Tidak terpikirkan apapun, seakan kenangan kami selama enam tahun hilang begitu saja. Aku mengantarkan jenazah Riri menuju kediaman terakhirnya. Ketika semua orang sudah pulang, aku masih berada di depan makamnya. Tidak berbicara apapun, tidak memikirkan apapun, aku hanya bisa menatap dan memegangi batu nisan yang bertulisan 'Riri, wafat tanggal 26 Oktober.'.
Tepat tiga bulan yang lalu, kamu membuatku menangisimu untuk pertama kalinya. Pantas saja kamu tidak ingin pergi. Ternyata kamu sudah merasakannya yaa. Aku tidak pernah menyangka bahwa itu terakhir kalinya aku melihatmu berlari dengan kaki kecilmu, terakhir kalinya kamu memelukku, terakhir kalinya kamu memohon sesuatu padaku. Bodohnya, aku tidak bisa menuruti permintaanmu.
"I will always love you." katamu tiga bulan yang lalu, andaikan kamu bisa mendengarku mengucapkan hal yang sama kepadamu. Andaikan aku bisa memelukmu dengan erat. Andaikan aku tidak membiarkanmu pergi.
Tiga tahun berlalu, dan aku selalu mengunjungi stasiun yang sama, membeli tiket yang sama, di jam yang sama, dan berdiri di tempat yang sama. Setiap tanggal 26 aku hanya berdiri di tempat kamu terakhir memelukku, menceritakan semua hal yang aku alami, mengeluarkan segala perasaanku yang dari dulu aku pendam.
Andaikan saja, aku selalu memberitahumu bagaimana perasaanku kepadamu. Andaikan saja aku selalu memberitahumu apa yang aku suka, dan apa yang tidak. Andaikan saja, aku tidak bersikap dingin kepadamu. Andaikan, dan andaikan...
Aku selalu menceritakan semuanya sebelum keretanya berjalan dan tidak terlihat lagi.
Tepat tiga tahun yang lalu, aku meninggalkan stasiun ini tergesa-gesa. Dengan perasaan yang sama, aku meninggalkan stasiun ini setelah keretanya tidak terlihat lagi. Tidak seperti dulu, aku berjalan dengan perlahan dan santai. Aku bisa merasakan tubuhku bergerak, tapi aku tidak merasakan kakiku menapak lantai stasiun.
Sial, pandanganku kembali gelap. Aku tetap berjalan dengan perlahan sambil menjaga keseimbanganku.
Aku tidak bisa melihat apapun, hanya suara klakson kendaraan besar yang kudengar. Suara klakson tersebut perlahan terasa semakin dekat. Aku tidak bisa melihat kendaraan apa dengan suara klakson yang kencang itu, aku hanya mendengar suara klakson yang keras, dan suara kampas rem yang berusaha menghentikan laju roda-roda besar tersebut.
Dingin. Badanku terasa dingin, seperti melayang karena dorongan yang kuat. Aku mengira itu hanya imajinasiku saja.
Aku merasakannya dengan sangat lambat, seperti adegan dramatis dalam film aksi. Tanganku, mulai kehilangan rasa. Terlintas, tangan ini pernah kugunakan untuk memeluk dan mengusap air mata Riri untuk terakhir kalinya.