"Tuh, persis di depan Mas."
Kutolehkan kepalaku ke arah meja yang terletak persis di depan bilik daganganku. Tiba-tiba saja aku terhenyak. Dia ada di situ! Persis di seberangku!
Mendadak tanganku seperti terkena kram. Terhenti begitu saja.
Kupandangi gadis itu. Ia mengenakan kemeja lengan panjang biru. Seperti biasa, ia selalu membawa-bawa map bening berisi banyak kertas. Ia tersenyum kikuk ke arah temannya yang berkaus ketat merah, lalu disambut dengan tawa dari temannya itu.
"Woi, Mas, jangan bengong. Cappuccino-nya satu!" tegur pria itu lagi, setengah heran. Lalu ia mengetuk meja bilik agak keras.
Aku tersadar. "Oh iya, iya, nanti saya antar. Tunggu aja."
Pria itu kemudian kembali ke mejanya. Rupanya ia semeja dengan gadis berkemeja biru itu. Kurasa pria itu temannya. Tak lama kudengar tawa membahana dari meja itu, sementara aku menuangkan sebungkus cappuccino instan ke mesin blender yang sengaja kupindahkan ke atas meja.
Sambil menunggu mesin blender itu berputar, kutatap wajah gadis itu lagi. Ia tertawa tersipu-sipu, sedangkan temannya yang lain sedang melontarkan gurauan, entah apa. Tidak terdengar jelas. Kurasa ia tertawa mendengar gurauan temannya itu.
Aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba aku tertarik pada gadis itu. Sejak kapan, aku juga tidak tahu persis. Tapi, aku masih ingat kejadian itu.
Waktu itu, aku tengah membagi-bagikan dagangan susu murni yang masih tersisa. Sengaja kubagikan secara gratis. Di hadapanku, tiga orang mahasiswa: satu cowok, dua cewek. Salah satu dari cewek itu, si gadis yang kumaksud.
Dari tampangnya saja sudah kelihatan gadis itu lugu. Matanya bulat besar seperti mata anak perempuan yang menyiratkan kepolosan. Sekalian saja kukerjai dia.