Mohon tunggu...
Dina Pertiwi
Dina Pertiwi Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi/Penulis Konten

Pecinta buku, sastra, dan kutipan indah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang Mengenal Diri Sendiri

17 Mei 2022   11:45 Diperbarui: 17 Mei 2022   17:56 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Alkisah, ada seorang anak kecil yang beranjak dewasa. Dia tidak popular, bukan anak yang menonjol. Terkesan biasa-biasa saja. Bukan anak yang aktif di organisasi juga bukan anak yang selalu mendapat peringkat teratas di sekolah.

Anak kecil ini biasa saja. Seorang anak yang bisa dengan mudah kamu temui dimana saja.

Suatu hari, anak ini mulai jatuh cinta. Dia mengidamkan seseorang yang, dalam pandangannya, sangat keren. Tapi sayang, lelaki yang disukai tidak menyukainya. Malah, dengan ringan lelaki itu berkata, "Siapa dia berani menyukaiku?"

Tidak hanya sekedar menolak, si lelaki ini mencemooh serta menyebarkan cerita tenang si anak kecil. Cerita yang kemudian tersebar dari mulut ke mulut sampai ke satu sekolah.

Cerita yang akhirnya membuat satu sekolah ikut mencemooh anak kecil, merendahkan, memandang jijik, dan merundungnya.

Cerita yang kemudian membuat si anak kecil bertekad dengan sepenuh hati: aku akan berubah menjadi jauh lebih baik dari kalian semua.

Si anak kecil belajar mati-matian. Berusaha menaikkan nilai dengan mimpi dia akan diterima di kampus terbaik. Dia ingin berada di atas, di puncak tertinggi. Menjadi seseorang yang bahkan tidak akan berani dipandang oleh orang-orang yang menghinanya.

Singkat cerita, hari kelulusan tiba. Lelaki yang menolaknya masuk ke salah satu universitas terbaik dan mentereng. Perundung yang merusak masa remajanya masuk ke perguruan tinggi lain yang tak kalah keren.

Sementara si anak kecil gagal. Dia tidak masuk ke perguruan tinggu negeri manapun. Bahkan seleksi untuk masuk ke perguruan tinggi swasta terbaik saja gagal dia lakukan.

Hingga akhirnya dia terdampar di sebuah PTS kecil di pinggir kota. Kenyataan itu pahit. Dan kenyataan itu telah ditelan oleh si anak kecil. Tapi tekadnya masih ada.

Aku akan membuktikan bahwa aku bisa! Aku akan membeli mulut orang yang pernah merendahkanku.

Meskipun berada di tempat kecil, perguruan tinggi yang tidak terkenal, anak kecil melakukan aktivitasnya dengan semangat.

Dia mulai mendaftar organisasi dan UKM yang akan diikuti. Dia bertekad akan menjadi lebih baik, meskipun berada di tempat kecil seperti ini.

Sayangnya, seleksi UKM dan organisasi yang dia ikuti gagal. Semuanya.

Tidak ada yang sesuai dengan kemampuannya. Dia tidak memenuhi persyaratan semuanya.

Ketika akhir semester ganjil selesai, IP nya juga biasa-biasa saja. Pas makan.

Di sini, tekadnya mulai pudar.

Anak kecil ini telah gagal. Dia merasa telah gagal.

Dia tidak berhasil naik ke tempat yang diinginkan. Bahkan tidak ada perkembangan yang pantas untuknya. Seberapapun dia berusaha, dia tetap tertinggal.

Kemudian, perasaan jahat itu datang.

Setelah semua kegagalan yang dia alami, dia merasa bahwa laki-laki itu benar. Bahwa siapa dia yang berani menyukai lelaki itu? Siapa dia yang bahkan tidak mampu mendapatkan IP bagus dan membuktikan dirinya?

Anak kecil itu masih menjalani hidup. Tapi tidak ada tekad lagi. Dia tidak mampu membuktikan dirinya. Bahwa dia tidak pantas. Bahwa dia sebaiknya tidak ada. Dia tidak berguna.

Dia tidak memiliki wajah lagi untuk menemui orang-orang yang merundungnya. Merasa bahwa dia pantas untuk dirundung karena dia tidak tahu diri.

Bahwa dia tidak pantas untuk siapapun.

Bahwa dia sebaiknya tidak ada di dunia ini.


Dan si anak kecil kehilangan tujuannya. Dia tersesat.


****

Seperti yang tadi aku bilang. Anak kecil itu ada dimana-mana. Kita bisa aja nemui anak kecil itu di diri tetangga, rekan sekelas, atau bahkan pada diri sendiri.

Dan kamu tahu apa yang salah?

Anak kecil terlalu fokus pada pembuktian diri, bukan fokus pada dirinya sendiri. Dia terlalu ingin membalas dendam daripada membuat dirinya lebih baik.

What's the difference?

Pembuktian diri membuat kita fokus pada hasil. Padahal, hidup ini hanya tentang proses. Pun, ini membuat kita enggak bisa mengenal diri sendiri.

Hasrat untuk membuktikan diri pada dasarnya wajar dan manusiawi untuk ada. Tapi, dengan kasus di atas, si anak kecil enggak punya waktu untuk mengenal dirinya sendiri. Dia tidak tau mana bidang yang diinginkan, sehingga dia mencoba mendaftar di semua UKM, alih-alih fokus pada UKM yang sesuai dengan bidangnya.

Dan apa yang terjadi?

Tentu saja dia tertolak.

Tidak mengenal diri sendiri, memiliki perasaan tertolak. Kedua hal ini bisa berakibat pada perasaan tidak yakin pada diri sendiri yang terkadang dapat menyebabkan pergeseran rasa identitas.

Jadi sebenarnya, seberapa penting mengenal diri sendiri?

Seberapa Penting Mengenal Diri Sendiri?

Aku enggak akan ngejawab pertanyaan ini. Kamu yang harus mengajawabnya. Seberapa penting buat kenal sama diri sendiri?

Tapi buatku sendiri, based on experience, mengenal diri sendiri itu jauh lebih penting daripada membuktikan diri. Karena dengan mengenal diri sendiri, kita ga akan pernah repot dengan perasaan haus pembuktian. Kita ga akan pernah lemah dan kehilangan arah seperti anak kecil.

Karena we know our worth.

Selain itu, mari kita cermati cerita si anak kecil setelah segala pembuktiannya gagal. Dia ga tau mau kemana. She is lost.

Dia enggak tahu apa kelebihannya yang membuat dia pantas ada di sini.

Dia enggak tahu bahwa self-acceptance is truly embracing who you are.

Manusia yang hidup di zaman ini dicekoki dengan proses yang serba instan, cerita yang serba plot twist, bahkan dongeng happily after ever.

Well, hidup enggak sepenuhnya seperti ini.

Hidup punya proses. Hanya saja, orang tidak menunjukkan prosesnya karena bagi dia cukup dia yang tahu bagaimana dia berproses.

Hidup ga melulu soal plot twist si korban bullying berakhir dengan menjadi direktur atau CEO start up besar. Enggak. Kadang kita bakalan tetap jadi figuran yang ada di bayang-bayang. Bahkan kadang, kita bisa aja mati kelaparan dan dalam kesedihan karena kehidupan ever after yang memang ga pernah eksis.

Kalau gitu buat apa lagi hidup kalau sekedar jadi pemeran tanpa nama?

Di sinilah pentingnya mengenal diri sendiri.

Ketika kamu udah kenal dengan diri sendiri, ga peduli seterpuruk apa dan peran apa yang kamu mainkan, even jadi pemeran abstrak di ujung koridor sekalipun, kamu tetep tahu bahwa kamu pantas.

Kamu gak akan pernah ragu sama diri sendiri. Knowing yourself helps you release self-doubt.

Mengenal diri sendiri akan membuat hidup kamu jauh-jauuuuh lebih baik. Karena dengan ini, kamu ga akan pernah merasa kecil. Kamu gak akan rendah meskipun direndahkan.

Jadi, jika kamu merasa bahwa kisah anak kecil itu relate dengan kehidupanmu, yang harus kamu lakukan adalah berhenti fokus pada pembuktian diri. Berhenti mengharapkan pengakuan.

Fokus pada dirimu sendiri dan kenali diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun