"Pak, keretanya sudah jalan." kata seorang petugas kereta api.
"Oiya." jawabku.
"Ini ketiga kalinya bapak terlewat jadwal kereta lho pak." kata petugas tersebut sambil kebingungan.
"Iya, memang." Jawabku dengan dingin, sambil meninggalkan petugas tersebut.
Aroma stasiun yang khas dengan selipan aroma keringat penumpang, masih tercium sama seperti tiga tahun yang lalu. Aku berjalan keluar dari stasiun sambil memperhatikan bangunan yang merupakan tempat pertemuan dan perpisahan terbaik tersebut.
"Sayang, kamu janji ya, selama aku pergi jangan selingkuh." Ucapan dari seorang anak muda yang tak sengaja terdengar olehku. Mereka mengakhiri kalimat manis tersebut dengan pelukan yang terlihat sangat tulus dan tetesan air mata.
"Andaikan," kataku lirih sambil berjalan berpapasan.
Tiga tahun yang lalu, di tempat yang sama, di hari yang sama, di waktu yang sama. Aku masih mengingat dengan jelas, bagaimana Riri dengan kaki kecilnya dari peron berlari kembali kepadaku, sambil memeluk dan menangis. "Jati, aku gamau pergi sekarang." kata Riri sambil memelukku.
"Apaan sih Ri, jangan kayak anak kecil deh." kataku.
"Nggak Jat, Aku gamau pergi sekarang." kata Riri masih sambil memelukku.
Tubuhnya Riri yang kecil membuatku harus menunduk untuk berbicara dengannya. Aku lepas perlahan tangan mungilnya yang memeluk erat perutku. "Ri, ini impianmu," kataku sambil memposisikan diri sedikit menunduk. "Jangan takut, everything will be okay." kataku sambil mengusap air matanya yang membasahi pipi tembemnya.
"Jati," Riri memanggil lirih namaku. "Janji, ya." Sambungnya dengan suara yang lirih.
"Ri, enam tahun pacaran, kapan aku ingkar janji?" kataku sambil tersenyum lebar. "Udah ya, itu keretanya dah mau jalan" sambungku sambil menunjuk petugas yang dari tadi memperhatikan kami.
"I will always love you." kata Riri sambil berjalan kembali menuju peron kereta.
Sore itu, aku masih ingat dengan jelas, sinar matahari yang masuk melalui atap stasiun menimpa wajah Riri yang masih berlinang air mata. Pipinya yang tembem semakin terlihat seperti bakpaw yang baru saja matang. Aroma parfum Dunhill Blue yang dibelinya dengan harga delapan belas ribu rupiah itu masih terekam dengan jelas.
Sore itu, setelah enam tahun berpacaran, aku meneteskan air mataku untuk pertama kalinya. Ini pertama kalinya aku berpisah dengan jarak yang jauh dengan Riri. Aku dan Riri merupakan tetangga yang dipisahkan oleh dua rumah. ITB, kampus impian Riri menyebabkan kami terpisah dengan jarak yang jauh. Sebelumnya, aku menyarankan agar Riri berkuliah di UGM, tapi dia menolak. "ITB, sekali ITB, selamanya ITB." jawab Riri seketika setelah aku selesai berbicara.
Hari itu, hari yang dinanti sekaligus tidak, akhirnya telah tiba. Aku mengantarkan Riri menuju stasiun Lempuyangan. Dengan membeli dua tiket kereta api Lodaya, aku berharap bisa mengantarkan Riri sampai ke tempat duduknya di kereta, memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"I will always love you." perkataan Riri yang sampai saat ini masih sangat melekat di pikiranku. Sialnya aku tidak bisa membalasnya.
Sore itu, aku terdiam di tempat Riri memelukku, melihat kereta yang dinaikinya berjalan perlahan, sampai akhirnya tak terlihat lagi. Seketika, perasaanku terasa kacau, dadaku sesak, suaraku menghilang, bahkan kakiku enggan beranjak dari tempat itu. Aku tidak tahu perasaan apa ini.
Kriinggg.... Kriingg...
Dering dari HPku berbunyi, dering itu disertai dengan getaran yang cukup kuat. Aku tahu, bahwa itu panggilan dari Riri. Tanpa ragu aku mengangkatnya.
"Jati," panggil Riri. "Iya?" jawabku. "Jangan dimatiin ya, tunggu aku sampe." kata Riri. "Ri, Kamu tau gimana HPku." jawabku. "Pliss, kali ini aja."
Suasana yang terjadi pada sore itu sangat berbeda dengan biasanya, dadaku yang sebelumnya sesak, sekarang menjadi lega seperti ditiup angin. Kakiku yang berat untuk bergerak, menjadi sangat ringan yang sampai tidak dapat menopang tubuhku. Pandanganku seketika menjadi putih sebelum menjadi gelap gulita. Namun itu hanya berlangsung beberapa saat.
"Oke, Ri, Aku pulang dulu." jawabku.
Bergegas aku menuju parkiran untuk mengambil motorku, dan menuju rumah, sebelum HPku mati di perjalanan. Sambil sesekali aku melihat HP untuk memastikan masih tersambung dengan Riri, aku kembali merasakan rasa sesak di dadaku ketika melihat foto profil yang digunakan Riri. Foto yang secara tidak sengaja diambil oleh teman kami, ketika kami melakukan kerja kelompok. Dan foto itu juga menceritakan bagaimana kisahku dan Riri dimulai. Riri dengan baju pramukanya yan terlihat menawan, dan aku yang menggunakan seragam OSIS putih biru, bodohnya aku menggunakannya di hari jumat.
Sesampainya di halaman rumah, seperti dugaanku. HPku sudah tidak menyala. Aku langsung berlari menuju kamarku yang berada di lantai dua, untuk menghidupkan komputer, dan menghubungi Riri melalui WhatsApp Web. Aku mengirimkan ucapan maafku. Tidak ada balasan, hanya centang satu warna abu-abu yang kulihat. Sial.
Aku berbaring di kasurku yang berada tepat di depan meja komputer. Menatap langit-langit, sambil mengingat kembali bagaimana kisah kami masih berjalan sampai saat ini. Secara tidak sadar air mataku berlinang jatuh melewati pipiku, yang kemudian membasahi bantal doraemon pemberian Riri.
Biiipp... Biiipp...
Tanpa sadar ternyata aku tertidur sampai pagi, masih dengan posisi yan sama, dan komputerku yang masih menyala. Centang abu-abu tersebut sudah berubah menjadi warna biru, tapi belum ada balasan dari Riri.
Sekarang, Riri seharusnya sudah sampai. Aku berusaha menanyakan kabarnya, teleponku tidak diangkat olehnya. Aku berpikir, mungkin Riri sedang beres-beres atau istirahat. Tidak pernah sekalipun terpikirkan bahwa Riri marah padaku.
Perasaanku tidak enak.
Tiga hari kemudian, Riri belum juga membalas pesanku. Aku mencoba membuka Instagram untuk menghubunginya, namun aku dikejutkan dengan Insta story yang diunggah oleh Riri. Riri baik-baik saja, dia sedang bermain dengan temannya. Aku like, dan aku balas story tersebut.
"Udah sampe?" tanyaku.
"Udah." Balas Riri.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, semenjak saat itu, komunikasi kami sangatlah jarang. Dia tidak pernah memberiku kabar, dan tidak pernah mau mengangkat teleponku. Tiga bulan berjalan, dan hanya respon singkat yang aku dapat.
Sampai pada suatu hari, ketika Riri sama sekali tidak membalas pesanku hingga seminggu lamanya.
"Jati... Jati..." seseorang memanggilku dari depan rumah.
Aku bergegas turun untuk membukakan pintunya.
Nela, sepupu Riri, bermandikan keringat dan terengah-engah berada di depan pintu rumahku. "Heyy, ada apa? Kamu kenapa?" tanyaku panik.
"Riri," jawab Nela sambil menghela napas. "Riri... meninggal." Sambung Nela dengan napasnya yang terengah-engah.
Pandanganku berubah gelap, dadaku merasakan sesak sehingga membuatku sulit untuk bernapas, kedua lututku tidak berdaya menopang tubuhku. Aku tak dapat berkata apa-apa, air mataku juga tidak menetes. Aku masih mendengar tangisan dan napas Nela yang seakan-akan terdengar slow-motion seperti di film.
Perlahan aku kehilangan keseimbanganku, dan aku jatuh terbaring ke belakang. Kepalaku terbentur lantai rumahku, namun rasa sakit itu tidak seberapa dibandingkan rasa sesak ini. Pandanganku masih gelap, aku merasakan tangan Nela menggoyang-goyangkan tubuhku. Air mataku menetes perlahan. Hangatnya air mata terasa menjatuhi pipiku, dan masuk ke dalam telingaku. Suara-suara yang ada di sekitarku perlahan menghilang, sampai akhirnya aku tidak dapat mendengar apa-apa lagi. Aku tidak dapat merasakan bagian tubuhku lagi, hanya sesak di dada yang bisa kurasakan.
Keesokan harinya, jenazah Riri diantar ke pediamannya, aku menunggu kepulangan Riri, tepat tiga bulan setelah pelukan terakhir kami. "Ri, aku menepati janjiku." Kataku di depan jenazah Riri.
Dengan mata sembabku, aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi, aku menatapi wajah cantiknya Riri, meskipun tanpa make up ternyata Riri tetap cantik. Aku hanya bisa tersenyum melihat wajahnya yang bulat dengan pipinya yang seperti bakpaw itu.
Tidak terpikirkan apapun, seakan kenangan kami selama enam tahun hilang begitu saja. Aku mengantarkan jenazah Riri menuju kediaman terakhirnya. Ketika semua orang sudah pulang, aku masih berada di depan makamnya. Tidak berbicara apapun, tidak memikirkan apapun, aku hanya bisa menatap dan memegangi batu nisan yang bertulisan 'Riri, wafat tanggal 26 Oktober.'.
Tepat tiga bulan yang lalu, kamu membuatku menangisimu untuk pertama kalinya. Pantas saja kamu tidak ingin pergi. Ternyata kamu sudah merasakannya yaa. Aku tidak pernah menyangka bahwa itu terakhir kalinya aku melihatmu berlari dengan kaki kecilmu, terakhir kalinya kamu memelukku, terakhir kalinya kamu memohon sesuatu padaku. Bodohnya, aku tidak bisa menuruti permintaanmu.
"I will always love you." katamu tiga bulan yang lalu, andaikan kamu bisa mendengarku mengucapkan hal yang sama kepadamu. Andaikan aku bisa memelukmu dengan erat. Andaikan aku tidak membiarkanmu pergi.
Tiga tahun berlalu, dan aku selalu mengunjungi stasiun yang sama, membeli tiket yang sama, di jam yang sama, dan berdiri di tempat yang sama. Setiap tanggal 26 aku hanya berdiri di tempat kamu terakhir memelukku, menceritakan semua hal yang aku alami, mengeluarkan segala perasaanku yang dari dulu aku pendam.
Andaikan saja, aku selalu memberitahumu bagaimana perasaanku kepadamu. Andaikan saja aku selalu memberitahumu apa yang aku suka, dan apa yang tidak. Andaikan saja, aku tidak bersikap dingin kepadamu. Andaikan, dan andaikan...
Aku selalu menceritakan semuanya sebelum keretanya berjalan dan tidak terlihat lagi.
Tepat tiga tahun yang lalu, aku meninggalkan stasiun ini tergesa-gesa. Dengan perasaan yang sama, aku meninggalkan stasiun ini setelah keretanya tidak terlihat lagi. Tidak seperti dulu, aku berjalan dengan perlahan dan santai. Aku bisa merasakan tubuhku bergerak, tapi aku tidak merasakan kakiku menapak lantai stasiun.
Sial, pandanganku kembali gelap. Aku tetap berjalan dengan perlahan sambil menjaga keseimbanganku.
Aku tidak bisa melihat apapun, hanya suara klakson kendaraan besar yang kudengar. Suara klakson tersebut perlahan terasa semakin dekat. Aku tidak bisa melihat kendaraan apa dengan suara klakson yang kencang itu, aku hanya mendengar suara klakson yang keras, dan suara kampas rem yang berusaha menghentikan laju roda-roda besar tersebut.
Dingin. Badanku terasa dingin, seperti melayang karena dorongan yang kuat. Aku mengira itu hanya imajinasiku saja.
Aku merasakannya dengan sangat lambat, seperti adegan dramatis dalam film aksi. Tanganku, mulai kehilangan rasa. Terlintas, tangan ini pernah kugunakan untuk memeluk dan mengusap air mata Riri untuk terakhir kalinya.
Perutku, aku merasakan tangan kecil Riri memeluk dengan erat perutku, lebih erat dari pelukan terakhir kami.
Dan sampailah pada kepalaku, sialnya pandanganku masih gelap. Terlintas di kepalaku bagaimana Riri berlari menghampiriku sambil menangis. Kali ini, semuanya terasa sangat jelas.
Sampai pada saat akhir, aku tersadar semua itu hanya ilusi. Sekilas aku melihat tangan dan perutku yang hancur terlindas roda kendaraan besar tadi. Aku merasakan tekanan yang sangat kuat di kepalaku. Aku hanya berharap bisa bertemu dengan Riri kembali.
Pada akhirnya aku hanya bisa memikirkan satu hal.
"Andaikan..."
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H