasi dengan produk hukum yang lahir dari masyarakat yang sama sekali berbeda dengan mereka. 

Bahkan produk hukum barat ini justru lebih dipilih dari pada hukum adat dalam beberapa kasus.

Contoh misalnya dalam hal waris, hukum waris adat perlahan mulai ditinggalkan oleh beberapa anggota masyarakat adat itu sendiri. 

Beberapa alasan yang paling sering digunakan dan memang paling masuk akal adalah bahwa dalam beberapa masyarakat adat, hukum warisnya cenderung diskriminatif, misalnya dalam hal gender.

Di masyarakat adat yang satu, perempuan mendapat jatah waris lebih sedikit, dan di masyarakat adat lain sebaliknya. 

Oleh karena rasionalitas dan juga serta kehadiran hukum waris barat yang melahirkan pilihan hukum (choice of law), hukum waris adat semakin lama akan semakin ditinggalkan.

Namun, degradasi dan penyusutan tidak hanya hukum adat, melainkan juga hukum lokal dalam artian produk hukum berupa peratutan perundang-undangan yang benar-benar dibentuk sesuai karakter bangsa Indonesia.

Transplantasi Hukum

Transplantasi hukum dalam bentuk ide, konsep, solusi atau struktur, institusi, dan metode, dari satu negara ke negara lain telah menjadi kecenderungan dalam pembangunan hukum di berbagai belahan dunia. 

Tidak terkecuali Indonesia, telah melakukan transplantasi hukum dari berbagai sistem hukum asing atau negara lain dalam pembentukan berbagai undang-undang.

Hukum lokal dalam perjalanannya semakin menyusut, hukum lokal dalam hal ini hukum asli Indonesia, termasuk hukum adat. 

Kita bisa lihat misalnya dalam UU Minerba yang baru saja disahkan, UU Privatisasi Air, UU Hak Cipta, dan masih banyak UU lain yang diadopsi dari dinamika peradaban global.

Hal ini bukan hanya mengenyampingkan hukum adat (hukum yang timbul dari bawah ke atas), namun juga hukum positif asli Indonesia yang dibuat oleh penguasa.

Dengan dalih 'menghadapi borderless world' produk hukum lokal yang benar-benar bersesuaian dengan karakteristik masyarakat Indonesia semakin menyusut dari hari ke hari.

Kita bersyukur masih ada dampak positif dari transplantasi dan konvergensi/pertemuan sistem hukum, yakni konvergensi antara sistem eropa kontinental (civil law system) dengan sistem anglo-saxon (common law system).

Untuk hal ini, efek yang ditimbulkan cukup positif, di mana sistem civil law yang cenderung terikat dengan Lex Scripta (hukum harus tertulis) dan Lex Certa (hukum harus dirumuskan dengan jelas).

Sangat berisiko menimbulkan lepasnya seseorang dari jeratan hukum atau tidak terpenuhinya hak-hak seseorang. Namun, terlihat konvergensi yang bersifat positif, di mana hukum positif kita (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman) yang memungkinkan dilakukannya rechtvinding dengan 10 macam penafsiran.

Di mana salah satunya adalah penafsiran sosiologis yang mana memungkinkan diakomodirnya hukum lokal dalam hal-hal yang tidak diatur dalam hukum positif.

Konvergensi ini setidaknya turut berperan dalam menjaga eksistensi dan pengakuan hukum adat dalam sistem hukum kita.

Upaya Mengakomodir Hukum Adat

Sementara untuk pengakuan hukum adat dalam ranah pidana, yang juga sampai sekarang masih menjadikan KUHP Belanda sebagai acuan, telah ada upaya untuk mengakomodir hukum adat dalam RKUHP yang sudah bertahun-tahun dibahas. 

Namun, ada yang janggal dalam pengakuan living law dalam RKUHP tersebut, dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi "...hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini."

Ya, jika melihat ketentuan tersebut tampak jelas bagaimana living law diberi ruang untuk jadi acuan dalam persoalan tertentu. 

Entah karena terikat dengan civil law system, Pasal 1 KUHP masih berisi asas legalitas yang bertolak belakang dengan sifat hukum adat.

Adapun bunyinya adalah sebagai berikut "Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu."

Hubungan yang kontradiktif antara dua pasal pertama dari RKUHP tersebut menimbulkan kerancuan, mencantumkan dua hal yang saling menegasikan hanya akan mereduksi esensi dari masing-masing (asas legalitas dan living law).

Bukan tidak mungkin, keragaman tafsiran akan menimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat kita adalah penganut civil law, dan di saat bersamaan juga mungkin menimbulkan konflik dalam hal ditemuinya pertemuan hukum umum dan living law dalam suatu sengketa.

Dampak positif dan negatif dari transplantasi dan konvergensi/pertemuan sistem hukum atas hukum adat atau hukum lokal pada umumnya, memang adalah tanggung jawab kita bersama, 

Dan adalah keputusan kita bersama untuk mematikan hukum adat dan hukum lokal, dan terus tunduk pada hukum yang berkarakter tidak sesuai dengan karakter kita.

Atau sebaliknya mengupayakan pembentukan hukum yang benar-benar buatan negeri sendiri.

Hadirnya globalisasi dan dunia yang seiring berjalannya waktu semakin borderless, memaksa kita untuk menyesuaikan diri dalam berbagai aspek termasuk hukum. 

Namun, akan lebih baik jika kita menyikapinya tanpa menutup mata akan hal sesuai atau tidaknya sebuah produk hukum dengan karakteristik masyarakat Indonesia, frasa "hukum untuk masyarakat, bukan masyarakat hukum" kiranya harus diperhatikan, mengingat 3 (tiga) elemen yang menentukan berhasil atau tidaknya hukum menurut Lawrence M. Friedman, yakni:

1.Substansi hukum (Legal substance);

2.Struktur hukum (Legal structure) dan;

3.Budaya hukum (Legal culture).

Sebuah peradaban memang akan terus bergerak dan berkembang.Namun tentunya akan lebih baik jika pejabat yang berwenang membentuk hukum tidak hanya memerhatikan dinamika global, tetapi menutup mata akan masyarakat dalam negeri. 

UU Privatisasi air, UU Hak cipta, dan yang terbaru UU Minerba yang baru saja disahkan memang niatnya menunjang investasi dan perekonomian, namun di sisi lain tidak sesuai dengan masyarakat serta alam Indonesia.

Produk hukum UU Minerba cenderung mendorong percepatan pengrusakan alam yang notabene sumber penghidupan utama mayoritas rakyat Indonesia. 

Jika pembentukan produk hukum yang tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat terus berlanjut, maka sepanjang itu pulalah hukum akan terseok-seok. 

Hal ini terjadi karena 3 (tiga) elemen hukum Friedman di atas saling 'bersikutan'. 

Borderless world jangan sampai diikuti oleh careless policy yang mengabaikan kepentingan rakyat demi mengikuti dinamika dunia; hanyut dalam peradaban global, namun mengabaikan dinamisnya peradaban rakyat sendiri.

Upaya penyusunan RKUHP buatan anak negeri sebenarnya merupakan hal positif, karena dengan demikian ada upaya harmonisasi elemen-elemen hukum di atas. 

Namun, RKUHP terkini masih perlu banyak evaluasi terkhusus pasal-pasal nyeleneh yang justru dinilai bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat.

Pada akhirnya, hukum tercipta untuk mengatur kehidupan bersama sebuah masyarakat, bukan sebaliknya untuk menciptakan pergolakan vertikal maupun horizontal. 

Memang adalah langkah yang sulit untuk memuaskan semua pihak, namun dengan kolaborasi dan itikad baik, niscaya hukum nasional kita akan mencapai bentuk terbaiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun