"Udah." Balas Riri.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, semenjak saat itu, komunikasi kami sangatlah jarang. Dia tidak pernah memberiku kabar, dan tidak pernah mau mengangkat teleponku. Tiga bulan berjalan, dan hanya respon singkat yang aku dapat.
Sampai pada suatu hari, ketika Riri sama sekali tidak membalas pesanku hingga seminggu lamanya.
"Jati... Jati..." seseorang memanggilku dari depan rumah.
Aku bergegas turun untuk membukakan pintunya.
Nela, sepupu Riri, bermandikan keringat dan terengah-engah berada di depan pintu rumahku. "Heyy, ada apa? Kamu kenapa?" tanyaku panik.
"Riri," jawab Nela sambil menghela napas. "Riri... meninggal." Sambung Nela dengan napasnya yang terengah-engah.
Pandanganku berubah gelap, dadaku merasakan sesak sehingga membuatku sulit untuk bernapas, kedua lututku tidak berdaya menopang tubuhku. Aku tak dapat berkata apa-apa, air mataku juga tidak menetes. Aku masih mendengar tangisan dan napas Nela yang seakan-akan terdengar slow-motion seperti di film.
Perlahan aku kehilangan keseimbanganku, dan aku jatuh terbaring ke belakang. Kepalaku terbentur lantai rumahku, namun rasa sakit itu tidak seberapa dibandingkan rasa sesak ini. Pandanganku masih gelap, aku merasakan tangan Nela menggoyang-goyangkan tubuhku. Air mataku menetes perlahan. Hangatnya air mata terasa menjatuhi pipiku, dan masuk ke dalam telingaku. Suara-suara yang ada di sekitarku perlahan menghilang, sampai akhirnya aku tidak dapat mendengar apa-apa lagi. Aku tidak dapat merasakan bagian tubuhku lagi, hanya sesak di dada yang bisa kurasakan.
Keesokan harinya, jenazah Riri diantar ke pediamannya, aku menunggu kepulangan Riri, tepat tiga bulan setelah pelukan terakhir kami. "Ri, aku menepati janjiku." Kataku di depan jenazah Riri.
Dengan mata sembabku, aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi, aku menatapi wajah cantiknya Riri, meskipun tanpa make up ternyata Riri tetap cantik. Aku hanya bisa tersenyum melihat wajahnya yang bulat dengan pipinya yang seperti bakpaw itu.