Mohon tunggu...
Dila AyuArioksa
Dila AyuArioksa Mohon Tunggu... Seniman - Motto Lucidity and Courage

Seni dalam mengetahui, adalah tahu apa yang diabaikan -Rumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karpet Rayo untuak Amak

20 Juli 2021   04:13 Diperbarui: 20 Juli 2021   04:54 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Saidah dan Bungsu saling menatap dengan wajah mulai kebinggungan


"kini inyo makan se acok manumpang jo denai disiko"(untuk makan saja dia sering menumpang bersama saya)


"kok mode itu bana nasib apak " (kenapa nasib, bapak jadi seperti itu) dengan suara yang mulai bergetar Saidah mengumam
"anaknyo, alias akak tiri kalian, ndak peduli samo inyo lai, soalnyo apak kalian ndak ado karajo" (kakak tiri kalian tidak mempedulikannya lagi, karena bapak kalian tidak bekerja)


"tuh, kini dima apak denai tuh mak"( terus bapak sekarang ada dimana Mak?)


"patang tuh inyo, manumpang tingga di kadai Tuan Simeh". (kemaren dia menumpang di kadai tuan Simeh).


"Kadai yang dibelakang rumah urang yang bacat kuniang tuh"( kedai yang di belakang rumah bercat kuning itu)  amak berdiri dan menunjuk arah


Saidah dan Bungsu langsung pamit ke Amak dan mereka melanjutkan perjalanan. Diatas motor sepatah kata pun  enggan keluar dari mulut kakak beradik itu. Benar saja di  warung kopi itu. Terdapat seorang laki-laki tua duduk dengan kain sarung motif kotak-kotak, dan dililitkan ke pinggangnya. Dia duduk dalam keadaan menunduk. Badannya  kurus .

 Semakin didekati helaan napasnya terdengar sesak. Saidah dan Bungsu menemuinya segera. Tanpa rasa ragu, bahwa lelaki tua yang sedang duduk itu adalah Apak yang mereka cari.


Enam pasang mata saling bertatapan. Wajah tanpa ekspresi bercermin satu sama lain. Apak kalang kabut dan seperti orang kebingungan. Dia berdiri dan kembali duduk dengan gelisah. Tanpa menyapa Saidah dan Bungsu. Saidah mencoba menenangkan Apak. "duduak Pak, kami baduo taragak jo Apak" (duduk Pak, Kami berdua rindu sama Pak) Saidah memegang tangan Apak
Apak memalingkan kepala, mungkin ada penyesalan dan rasa malu dibatinnya. Sesekali Apak memegang tangan erat Saidah dan Bungsu.


Beberapa orang di warung melihat kemelut perasaan mereka bertiga. Namun Saidah tak memepedulikannya. Perasaan Saidah berkecamuk dengan kondisi Apak yang mempihatinkan, , rambut yang tak terurus, hingga kumis nya yang aruk-arukan telah menutup bibir bagian atas. Kondisi Apak sangat jauh dari yang diharapkan Saidah.  


"si Elin, lah dibuangyo denai" (Si Elin telah membuang saya) ujar Apak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun