Mohon tunggu...
Dila AyuArioksa
Dila AyuArioksa Mohon Tunggu... Seniman - Motto Lucidity and Courage

Seni dalam mengetahui, adalah tahu apa yang diabaikan -Rumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karpet Rayo untuak Amak

20 Juli 2021   04:13 Diperbarui: 20 Juli 2021   04:54 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mak, ambo balian se amak karpet untuak barayo bak a Mak?" (aku beliin aja Mak karpet untuk lebaran gimana?)  Saidah mencoba menyakinkan Amak


"Indak, kecek denai, denai nio kau pulang kampuang" (Ngak, aku maunya kamu pulang kampung) dengan suara lantang Amak menjawab dan jaringan telpon pun diputus Amak begitu saja


Saidah mencoba menghubungi Amak. Namun Amak tak menjawab panggilan. Saidah melirik jam tangannya yang menujukkan jam 11 malam. Tadi itu Saidah seperti berbicara dengan orang asing. Biasanya Amak bertutur bahasa yang baik dan lembut pada Saidah. Mungkin faktor Saidah yang masih di Jakarta. 

Selama dua tahun terakhir Saidah bertahan dan bekerja di sebuah perusahaan swasta Jakarta. Meskipun upah yang didapat hanya sebatas bayar uang kontrakan, makan dan transportasi. Sebisanya  dia mengrimkan uang untuk Amak di kampung, dan biaya adiknya sekolah.


Kalau dibuka lembaran masa lalu tentang perceraian orangtuanya. Banyak hal yang dikorbankan Saidah salah satunya, membunuh mimpi untuk bisa kuliah. Dan memilih untuk merantau ke Jakarta seorang diri. Saidah masih ingat dialog terakhir dengan Apak. Sampai sekarang dialog itu masih tergiang di gendang telinga Saidah.

 Ketika itu Saidah memberanikam diri bertamu ke rumah kakak tirinya bernama Elin. Sesampainya di perkarangan uni Ellin, ada keraguan untuk melangkah ke pintu tersebut. 

Sesekali Saidah ingin kembali pulang, namun keadaan harus memaksanya untuk  mengetok pintu yang terbuat dari kayu jati itu "assalamualaikum, Pak " sebanyak tiga kali.
 Barulah  Uni Elin membukakan pintu. Setelah dibukakan pintu, langsung diontarkan bahwa "Apak sedang makan dibelakang". 

Saidah langsung menyusul Apak menuju dapur. Tak ada dialog kedua dari Uni Ellin. Saidah mencoba senyum, tapi Uni Ellin langsung balik badan dan berjalan menuju kamar. Rumah yang luas dengan berbagai hiasan dinding, dan ruang tamu yang tertata begitu rapi. Lemari hias yang dipenuhi hiasan keramik pun ikut terpajang. 

Pantas saja Apak betah tinggal di rumah mewah ini, batin Saidah berkata. Hidung Saidah pun peka dengan aroma khas rumah orang kaya. "samo baunyo jo rumah Hj. Gadiang" tak sadar Saidah mengeluarkan kata-kata tersebut. Dan langsung ditutup mulutnya, ketika melihat punggung Apak.

"Pak"


Tangan bapak yang sedang menyuap nasipun terhenti, dan menoleh kebelakang


"jo sia kamari" (sama siapa kesini)


"surang Pak"(sendiri pak)


Bapak kembali melanjutkan makannya, tanpa menawari Saidah yang berdiri disampingnya


"denai ndak bapiti doh" (saya tidak ada duit) seru Apak


Sebuah peryataan yang seperti mengiris perasaan Saidah.


"ambo kamari, ndak kamintak piti gai doh pak, Amak denai lai kuek cari piti"


(tujuan saya kemari, bukan minta uang pak,

 amak saya masih kuat cari uang kok"


"tuh, manga" (terus ngapain)


"Apak, denai marantau ka Jakarta lai Pak?" (Bapak, saya ingin merantau ke Jakarta)


"Pail ah, ndak usah baliak" (pergilah dan tak usah kembali)


Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Apak, hanya sembilu yang menyayat perasaan Saidah. Tak ada yang bisa diharapkan dari Apak. Jangankan uang sepersen dari Apak, melihat raut wajah Apak yang memalingkan pandangan. Tak sanggup membuatnya berbicara lama dengan Apak. Akhirnya  Saidah putuskan untuk pergi dan dia menyalami tanggan Apak yang dikotori oleh sisa-sisa remahan nasi. Langkah kaki pertama Saidah keluar, air matanya pun ikut bercucuran.


Sekarang Saidah merasakan karakter Amak dan Apak tidak jauh beda. Semuanya keras dan kuat pendirian. Keputusan Amak tidak bisa ditoleransi. Apalagi umur Amak yang lebih dari setengah abad. Sering mengeluh karena sakit rematiknya,  tapi dia tetap memaksakan diri untuk bertani. Pikiran dan batin Saidah berkecamuk, hingga akhirnya dia pesan tiket pesawat via online. Saidah memilih keberangkatan setelah lebaran.

  Maklum dia harus menunggu upah kerja bulan itu untuk bisa membayar semua kebutuhan dan persayaratan pulang kampung.


**Saidah Pulang Kampung


Sebelum keberangkatan pulang kampung, Amak sering kali menghubungi Saidah, dan menanyakan sudah sampai dimana. Saking senangnya Amak, dia memasak makanan begitu banyak.  Dari pagi dia tidak beranjak dan duduk menunggu Saidah di depan pintu. Sesekali keluar dan memperhatinkan pengendara yang lewat di depan rumahnya. Melihat seseorang turun dari motor.

 Langsung Amak melambaikan tangan di ambang pintu. Ingin rasanya Saidah berlari dan memeluk Amak, namun tas ransel yang menggunung di pungungya membuatnya keberatan dan harus berjalan pelan-pelan.


Dengan lantang Amak memanggil Bungsu. "Bungsu, kamarilah capek, Uni kau lah tibo ha" (Bungsu, bergegaslah kakakmu sudah sampai) . Bungsu berlari riang dari dapur menuju Saidah Kupu-kupu liar yang bertebangan di kebun halaman rumah  pun ikut merayakan kedatangan Saidah.


Amak sangat rajin menyapu halaman dan membersihkan perkarangan rumah bersama Bungsu. Meskipun Bungsu sempat curhat ke Saidah, dia kadang malas menyapu . Tapi Amak selalu memaksanya . 

" kau bisuak Bungsu, ka manjadi bini atau

 minantu urang, jadi jang maleh-maleh juo "  (Bungsu, suatu saat nanti kamu juga akan menjadi istri dan menantu orang lain) dengan dialog dan logat gaya amak menegurnya.

Mendengar curhatan adiknya itu. Saidah tertawa. Dari luar rumah sampai dapur rumah pun sangat bersih dan tertata rapi. 

"ndak, sio-sio Amak mamberangi si Bungsu, bia rajin karajo" (ngak sia-sia amak memarahi Bungsu untuk berbenah ). 

Suasana rumah yang menyenangkan hatinya, itu membuat Saidah tak bisa menahan air mata kerinduan.


Pada hari Minggu, Saidah duduk didepan tv yang menyala. Namun arah matanya menuju keluar pintu kaca jendela. 

"apo yang Uni pikia kan?" (lagi mikirin apa kak?) sahut Bungsu yang menepuk punggung Saidah


"Tapikia Apak" (memikirkan Bapak) dengan mata yang redup


Bungsu mengangukan kepala dan kembali berdiri berbalik arah jalan menuju ke dapur. Jarak dapur dan ruang tengah sangat dekat, hanya dipisahi oleh dua jarak kamar. Bungsu pun mendekati Amak yang sedang mengupas bawang merah. Sembari ingin merayu Amak, Bungsu berinisiatif  menggambil pisau dan ikutan mengupas, dan menceritakan lamunan Saidah yang panjang. Amak pun mengambil pisau dari tangan Bungsu. Dan menyuruhnya untuk menemani Saidah bertemu dengan Apak.


Setelah mendapat izin dari Amak, Bungsu memeluk Amak dengan rona wajah bahagia. Bungsu tak sabar membawa Saidah ke Apak.

 "Nah, kito cari Apak di rumah anaknyo"  (ayok, kita cari Bapak dirumah anaknya)


"Amak, bak a?" (amak, gimana?)


"tanang, lah awak sampaikan ka Amak, capeklah, kamehan badan tuh" seru Bungsu (tenang, aku udah ngomong sama Amak,dan dijinkan sama Amak)


Akhirnya Saidah dan Bungsu, mengenderai motor  menuju kampung sebelah, dengan perasaan was-was. Ada rasa yang tak bisa diutarakan untuk bertemu dengan Apak.
Saidah ambigu dengan perasaannya. Seorang anak yang membantin rindu dengan bapaknya sendiri. Bayangkan, Bungsu saja sangat jarang bertemu dengan Apak. Bisa diitung dengan lima jari tangan kanan manusia. Keputusan sepihak dari Apak yang ingin tinggal bersama Uni Elin. 

Melupakan tanggung jawabnya untuk membiayai sekolah Saidah dan Bungsu. Bergantung pada pangkal lengan dan bahu Amak yang banting tulang. Padahal Apak waktu itu seorang pekerja bangunan, yang dibayar dua kali lipat gaji Amak bekerja di sawah tetangga.


Diperjalanan Bungsu menarik rem dan sontak Saidah kaget berada dibelakang.

 "Manga Baranti?" (kok berhenti) ucap Saidah


"Apak tuh agak susah mancarinyo, jadi kito harus batanyo " (mencari Bapak itu susah, jadi kita harus bertanya ke orang lain)


Spontan Saidah turun dari motor. Melangkah mendekati wanita tua berkulit sawo matang yang fokus membolak balikan jemuran benih padi di tengah halaman. Orang Minang sebut "Manjamua Padi" adalah tradisi sebelum padi digiling ke penggigilan beras. 

Dibutuhkan halaman yang luas, dan terpal plastik sebagai alas.

 "Mak, numpang batanyo, ado amak mancaliak Pak Piliang " (mak,mau bertanya, pernah lihat pak Piliang)


Amak pun melihat Saidah dari ujung kaki sampai kepala"oo, kau Saidah anaknyo si Piliang yo, lah gadang se kau mah?" (kau, saidah anaknya si Piliangya, udah besar aja)
"iyo mak" (iya Mak) Saidah pun menyalami tangan amak


Amak menarik tangan Saidah dan membawanya duduk di bawah pohon kayu manis, daunnya begitu rimbun. Mereka berteduh dan duduk dikursi kayu bambu, dan beberapa daun yang menguningpun berguguran disepoi angin sembari mereka berdialog. Bungsu pun menepikan motor dan ikut duduk.

 "samanjak Amak kau bacarai jo apak kau Saidah, denai caliak, satahun koh Apak kalian baduo mode urang kehilangan aka" (semenjak perceraian orang tua kalian berdua. Bapak kalian seperti orang kehilangan akal sehat)


Saidah dan Bungsu saling menatap dengan wajah mulai kebinggungan


"kini inyo makan se acok manumpang jo denai disiko"(untuk makan saja dia sering menumpang bersama saya)


"kok mode itu bana nasib apak " (kenapa nasib, bapak jadi seperti itu) dengan suara yang mulai bergetar Saidah mengumam
"anaknyo, alias akak tiri kalian, ndak peduli samo inyo lai, soalnyo apak kalian ndak ado karajo" (kakak tiri kalian tidak mempedulikannya lagi, karena bapak kalian tidak bekerja)


"tuh, kini dima apak denai tuh mak"( terus bapak sekarang ada dimana Mak?)


"patang tuh inyo, manumpang tingga di kadai Tuan Simeh". (kemaren dia menumpang di kadai tuan Simeh).


"Kadai yang dibelakang rumah urang yang bacat kuniang tuh"( kedai yang di belakang rumah bercat kuning itu)  amak berdiri dan menunjuk arah


Saidah dan Bungsu langsung pamit ke Amak dan mereka melanjutkan perjalanan. Diatas motor sepatah kata pun  enggan keluar dari mulut kakak beradik itu. Benar saja di  warung kopi itu. Terdapat seorang laki-laki tua duduk dengan kain sarung motif kotak-kotak, dan dililitkan ke pinggangnya. Dia duduk dalam keadaan menunduk. Badannya  kurus .

 Semakin didekati helaan napasnya terdengar sesak. Saidah dan Bungsu menemuinya segera. Tanpa rasa ragu, bahwa lelaki tua yang sedang duduk itu adalah Apak yang mereka cari.


Enam pasang mata saling bertatapan. Wajah tanpa ekspresi bercermin satu sama lain. Apak kalang kabut dan seperti orang kebingungan. Dia berdiri dan kembali duduk dengan gelisah. Tanpa menyapa Saidah dan Bungsu. Saidah mencoba menenangkan Apak. "duduak Pak, kami baduo taragak jo Apak" (duduk Pak, Kami berdua rindu sama Pak) Saidah memegang tangan Apak
Apak memalingkan kepala, mungkin ada penyesalan dan rasa malu dibatinnya. Sesekali Apak memegang tangan erat Saidah dan Bungsu.


Beberapa orang di warung melihat kemelut perasaan mereka bertiga. Namun Saidah tak memepedulikannya. Perasaan Saidah berkecamuk dengan kondisi Apak yang mempihatinkan, , rambut yang tak terurus, hingga kumis nya yang aruk-arukan telah menutup bibir bagian atas. Kondisi Apak sangat jauh dari yang diharapkan Saidah.  


"si Elin, lah dibuangyo denai" (Si Elin telah membuang saya) ujar Apak


"dari dulu, lah dikasih tahu ka Apak, kalau uni Elin tuh hanyo memamfaatkan Apak" (Dari dulu udah dikasih tahu kalau Kak Elin hanya memfaatkan Bapak)


"denai ndak ado anak doh"( saya tak memiliki anak)


Saidah hanya menulan ludah atas ocehan Apak. Sifat Apak "bak baluik di guntiak ikua , bak kambiang tamakan ulek " (Dia tidak pernah mempedulikan perasaan Saidah dengan Bungsu). Yang selama ini tidak pernah dibiayai. Tak hanya materi, kasih sayang apak pun terakhir zaman Saidah kecil, semasa Amak dengan Apak masih satu rumah.


Delapan tahun lamanya Apak memilih hidup dengan Ni Elin. Sampai rumah besar pun dibangunkan Apak untuk Uni Elin yang sudah berkeluarga. Padahal itu bukan tanggung jawab Apak. Suami uni Elin adalah orang yang pemalas. Hingga apak yang membiayai hidup mereka berdua. Pernah terdengar kabar kalau Apak diguna-guna oleh suami Uni Elin. Maklum suami Uni Ellin berasal dari kampung dalam yang terkenal dengan ilmu santetnya. Amak pun berupaya mengobati Apak dan bertanya pada Buya, namun usaha kita mengobati Apak belum membuahkan hasil. Makin lama Apak makin menjadi-jadi. Hingga tak pernah peduli atas kehidupan kami di rumah.


"apak, dulu koh lah sarupo Anyuik labu dek manyauk, hilang kabau dek kubalo"
(Apak mengutamakan tanggung jawab yang bukan urusan Apak)


"ndak usah denai kau ajaan" apak mengelak (jangan kau ajari aku)


"bukan baitu , Saidah jo Bungsu ndak tega mancaliak Apak " (bukan begitu Pak, saya dan Bungsu tidak tega melihat Apak seperti ini)


"Denai ndak usah dikasihani, denai bisa makan surang"(saya tak usah dikasihani, saya bisa makan sendiri)


Kemudian Apak berdiri dan berbicara tak karuan, hingga Saidah dan Bungsu mulai binggung dengan sikap Apak. Sesekali dia memukul-mukul meja dan mengusir Saidah serta Bungsu. Beberapa pengunjung warung ikut menenangkan emosi Apak yang tak terkontrol


Sontak Saidah dan Bungsu menghindar ketakutan. Hingga mereka berdua  menemui orang yang punya warung, dan berbicara dengan gemetaran. Tak lupa Saidah menyelipkan uang ke Tuan Simeh.


"Apak kau banyak pikiran, makanyo  acok mengecek surang" (bapak kau, itu banyak pikiran makanya dia sering ngoceh sendiri)
Saidah tak tahan air mata mendengar pesan Tuak Simeh.

 "tarimo kasih Tuak Simeh, lah manarimo apak denai tingga disiko" (terimakasih tuan Simeh, telah menerima bapak aku tinggal disini)


Kenyataan yang disampaikan Tuak Simeh membuat Saidah semakin lemah dan tak berdaya. Untuk kembali duduk bersama Apak, kaki Saidah telah kaku. Saidah lawan rasa takutnya dan kembali menghampiri Apak "Pak, katampek ni Elin wak yo pak" (pak, ketempat Ni Elin yok Pak)


"ndak, cek denai, denai lah diusianyo"(tida, kataku, saya telah diusirnya)


"ndak buliah mengecek mode itu doh pak" sanggah Saidah (ngak boleh ngomong kayak gitu pak)


Bungsu memilih untuk menjaga jarak dengan Apak. Si Bungsu memiliki ketakutan melihat Apak, berbicara dengan vokal keras. Waktu kecil dia pernah dimarahi Apak, ketika minta uang jajan ke sekolah.


"anak jo minantu hanyo nio harato, kini den lah tuo, ndak paguno lai" (Anak sama menantu maunya harta, sekarang saya tidak berguna lagi)


Apak berdiri dan mengangkat bahunya Saidah agar berdiri dan menariknya ke motor.

 "pulang, jang kamari juo lai" (pulang dan jangan kesini lagi) dengan mata belalak Apak mengusir Saidah dan Bungsu
Tuak Simeh pun menyarankan kami untuk pergi.  

Dan mencoba menenangkan Apak yang emosi tak karuan. "Apak......." Deru tangis Saidah dan Bungsu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun