Saat ini pelecehan seksual semakin marak dan sering terjadi di masyarakat dengan memperlihatkan begitu banyak
bentuk, dengan tidak memandang umur dan jenis kelamin seseorang. Bentuk pelecehan seksual yang sering
didapatkan oleh seseorang diantaranya yaitu pelecehan seksual secara verbal dan non verbal. Pelecehan seksual
secara verbal yang terjadi di ruang publik menggunakan beberapa simbol seperti bersiul, berseru, gestur menggoda,
sementara Pelecehan non verbal terjadi melalui kontak fisik antara pelaku dan korban berupa meraba, meraih secara
paksa, menyentuh, dan merasakan bagian tubuh tertentu yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, fokus pada artikel
kali ini adalah bagaimana seorang penyandang disabilitas melakukan pelecehan seksual secara fisik terhadap korban nya.
LATAR BELAKANG PELAKU
Kasus Agus alias IWAS, Penyandang disabilitas di Nusa tenggara Barat (NTB) menjadi perhatian publik usai
laporan seorang mahasiswi berinisial (MA). Menurut pendamping korban, Ade Latifa, peristiwa dugaan kekerasan
seksual yang dialami kliennya semula dilaporkan pada teman korban. Ade Latifa mengatakan bahwa jika korban tidak
melapor, korban akan merasa tidak aman jika keluar dari rumah sebab bisa saja korban akan kembali bertemu dengan
pelaku lagi.
Namun sang pelaku sempat mengklaim bahwa dirinya difitnah oleh korban. Seiring waktu, lebih banyak korban
yang muncul, membeberkan pengalaman mereka yang serupa, yakni menjadi korban pelecehan seksual Agus. Fakta
ini menunjukkan bahwa kasus yang semula dianggap sepele, kini berkembang menjadi isu besar yang menyita
perhatian publik.
Agus ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Ditreskrimun Polda Nusa Tenggara Barat dalam kasus dugaan
pelecehan seksual, Namun kasus tersebut masih dalam tahap diselidiki. Berdasarkan data yang diterima oleh pihak
kepolisian dari Komisi Disabilitas Daerah ada 15 orang diantaranya anak anak dibawah umur yang sudah menjadi
korban pelecehan yang dilakukan oleh tersangka. Pada Rabu (11/12) Polda Nusa Tenggara Barat memastikan proses
hukum berlangsung transparan, di antaranya melakukan rekontruksi kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku guna mengungkap detail peristiwa.
Agus selaku pelaku juga tersangka turut dihadirkan dalam proses rekontruksi tersebut. Rekontrusi tersebut
dilakukan di 3 tempat berbeda yang di pakai agus yakni Taman Udayana, Islamic Center, dan Homestay. Rekontruksi
untuk menggambarkan rangkaian kejadian dalam kasus ini terhitung ada 49 adegan. Pihak berwenang masih terus
menerima laporan tambahan dari para korban yang memberanikan diri untuk melapor.
Pelaku ditahan di rumah sebab keterbatasan fasilitas di rumah tahanan yang ramah disabilitas. Meskipun
demikian, proses hukum terhadap apa yang dilakukan oleh pelaku akan terus dan tetap berlanjut dengan tim
pendampingan dari tim kuasa hukum. Keputusan Polda Nusa Tenggara Barat untuk menahan pelaku dirumah
mencerminkan dimana fasilitas yang memadai sangat penting untuk mendukung proses hukum yang adil dan
manusiawi.
KRONOLOGI
Ade Latifa, sang pendamping korban berinisial (AM) menceritakan peristiwa yang di alami oleh korban pada 7
Oktober sekitar pukul 10:00 WITA. Awalnya korban sedang ingin membuat konten Instagram di Taman Udaya, korban
di hampiri oleh seseorang (terduga si pelaku) yang tak di kenal olehnya, Pelaku bertanya apakah ia seorang mahasiswi
atau bukan. Korban menjawab iya dan pelaku membuat klaim sebagai mahasiswa di kampus yang sama dengan
korban.
Korban dan pelaku melanjutkan pembicaraannya mengenai keluarga dan seputar perkuliahan. Ade Latifa
mengatakan bahwa korban tidak fokus dan merasa tidak nyaman karena pelaku bertanya sesuatu hal yang mengarah
kepada seksualitas. Namun korban tidak menaruh rasa curiga sedikipun pada pelaku. Terduga pelaku mengajak korban
pindah ke belakang taman teras. Seolah mengatahui semua keburukan korban sang pelaku mengancam korban untuk
diam dan tidak memberontak
Ancaman tersebut dilakukan berulang ulang oleh pelaku, sehingga korban hanya bisa diam, sedih dan merasa
bersalah. Korban sempat di ajak untuk “mandi suci” bersama si pelaku, tetapi korban terus menolak namun pelaku
lagi lagi mengancam korban jika tidak ingin menuruti keinginannya pelaku akan membocorkan seluruh keburukan
korban kepada orang tuanya. Korban terpaksa menuruti keinginannya, dan membonceng pelaku ke penginapan,
pelaku dan korban sempat terlibat cekcok sebab pelaku meminta korban untuk membayar biaya kamar. Ainuddin
menuturkan bahwa cekcok berlanjut saat hendak meninggalkan penginapan itu dan menuju Jalan Udayana, tepatnya
di Islamic Center Nusa Tenggara Timur
Latifa mengatakan keberanian korban MA melaporkan kasusnya, rupanya memunculkan keberanian
korbankorban lain untuk bersuara perihal apa yang sudah dilakukan pelaku. Saat ini, total ada 13 korban yang
mengadu ke lembaganya. Dari belasan itu, sepuluh korban berusia dewasa dan tiga lainnya masih duduk di bangku
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Modus yang dilakukan terduga pelaku terhadap para korban, klaimnya, relatif
sama.
Korban biasanya duduk sendiri, dihampiri pelaku, diajak berkenalan, dan diambil simpatinya dengan
ceritacerita sedih sambil menunjukkan video-video dia yang bisa bermain alat musik dan lain-lain. Dengan begitu,
korban simpati ke pelaku dan korban tidak curiga kalau pelaku akan melakukan macam-macam. Setelah mendapatkan
empati korban pelaku mulai mengulik kehidupan pribadi korban sampai akhirnya itu dijadikan ancaman untuk korban
Terduga pelaku, klaimnya, juga mengajak para korban untuk melakukan ritual "mandi suci" dengan dalih untuk
membersihkan dosa-dosa masa lalu mereka. Ade Latifa menuturkan kesamaan para korban ini adalah mereka berada
dalam situasi rentan. Misalnya, dalam kondisi lelah memikirkan perkuliahan, ada juga yang sedang bermasalah
dengan keluarga.
Ada korban yang tak sampai di bawa ke penginapan, tapi dia diikuti sampai ke indekosnya dan sempat terjadi
upaya pelecehan oleh pelaku.Dan meskipun terduga pelaku memiliki keterbatasan fisik, dia bisa mendorong korban dengan tubuh nya. PENGAKUAN PELAKU
Cara pelaku membela dirinya mencerminkan stigma dan steorotip di masyarakat tentang penyandang
disabilitas. Banyak orang yang berpikir bahwa penyandang disabilitas tidak dapat menjadi pelaku kekerasan seksual
karena keterbatasan fisik mereka.
Agus sendiri menyangkal juga menolak laporan korban perihal kasus ini, Agus mengatakan bahwa dirinya
difitnah oleh korban, ia mempertanyakan bagaimana dirinya bisa melakukan kekerasan seksual tersebut kepada
korban dengan kondisinya sebagai penyandang disabilitas.
“Yang saya bingung bagaimana saya memerkosa? Sementara saya enggak bisa buka celana sendiri, enggak
bisa buka baju sendiri. Jadi bagaimana saya melakukan kekerasan seksual?" Pernyataan tersebut menjadi alasan Agus
untuk membela dirinya dari tuduhan tersebut dengan menekankan keterbatasan fisik yang dimilikinya. Ini juga
menunjukan bagaimana beberapa pelaku menjadikan kondisi fisik mereka untuk menghindari tanggung jawab atas
apa yang sudah dilakukan.
Namun Ketua Komisi Disabilitas Nusa Tenggara Timur meminta masyarakat untuk memandang disabilitas
secara adil sebagai kelompok yang memiliki kedudukan sama didepan hukum. "Termasuk bahwa disabilitas punya
potensi, punya peluang menjadi pelaku tindak pidana, itu tidak bisa dipungkiri,"
PELAKU DIBELA OLEH 16 PENGACARA
Dalam kasus yang sedang ramai menjadi pembicaraan publik, sebanyak 16 pengacara akan membela Agus
alias IWAS sang penyandang disabilitas yang menjadi tersangka pelecehan seksual. Koordinator tim pengacara,
Ainuddin, menyatakan bahwa Agus sangat terbuka kepada para kuasa hukum, yang diharapkan dapat memudahkan
proses pendampingan hingga persidangan
Ainuddin mengatakan bahwa hubungan agus dan para korbannya adalah karena suka sama suka, tanpa
paksaan dan ada kesepakatan di antara mereka. Dirinya menegaskan bahwa pengakuan pelaku akan menjadi bahan pembelaan hukum.
KESIMPULAN
Pelecehan seksual terhadap seseorang baik orang dewasa ataupun anak di bawah umur merupakan
pelanggaran yang sangat amat serius, selain melibatkan ketidakmampuan korban untuk memberikan persetujuan,
tetapi juga menimbulkan dampak jangka panjang terhadap perkembangan psikologis dan emosional mereka.
Sehingga peran orang tua dan lingkungannya berperan penting untuk menjaga kondisi fisik dan mental korban. Upaya
kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk memastikan agar
kasus serupa tidak terjadi di masa mendatang.
Kasus Agus Buntung saat kini ramai sekali diperbincangkan. Sisi positifnya, kasus ini memicu para masyarakat
untuk meningkatkan kewaspadaanya terhadap diri sendiri maupun pada lingkungan disekitarnya. Kasus ini juga
menjadi pengigat bahwa akan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman bagi setiap individu, tanpa terkecuali.
Terutama bagi kelompok yang rentan, seperti anak-anak dibawah umut yang masih berpikir labil sebab korban
pelecehan tidak hanya merugikan diri korban tetapi juga mencoreng reputasi pelaku dan menciptakan stigma sosial
yang sulit dihilangkan.
Upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk
memastikan agar kasus serupa tidak terjadi di masa mendatang. Kerja sama ini penting untuk menciptakan sistem
yang lebih responsif terhadap isu pelecehan seksual dan mencegah terulangnya kekerasan serupa. Sebab Keamanan
dan perlindungan harus menjadi prioritas utama dalam masyarakat juga dalam berbagai aspek kehidupan baik di
lingkungan sekolah tempat berkeja maupun didepan khalayak banyak
Sangat penting juga untuk menekankan bahwa setiap tindakan pelecehan seksual harus dilaporkan dan
diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Tidak ada tempat bagi kekerasan atau pelanggaran terhadap hak individu
dalam masyarakat. Dalam hal ini, peran pemerintah, masyarakat, aparat penegak hukum, dan lembaga pendidikan
sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari indikasi tindakan pelecehan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H