Mendengar curhatan adiknya itu. Saidah tertawa. Dari luar rumah sampai dapur rumah pun sangat bersih dan tertata rapi.Â
"ndak, sio-sio Amak mamberangi si Bungsu, bia rajin karajo" (ngak sia-sia amak memarahi Bungsu untuk berbenah ).Â
Suasana rumah yang menyenangkan hatinya, itu membuat Saidah tak bisa menahan air mata kerinduan.
Pada hari Minggu, Saidah duduk didepan tv yang menyala. Namun arah matanya menuju keluar pintu kaca jendela.Â
"apo yang Uni pikia kan?" (lagi mikirin apa kak?) sahut Bungsu yang menepuk punggung Saidah
"Tapikia Apak" (memikirkan Bapak) dengan mata yang redup
Bungsu mengangukan kepala dan kembali berdiri berbalik arah jalan menuju ke dapur. Jarak dapur dan ruang tengah sangat dekat, hanya dipisahi oleh dua jarak kamar. Bungsu pun mendekati Amak yang sedang mengupas bawang merah. Sembari ingin merayu Amak, Bungsu berinisiatif  menggambil pisau dan ikutan mengupas, dan menceritakan lamunan Saidah yang panjang. Amak pun mengambil pisau dari tangan Bungsu. Dan menyuruhnya untuk menemani Saidah bertemu dengan Apak.
Setelah mendapat izin dari Amak, Bungsu memeluk Amak dengan rona wajah bahagia. Bungsu tak sabar membawa Saidah ke Apak.
 "Nah, kito cari Apak di rumah anaknyo"  (ayok, kita cari Bapak dirumah anaknya)
"Amak, bak a?" (amak, gimana?)
"tanang, lah awak sampaikan ka Amak, capeklah, kamehan badan tuh" seru Bungsu (tenang, aku udah ngomong sama Amak,dan dijinkan sama Amak)