Republik Indonesia. Ratusan keraton di sepanjang kepulauannya. Serta, seluruh manusia, penghuni hamparan bumi eloknya. Kami bersatu, menyebut diri, satu bangsa. Harfiahnya, bangsaku lahir tanggal 17 agustus 1945. Tapi, substansial-historis, bangsa kami jauh lebih lebih tua dari itu. Adalah bangsa jawipurba. Yang melahirkan Lemuria, Kutai, Tarumanagara, Syailendra, Sriwijaya, Medang, Kahuripan, Jenggala dan Kediri. Hingga ada Singosari, Majapahit, Padjajaran hingga Pasai. Demak, Pajang, Mataram sampai keraton-keraton pun tersingkir. Tatkala hadir perampok berkoloni kepada kami. Bisa jadi, bangsaku ber-induk jauh lebih tua dari sejarah. Satu perjuangan kita, berupaya tak melupakan mereka.
Indonesia bukankah akan menjadi anak durhaka. Menjalankan negara dengan membuang ibu-bapaknya. Menikah dengan dewi demokrasi. Untuk menjadi budak dan jajahan neo-koloni. Negara, oh negara. Seharusnya kau dibangun, disangga keselarasan lima serangkai. Rakyat, angkatan, intelektual, budayawan serta agamaman. Tapi, kala itu, Orla berpusat pada intelektual. Orba dikuasai angkatan, mendayagunai intelektual. Mengeksploitasi terbatasnya budayawan. Dan memanipulasi agamawan.
Lantas, kini, reformasi dikuasai intelektual, berpusat pada parlemen dan pemerintahan. Menganak-tirikan angkatan. Belum jua punya kecerdasan sejarah tuk mengakomodasi budayawan, eh, serta pula, meneruskan eksploitasi dan manipulasi agamawan. Kita sedang di depan pintu gerbang sejarah. Mau melahirkan kembali garuda perkasa. Atau hancur total dan kembali ke puncak derita?
Tulisan ini adalah sebuah usaha refleksi tentang bagaimana menjaga komitmen kebangsaan, toleransi umat beragama, tentang bagaimana seorang manusia membaca kemanusiaannya. Hubungan yang pelik antara saya dengan kekasih, masyarakatnya dan keluarga. Perjalanan seorang hamba menuju Tuhan-Nya. Selain itu, naskah buku ini juga mengajak pembaca, bagaimana mensikapi kondisi peradaban manusia Indonesia terkini, dengan membawa pembaca merefleksi masa silam. Tentang kemasyhuran dan kearifan leluhurnya di masa lalu. Tentang beragam problem individu seorang manusia hingga masalah-masalah di negerinya.
Bagaimana kita seharusnya kita kedepan. Tatkala melihat beberapa hal dari prespektif yang sangat bias; seperti tentang kebingungan sejarah, rahasia dibalik sistem pendikan Indonesia, hubungan penguasa dan lingkaran konglomerasi dunia, potensi dan sumberdaya teknologi yang terpendam dan pergeseran budaya di negeri ini. Yang unik dari kisah beberapa karakter adalah tentang sebuah usaha berdamai dengan Tuhan dan atau apapun saja yang terjadi di sekitar kita.
Manusia Indonesia adalah manusia-manusia ber-gen unggul. Tak ada manusia di bumi ini yang secanggih manusia Indonesia. Buktinya, kami dengan otodidak mampu menservis daur ulang, segala jenis teknologi ciptaan kalian. Padahal, kami tak pernah belajar rumus-rumus anda. Bangsa kami ini adalah tauladan dunia masa depan. Penjajahan 350 tahun saja tak mampu memusnahkan bangsa ini.
Kami adalah bangsa paling legowo di dunia. Bangsa kami bermanusia pengayom, suka memangku, bukan menindas. Dua karakter manusia di bangsa kami. Yang sulit ditemukan di negara lain, di belahan bumi manapun jua. Kami bersiap memimpin dunia, tanpa berminat menjajah. Kami adalah teladan dunia. Dalam ragam bidang, toleransi beragama utamanya.
Siapa di dunia ini, yang punya dasar negara seperti bangsa kami. Pancasila, tafsir ideologi perdamaian dunia. Bapak proklamator kami pernah berpesan,“jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Adakah tuan-tuan lupa, sejarah kemasyhuran bangsa kami. Kami adalah bangsa yang bukan kemarin sore. Ratusan abad lamanya kami berproses hingga kami temukan Pancasila.
Memang, sila ke-5 kami,“keadilan sosial bagi seluruh rakyat republik Indonesia”, belum sepenuhnya kami gapai. Sebentar, cermati dulu kehendak kami. Kenapa harus keadilan sosial. Bukan keadilan kekayaan ataupun tahta yang merata. Hakikat manusia bangsa kami, adalah hidup sejahtera tak harus materi duniawi. Karena kami masih saja berbenah pada sila ke-4,“kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan atau perwakilan.” Rakyat kami yang pemilik kedaulatan sah dari negara. Masih butuh lebih bijak dalam bermusyawarah. Kami, sesekali masih nakal. Berselisih dan berpecah pilihan yang berkepanjangan. Permusyawaratan nasional wakil rakyat kami—tempat para politisi, masih harus belajar kembali sila ke-3 kami.
“Persatuan Indonesia.”
Memang dahulu di tahun 1908 yang usang. Pemuda kami pernah berhasil bersatu dalam sila itu. Para tokoh-tokoh dan ormas kami masih berbenah. Intelektual dan guru bangsa kami, butuh proses tuk mengakader lebih banyak negarawan lagi, lewat sila ke-2 kami,“kemanusiaan yang adil dan beradab. Maaf, jika sila itu masih belum kami capai. Karena guru bangsa kami, kerap lupa tak mendidik dengan sila pertama kami, ialah, “ketuhanan Yang Maha Esa.” Dan itulah bangsa kami. Bangsa Pancasila, hingga akhir masa. Bismillah, kawan. Atas nama persaudaraan sesama manusia. Kami akan menjadi pemimpin dan tauladan semua negara bagian dan strata apapun di dunia kelak. Amin, ya robbal alamin.