Mohon tunggu...
Dilva Nahida
Dilva Nahida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

PERJANJIAN UTANG PIUTANG

14 Maret 2023   21:42 Diperbarui: 15 Maret 2023   16:32 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul: Perjanjian Utang Piutang
Penulis: Gatot Supramono, S.H., M.Hum.
Penerbit: Kencana
Terbit: 2014
Cetakan: Ke-2, Juni 2014

Perjanjian Utang Piutang karya Gatot Supramono, S.H., M.Hum. merupakan buku  Islam yang mencukup transaksi utang piutang dengan adanya pengembalian utang secara baik dan benar. Buku ini juga menjelaskan bagaimana cara menghadapi kebutuhan-kebutuhan manusia dalam mencukupi hidupnya. Terdapat dua pihak yang dapat melakukan perjanjian, yakni pihak yang memberi pinjaman uang dan pihak yang menerima pinjaman uang.

Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa ia akan mengembalikannya. Perjanjian utang piutang termasuk dalam jenis perjanjian pinjam meminjam, sebagaimana diatur dalam Bab 13 Buku Ketiga KUHPerdata. 

Dalam pasal 1754 KUHPerdata menyebutkan bahwa pinjam meminjam adalah perjanjian dengan pihak satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang yang bisa habis karena telah digunakan, dengan syarat barang yang dipinjam akan dikembalikan sejumlah sama denga napa yang telah dipinjam. Istilah pihak yang melakukan perjanjian tersebut yakni kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman (berpiutang) dan debitur sebagai pihak yang menerima pinjaman (berutang).

Terjadinya utang piutang ada dua macam, yaitu yang pertama karena murni perjanjian utang piutang dimana perjanjian tersebut dibuat semata-mata untuk melakukan utang piutang, seperti kekurangan modal untuk meningkatkan usahanya. Dan yang kedua karena adanya perjanjian lain yang sebelumnya sudah ada perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli mobil dengan cara menyicil, maka pembeli membayar uang muka dan penjual menyerahkan mobilnya dan perjanjian jual beli ini sudah selesai.

Macam-macam kreditur dibagi menjadi dua macam, pertama kreditur perorangan yang sifatnya pribadi dan kedua kreditur perusahaan/bank. Dalam perjanjian utang piutang juga dikenal adanya bunga bank / bunga atas utang karena baik dalam KUHPerdata maupun undang-undang lainnya memperjanjikan bunga bukan suatu kewajiban atau keharusan. Menurut Pasal 1766 KUHPerdata ayat (1) KUHPerdata tidak dapat menuntut atau mengurangi utang pokoknya. Jika terdapat perjanjian sebelumnya dimana terdapat bunga yang diperjanjikan mewajibkan debitur membayar sampai pada batas waktu yang telah ditentukan, maka debitur wajib membayar bunga kepada kreditur.

Bunga yang ditetapkan dalam perjanjian menurut Pasal 1767 ayat (2) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan besarnya bunga, meskipun telah ditetapkan pada perjanjian sebelumnya namun perlu diperhatikan batas kemampuan debitur untuk membayar bunga tersebut. Adapun bunga yang ditetapkan oleh pengadilan jika ada perkara gugatan yang diajukan. Dalam menetapkan besarnya bunga, pengadilan tidak bisa berbuat sewenang-wenang dalam mempertimbangkan sejumlah hal dari segi keadilan, kepantasan, kemampuan debitur, dan bunga yang berlaku di kalangan perbankan.

Kewajiban kedua pihak perjanjian utang piutang, pertama kewajiban kreditur  yakni tidak dapat meminta kembali uang yang telah dipinjamkan kepada debitur sebelum batas pengembalian dan apabila debitur mengembalikan pinjamannya setelah ia mampu membayarnya, maka kreditur bisa menuntut pengembalian melalui pengadilan. Bentuk wanprestasi atau prestasi yang telah diperjanjikan tidak dapat melaksanakan sebagaimana mestinya oleh debitur, dan terdapat tiga bentuk wanprestasi:

  • Utang tidak dikembalikan sama sekali, dimana debitur tidak mempunyai iktikad baik dalam melaksanakan perjanjian.
  • Mengembalikan utang hanya sebagian, dimana utang yang dibayar baru sebagian kemudian selebihnya sulit diharapkan.
  • Mengembalikan utang tetapi terlambat waktunya, dimana debitur masih mempunyai niat baik mengembalikan utangnya tetapi terhalang oleh usahanya yang sedang sepi sehingga debitur perlu sekali menunda pembayaran utangnyadan sebenarnya tidak ada niat untuk merugikan kreditur.

Buku ini juga menjelaskan tentang jaminan kebendaan, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Jaminan benda tersebut digunakan untuk menjamin utang debitur kepada kreditur apabila suatu saat debitur tidak dapat membayar utang kreditur. Barang-barang yang dijaminkan itu milik debitur dan apabila debitur telah wanprestasi atas utangnya maka jaminan dapat dimiliki oleh kreditur. Barang-barang yang dijadikan jaminan memiliki hak kebendaan, yakni hak yang dapat memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan oleh siapa saja. Ciri-ciri suatu hak kebendaan sebagai berikut:

  • Bersifat mutlak, dapat dipertahankan oleh siapa saja
  • Hak kebendaan mengikuti terus kepada bendanya kemana saja, meskipun terjadi pemindahan tangan hak milik
  • Menganut sistem tingkatan, hak kebendaan yang ada lebih dahulu mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada hak kebendaan yang terjadi belakangan.

Dengan hak kebendaan, kreditur memiliki kekuasaan langsung terhadap barang jaminan semata-mata untuk kepentingan pelunasan utang.
Jenis barang ada dua macam, barang bergerak dan barang tidak bergerak. Barang bergerak adalah barang yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Sedangkan barang yang tidak bergerak adalah barang yang tidak dapat berpindah atau menyatu dengan tanah, seperti rumah dan jembatan. Jaminan barang bergerak, yakni pilihan hukum (kreditur daan debitur mempunyai pilihan hukum untuk menentukan jaminan mana yang akan dipilih), gadai, dan fidusia (pengalihan hak kepemilikan benda). Jaminan barang tidak bergerak, yakni hak tanggungan dan hipotek (hak kebendaan atas barang tidak bergerak yang dijadikan jaminan).

Penyelesaian utang piutang melalui pengadilan dapat dilakukan dengan sengketa wanprestasi yaitu bentuk pelanggaran perjanjian utang piutang, yang mana pihak kreditur sudah menagih utangnya dan debitur tidak dapat memenuhinya. Gugatan perdata utang piutang diselesaikan di pengadilan. Untuk perkara gugatan harus ada dua pihak yang bersengketa penggugat melawan tergugat. Pada dasarnya surat gugatan berisi tiga hal, yaitu:

  • Para pihak yang berperkara
  • Posita
  • Tuntutan

Dasar tuntutan sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu:

  • Bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwanya
  • Bagian yang menguraikan tentang hukumnya.

Sehubungan dengan gugatan utang piutang, maka yang dapat dituntut oleh penggugat pada pokoknya, antara lain:

  • Perjanjian utang piutang sah menurut hukum
  • Perbuatan tergugat dinyatakan telah melakukan wanprestasi
  • Tergugat dihukum untuk membayar utang ditambah bunganya
  • Tergugat dihukum membayar biaya perkara.

Tuntutan tersebut satu dengan yang lainnya saling berkaitan karena dapat mengatakan perbuatan wanprestasi, maka perbuatan itu harus didasarkan pada suatu perjanjian yang sah.

Kemudian perkara gugatan diakhiri dengan putusan. Untuk mengajukan tuntutan menurut Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg mempunyai beberapa syarat:

  • Ada surat autentik atau tulis tangan sebagai bukti
  • Ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan pasti
  • Ada gugatan yang dikabulkan

Terdapat juga alat-alat bukti yang sah pada Pasal 1866 KUHPerdata, yaitu:

  • Surat
  • Saksi
  • Persangkaan-persangkaan
  • Pengakuan
  • Sumpah

Selain ada alat-alat bukti, juga terdapat pengakuan, yaitu pernyataan tergugat yang diberikan di persidangan yang membenarkan dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat. Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim akan menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orang yang mengaku tersebut, baik pengakuan yang diucapkan sendiri atau diucapkan oleh kuasa hukumnya. Pengakuan tergugat tidak selalu diucapkan secara lisan, tetapi dapat diajukan secara tertulis dalam jawaban terhadap gugatan.

Pada prinsipnya pengakuan yang telah disampaikan kepada hakim, tidak dapat ditarik kembali oleh tergugat. Pengakuan yang telah disampaikan mengikat pihak lawan di persidangan. Apabila pengakuan itu mudah ditarik kembali, akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam pembuktian. Penggugat akan merasa dirugikan dengan sikap tergugat.

Gugatan yang sudah diakui oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi karena pengakuan itu sudah berarti membenarkan dalil gugatan dan pengakuan itu sendiri sudah merupakan salah satu alat bukti menurut undang-undang. Dalam gugatan wanprestasi atas utang piutang, apabila tergugat di dalam jawabannya mengakui pernah menerima utang dari penggugat dan membenarkan utang yang belum dibayar besarnya seperti yang ada di dalam gugatan penggugat.

Dengan pengakuan tergugat ini, pihak penggugat tidak perlu lagi mengajukan alat-alat bukti lain. Pengakuan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Hakim di dalam mempertimbangkan putusannya dimulai dengan pertimbangan tentang apa yang diakui oleh tergugat. Jika sudah diakui seluruhnya, dinilai penggugat telah berhasil membuktikan seluruh dalil-dalil gugatannya.

Sejalan dengan urutan alat-alat bukti di atas, penggugat harus mengajukan alat bukti berupa surat. Surat sebagai alat bukti bentuknya hanya ada dua macam, yaitu surat yang berbentuk akta dan bukan akta. Untuk surat yang berbentuk akta dikenal ada dua macam, yakni akta autentik dan akta di bawah tangan.

Penyitaan terhadap barang-barang milik berutang sebagai berikut:

  • Sita Jaminan
  • Objek Jaminan tidak perlu di Sita
  • Kasus Penyitaan Saham

Putusan besarnya utang yang wajib dibayar, yaitu setiap perkara yang masuk ke pengadilan pada akhirnya pasti diputus oleh hakim. Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk mengakhiri suatu perkara apapun yang dituntut penggugat di dalam gugatannya alan mendapat jawaban di dalam putusan.

Dalam sengketa utang piutang pada pokoknya penggugat menghendaki tergugat dihukum untuk membayar utangnya kepada penggugat disertai dengan pembayaran bunganya yang dihitung sampai utang dibayar terhadap tuntutan tersebut pengadilan memutus besarnya utang yang wajib dibayar tergugat berdasarkan hasil pembuktian dari bukti-bukti yang diajukan penggugat. Jika penggugat dari bukti-buktinya berhasil membuktikan sebagaimana gugatannya, maka pengadilan akan mengabulkan besarnya utang yang wajib dibayar tersebut seperti dalam gugatan penggugat. Apabila yang terbukti besarnya utang tersebut nilai di bawah yang digugat, maka sebesar itulah yang dikabulkan oleh pengadilan.

Eksekusi putusan perkara utang piutang, yaitu dapat mengeksekusi putusan perkara utang piutang, maka putusannya harus sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pengadilan tidak mungkin melaksanakan putusan atas inisiatifnya sendiri. Pengadilan baru akan mengeksekusi putusannya apabila penggugat sebagai pihak yang menang beperkara mengajukan permohonan eksekusi.

Prinsip hukum acara perdata jika ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, tergugat sebagai pihak yang di kalahkan, tanpa diminta atau tanpa diperintahkan tergugat dapat memenuhi putusan secara sukarela. Tergugat dapat langsung melaksanakan hukuman seperti melaksanakan prestasi kepada penggugat seperti yang tercantum dalam amar putusan. Apabila yang terjadi demikian, maka tidak perlu lagi ada eksekusi dari pengadilan.

Namun jika yang terjadi sebaliknya, tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan dengan sukarela, penggugat tidak mempunyai hak untuk memerintahkan atau memaksa tergugat untuk memenuhi putusan. Agar suatu putusan dapat dipenuhi oleh tergugat, maka caranya adalah penggugat mengajukan permohonan eksekusi putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan tingkat pertama. Dengan adanya permohonan itu, maka pengadilan baru dapat bertindak aktif untuk melaksanakan putusan. Pada dasarnya dikenal ada dua macam eksekusi putusan pengadilan, yaitu:

  • Eksekusi yang menyangkut hukuman pembayaran sejumlah uang (Pasal 296 HIR/Pasal 208 R.Bg.)
  • Eksekusi yang menyangkut hukuman berupa melakukan suatu perbuatan tertentu (Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg.)

Pelaksanaan putusan terhadap hukuman yang berupa pembayaran sejumlah uang, dilakukan dengan cara menjual lelang barang-barang milik tereksekusi yang terlebih dahulu dilakukan penyitaan. Eksekusi seperti ini dilakukan dalam perkara utang piutang, di mana debitur dihukum pengadilan untuk melunasi utang beserta pembayaran bunganya.

Jika pada waktu pemeriksaan perkara telah dilakukan sita jaminan itu, maka dalam rangka eksekusi putusan tidak diperlukan lagi sita eksekusi apabila nilai barang yang disita sudah mencukupi nilainya dengan nilai perkara. Sebaliknya, jika sebelumnya tidak dilakukan sita jaminan, maka setelah dilakukan teguran tereksekusi tidak memenuhi amar putusan dalam tempo delapan hari, juru sita pengadilan sudah dapat melakukan sita eksekusi terhadap barang-barang milik tereksekusi.

Hasil penyitaan berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak nantinya akan dilakukan pelelangan. Pelelangan adalah penjualan barang di muka umum atau terbuka untuk umum, sehingga hasil penjualannya juga diketahui oleh umum. Tujuan pelelangan, untuk menghindari penjualan di bawah tangan atau secara sembunyi-sembunyi yang berakibat merugikan pihak tereksekusi. 

Dengan hasil pelelangan nantinya digunakan untuk memenuhi putusan pengadilan.
Sehubungan dengan itu termohon eksekusi harus diberitahu oleh pengadilan, bahwa barang-barangnya yang telah disita akan dilakukan pelelangan. Pemberitahuan tersebut dikarenakan meskipun barang-barang itu disita oleh pengadilan, akan tetapi secara yuridis kepemilikannya tetap kepunyaan termohon eksekusi. Hal yang wajar sebagai pemilik barang, patut mengetahui barang-barang akan dilelang. Pemberitahuan ini juga merupakan salah satu syarat kelengkapan dalam pengajuan lelang ke kantor lelang.

Eksekusi jaminan utang, kecuali barang yang dibebani gadai eksekusinya dapat melalui pengadilan, karena dengan akta atau sertifikat yang bertitel " Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"  mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jaminan-jaminan utang yang dimaksudkan adalah fidusia, hak tanggungan dan hipotek kapal.

Oleh karena itu dianggap sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi jaminan-jaminan tersebut tidak melalui prosedur gugatan perdata. Hal ini lebih cepat karena tidak memerlukan pemeriksaan perkara dan putusan, serta tidak mengenal upaya hukum banding dan kasasi, serta peninjauan kembali. Pemegang hak kebendaan tersebut dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada KPN.

Dasar hukumnya Pasal 1156 KUH Perdata menyebutkan, dalam segala hal, bila debitur atau pemberi gadai lalai untuk melakukan kewajibannya, maka debitur dapat menuntut lewat pengadilan agar barang gadai itu dijual untuk melunasi utangnya beserta bunga dan biayanya. menurut cara yang akan ditentukan oleh hakim, atau agar hakim mengizinkan barang gadai itu tetap berada pada kreditur untuk menutup suatu jumlah yang akan ditentukan oleh hakim dalam suatu keputusan, sampai sebesar utang beserta bunga dan biayanya.

Pengadilan dengan cara alternatif, yaitu kreditur dapat menjual objek jaminan dengan perantaraan kantor lelang atau dengan menjual secara di bawah tangan dengan persetujuan dengan debitur dengan syarat dapat di peroleh dengan harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Penyelesaian utang piutang salah satunya melalui kepailitan.

Kepailitan merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa utang piutang. Lembaga ini bukan untuk penyelesaian utang seorang kreditur melainkan untuk kepentingan sejumlah kreditur. Dengan dijatuhkannya putusan pailit maka kreditur-kreditur lainnya dapat beramai- ramai mengajukan tagihan utangnya. Syarat-syarat seorang debitur dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan berdasarkan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 adalah debitur mempunyai minimal dua orang kreditur dan sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tidak dibayar lunas.

Penyelesaian utang dengan kepailitan berakibat semua harta benda si pailit dalam keadaan disita oleh pengadilan dan yang bersangkutan tidak dapat mengurus kekayaannya karena sudah diurus oleh kurator sampai proses kepailitan berakhir termasuk pemberesan seluruh utang utangnya. Perjanjian utang piutang, kepailitan dipandang oleh sebagian orang sebagai lembaga yang cukup kejam karena istilah pailit mengandung konotasi negatif dan sering diartikan se bagai keadaan bangkrut.

Permohonan sita jaminan barang yang dibebani hak kebendaan, dalam gugatan utang piutang yang masuk ke pengadilan pada umumnya penggugat selain meminta agar tergugat dinyatakan melakukan wanprestasi dan dihukum untuk membayar pelunasan utangnya juga meminta agar pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap barang-barang bergerak maupun tidak bergerak milik tergugat dengan alasan agar nantinya kemenangan penggugat tidak sia-sia.

Penggugat yang meminta sita jaminan kepada pengadilan terhadap barang-barang tergugat yang sudah dibebani hak kebendaan, sedangkan pembebanan jaminan untuk kepentingan utang penggugat. Maka penyitaan terhadap barang-barang tersebut dapat dilakukan tetapi tidak ada urgensinya. Jadi pemintaan sita jaminan tersebut merupakan tindakan yang berlebihan dan tidak banyak pengaruhnya dalam pembayaran utang.

Dalam melakukan transaksi utang piutang, pihak kreditur selalu menghendaki adanya pengembalian utang secara baik dan lancar. Untuk menjamin keamanan transaksi utang piutang, pihak kreditur akan meminta debitur menyediakan barang-barang miliknya sebagai jaminan. Perjanjian utang piutang pada umumnya dibuat dalam bentuk tertulis, untuk kepentingan administrasi perusahaan dan sekaligus sebagai bukti apabila terjadi sengketa di antara para pihak.

Akan tetapi, perjanjian utang piutang ini pada dasarnya dapat dibuat dengan bebas dalam bentuk lisan atau secara tertulis sangat tergantung pada iktikad baik para pihak yang berkepentingan. Penyelesaian sengketa utang piutang dapat dilakukan melalui pengadilan, sedangkan perjanjian berklausul arbitrase pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa utang piutang. Namun demikian. kreditur tetap dapat mengajukan permohonan pailit debiturnya ke pengadilan niaga sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan undang-undang.

Referensi penting ini dilengkapi dengan sejumlah permasalahan faktual tentang perjanjian utang piutang yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini menjadi referensi penting bagi kalangan pelaku usaha (pebisnis), hakim, pengacara, dosen, mahasiswa, dan masyarakat umum untuk memahami seluk-beluk perjanjian utang piutang.

Kesimpulan

Dari seluruh uraian pembahasan tersebut dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya dalam mengadakan perjanjian utang piutang, terutama kreditur merasa tidak cukup perjanjiannya sampai di situ karena selalu berkeinginan utang yang diberikan kepada debitur pada waktu pengembaliannya dapat berjalan dengan lancar. Agar dapat menjamin keamanan utangnya, kreditur selalu berupaya menggunakan lembaga lembaga yang telah tersedia. 

Debitur dapat diminta untuk membuat akta pengakuan utang yang berdasarkan Pasal 224 HR/Pasal 258 RBg harus dibuat dengan grosse akta, karena dengan akta yang bertitel "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa" eksekusi pengakuan utang dilakukan ke pengadilan tanpa melalui gugatan per data. Kelemahannya utang yang tercantum dalam grosse akta pengakuan utang nilai harus sudah pasti, dan debitur mem punyai harta kekayaan yang cukup untuk disita eksekusi.

Perjanjian utang piutang dibuat dengan akta notaris akta pengakuan utang. namun akta pengakuan utang yang bukan grosse akta ti- dak sejalan dengan isinya, karena berisi perjanjian utang piutang bahkan ditambah dengan perjanjian jaminan dan pemberian kuasa. Selain itu, kreditur dapat meminta barang-barang debi tur yang khusus untuk dijaminkan sebagai pelunasan utang Barang-barang bergerak dapat dibebani gadai atau fidusia. Adapun barang tidak bergerak yang berupa tanah dan ba ngunan dibebani dengan hak tanggungan dan yang berupa kapal dibebani dengan hipotek.

Saran

Adanya lembaga akta pengakuan utang yang pembuatan aktanya melalui notaris diharapkan selaku pejabat hukum memahami dan menguasai lembaga tersebut sehingga dalam membuat akta pengakuan utang mengetahui arahnya untuk kepentingan eksekusi pembayaran utang atau untuk kepentingan pembuktian tentang adanya utang, sehingga pihak yang menghadap dapat melakukan pilihan berbentuk akta atau bukan.

Disarankan pula dalam membuat akta pengakuan utang notaris dapat menghindari kesalahan atau kekeliruan dari prinsip hukum perjanjian yang berlaku agar sistem hukum tetap terjaga rapi dan tidak membingungkan masyarakat, pengacara, dosen, mahasiswa, dan masyarakat umum untuk memahami seluk-beluk perjanjian utang piutang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun