Jam setengah empat pagi. Rizky masuk tanpa mengetuk ke ruang kerja ayahnya. Telinganya segera terjewer lembut oleh sekelompok nada blues yang menyergap begitu pintu terbuka. Ayahnya masih asik menyentil-nyentil rangkaian aksara di papan kunci laptop.
Tanpa menengok, ayah menegur: "Begadang lagi? Bukannya besok pagi mau jogging?"
"Baru bangun. Tidur dari jam 10 tadi." Rizky langsung merebahkan diri di sofa di belakang ayahnya.
Nada blues tetap menggeliat di telinga. Memberi pijatan halus di otak yang sedang terpacu. Sekitar lima atau enam puntung rokok dengan abu yang berserakan di asbak, hanya bisa memberikan kejutan sementara untuk yang baru masuk ke ruangan berpendingin itu.
Rizky tidak berminat pada bungkus rokok yang ia tebak yakin hanya akan berisi dua atau tiga batang lagi.Â
"Lima menit, yah. Boleh?"
Mendengar suara anaknya, tangan sang ayah langsung terangkat dari laptop. Mengambil rokok yang masih terbakar di asbak. Memutar kursi dan langsung menatap anaknya dengan senyum.Â
Setiap pertanyaan dari sang anak akan selalu mampu memberikan semangat untuk menjawab. Memberinya jeda nikmat dari kepenatan berpikir, meski pun akan berpikir lagi untuk menjawab pertanyaan anak lelakinya yang semakin beranjak dewasa.Â
"Yes?"
"Susah buat ga berpanjang cerita, yah. Tapi, aku usahakan singkat ya, yah."
"Lanjutkan." Satu hisapan rokok, sang ayah menyenderkan kepalanya di kursi, angkat kaki.