Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Secangkir Cappuccino

6 Juni 2016   09:43 Diperbarui: 6 Juni 2016   10:36 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cowok itu tertawa. Sama sekali nggak mirip dengan penjual roti itu, pikirku.... siapa dia ya? Ke mana cowok yang itu, yang suka bikin cappuccino. Sejak dia nggak ada, bilik ini jadi jarang sekali menjual cappuccino, karena jarang yang membeli juga. Kata anak-anak, ya setidaknya kata teman-temanku yang langganan cappuccino di bilik ini, kalau bukan cowok itu yang bikin, rasa cappuccino-nya jadi kurang pas. Padahal, dia bikinnya pake cappuccino instan biasa, kok, yang sering kulihat di supermarket-supermarket. Entah apa itu benar, karena menurutku rasanya sama saja. Toh aku hanya sesekali memesannya.

Setelah memesan bubur ayam, aku mengambil tempat duduk di seberang bilik tersebut, lalu meletakkan tasku ke atas meja. Entah kenapa, mataku selalu melirik ke arah bilik itu, padahal aku berusaha mengalihkannya ke penjuru lain. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang.

Sesosok cowok berambut ikal dan gondrong lewat. Dengan refleks mataku tertuju padanya. Jantungku berdebar kencang. Tapi... oh, ternyata bukan. Padahal perawakannya mirip. Dia itu mahasiswa yang sering nongkrong di sini. Aku kenal betul wajahnya. Lagi-lagi aku kecewa.

"Ini, Mbak, ovaltine hangat," tahu-tahu cowok gempal itu menyorongkan segelas penuh susu coklat ke arahku. Wah, porsinya lumayan gede juga. Dengan refleks aku menyodorkan tiga lembar uang ribuan. Namun, sesuatu di dalam dadaku mengusikku untuk menanyakan tentang cowok penjual roti itu padanya. Ah, kutanyakan saja sekarang!21

"Eng.. Dik, tunggu. Tahu nggak ke mana perginya mas yang suka ngejual cappuccino?"

Cowok itu tampak bingung sebentar, lalu dia mulai tertawa lagi. "Oh, dia 'kan udah kawin, Mbak..."

Aku tahu aku seharusnya bersikap biasa-biasa saja mendengar berita ini, tapi aku bingung mengapa tiba-tiba ada sesuatu yang melonjak-lonjak di dalam perutku. Sakit sekali.

"Oh ya?" tanyaku lirih.

"Iya, saya adik iparnya yang ngegantiin jualan. Saya 'kan pengen sekolah lagi, Mbak. Yah... dia juga sih, tapi dia lebih mentingin supaya saya aja yang sekolah. Saya 'kan belum kelar sekolahnya, baru sampai SD. Kalau kakak ipar saya sih udah tamat SMA. Mau kuliah, mahal. Makanya saya aja yang jualan, biar saya bisa ngelanjutin ke SMP, SMA, kayak dia juga. Ntar abis itu, nggak tau deh mau kawin juga atau mau kuliah, hahaha...." cerocosnya riang.

Rasanya, aku ingin sekali mencicipi secangkir cappuccinountuk yang terakhir kalinya.Cappuccinobuatancowok penjual roti itu, khusus buatannya saja. Mungkin kali ini, rasanya akan jauh berbeda...

* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun