Untuk hal ini, efek yang ditimbulkan cukup positif, di mana sistem civil law yang cenderung terikat dengan Lex Scripta (hukum harus tertulis) dan Lex Certa (hukum harus dirumuskan dengan jelas).
Sangat berisiko menimbulkan lepasnya seseorang dari jeratan hukum atau tidak terpenuhinya hak-hak seseorang. Namun, terlihat konvergensi yang bersifat positif, di mana hukum positif kita (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman) yang memungkinkan dilakukannya rechtvinding dengan 10 macam penafsiran.
Di mana salah satunya adalah penafsiran sosiologis yang mana memungkinkan diakomodirnya hukum lokal dalam hal-hal yang tidak diatur dalam hukum positif.
Konvergensi ini setidaknya turut berperan dalam menjaga eksistensi dan pengakuan hukum adat dalam sistem hukum kita.
Upaya Mengakomodir Hukum Adat
Sementara untuk pengakuan hukum adat dalam ranah pidana, yang juga sampai sekarang masih menjadikan KUHP Belanda sebagai acuan, telah ada upaya untuk mengakomodir hukum adat dalam RKUHP yang sudah bertahun-tahun dibahas.
Namun, ada yang janggal dalam pengakuan living law dalam RKUHP tersebut, dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi "...hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini."
Ya, jika melihat ketentuan tersebut tampak jelas bagaimana living law diberi ruang untuk jadi acuan dalam persoalan tertentu.
Entah karena terikat dengan civil law system, Pasal 1 KUHP masih berisi asas legalitas yang bertolak belakang dengan sifat hukum adat.
Adapun bunyinya adalah sebagai berikut "Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu."
Hubungan yang kontradiktif antara dua pasal pertama dari RKUHP tersebut menimbulkan kerancuan, mencantumkan dua hal yang saling menegasikan hanya akan mereduksi esensi dari masing-masing (asas legalitas dan living law).