*
'Hhm... dia memang lumayan ganteng, rambutnya ikal, tipe-tipe cowok yang physically gue suka... tapi... jangan sampai aku jatuh hati sama dia, dong!' batinku berbicara tak henti-henti. Tapi, cowok penjual roti itu masih terus-terusan memperhatikanku, memperhatikan gerak-gerikku, menatapku, memandangku dengan sorot mata tajam, dan sesekali bibirnya tersenyum tanpa ia sadari.
Aku berusaha mengalihkan saat-saat itu dengan membaca buku yang disodorkan temanku yang berbaju merah. Kuharap, ia takkan menatapku lagi.
'Gue nggak boleh sampai jatuh hati dengan pedagang roti itu, Tuhan! Nggak boleh... gue ini 'kan mahasiswa, sedangkan dia hanya seorang pedagang di kantin ini... dia jelas tidak sebanding sama gue!' jerit batinku lagi-lagi. 'Jangan sampai gue jatuh cinta padanya, kalau nggak, gue sendiri yang bakal kesulitan!'
Tiba-tiba, aku merasa ngeri sendiri. Meskipun aku berusaha membuang jauh-jauh bayangan cowok penjual roti itu, tapi khayalanku justru membumbung jauh dengan berbagai impianku bersama dia! Tidak! Aku menggeleng keras tanpa sadar. C'est un amour impossible!
"Kenapa lo?" tanya temanku berbaju merah yang menyodorkan bukunya kepadaku. "Susah ya bahasanya?"
"Hehe, iya nih, bahasanya susah ditangkep!" aku berpura-pura memijat-mijat keningku.
"Iya tuh, makanya gue nanya ke elo. Siapa tau elo ngerti bahasa njelimet kayak gitu," kata temanku lagi.
Ah, moga-moga saja ini hanya perasaanku. Biasa, cewek 'kan suka ke-geer-an. Dasar bego, mana mau ada penjual roti naksir cewek kayak gue gini?' Hiburku.
Ini sudah hari ketigaku aku kebetulan duduk di meja yang berhadapan persis dengan bilik si penjual roti itu. Teman-temanku yang memilih tempat di sini. Entah kenapa alasannya... mungkin strategis buat mereka. Tempat itu memang dekat dengan jalan keluar-masuk kantin, dan dari tempat itu pula bisa ditebarkan pandangan ke penjuru timur kampus. Dari penjuru itu dapat terlihat para mahasiswa yang lalu-lalang, entah baru selesai kuliah atau baru datang ke kampus.
Tapi, entah kenapa, pemilihan tempat duduk ini malahan menggangguku. Awalnya, aku merasa senang juga ada orang tak dikenal memperhatikanku dan mengamatiku. Apalagi jika orang itu ganteng, seperti cowok penjual roti itu. Hanya gara-gara suatu kali aku pernah berkata tidak pantas kepadanya, dan aku merasa tidak enak bila tidak meminta maaf kepadanya. Toh, memang bukan dia yang salah. Masa' kekesalanku yang menumpuk pada hari itu bisa seenaknya ditimpakan kepada orang lain yang tidak salah apa-apa? Maka aku pun minta maaf padanya. Tapi, sejak saat itu, batinku mulai terusik setiap kali pandangan mataku bertubrukan dengan tatapan si cowok penjual roti itu. Aku berusaha mengenyahkan jauh-jauh perasaan aneh itu, tetapi ada sesuatu di hati ini yang tetap ingin menyimpannya. Sangat jarang orang-orang ganteng mau 'melihat' sosokku yang biasa-biasa saja ini. Modis tidak, gaul pun tidak terlalu.