Pewayangannya dalam Serat Dewa Ruci, Ajimat Kalisada dan Suluk Linglung, adalah karyanya sebagai penulis sastra. Pakaian taqwa jawa, sabit, seni tari topeng dan seni ukir jati ialah karyanya sebagai seniman.Â
Sekatenan, Padusan dan Gerebeg Maulud, adalah karyanya sebagai budayawan. Konsep papat  panjer : keraton, masjid, alun-alun dan pasar, dan Saka Tatal Masjid Agung Demak adalah bukti ia lengkap sebagai leluhur Nusantara yang serba lengkap. Beliau adalah begawan, ulama, mahaguru tasawuf, seniman-budayawan ekstra kreatif, ahli tata negara, ilmu alam dan pertanian hingga pengatur kondisi sosial kemasyarakatan.
Di pertengahan abad ke-17 Masehi. Sebelum Nusantara di caplok oleh kompeni. Ada leluhur Nusantara yang masyhur sebagai patriot pahlawan bangsa. Ialah Sultan Hasanuddin, ksatria dari timur—Kasultan Makassar,  pejuang kemandirian bangsanya. Kisah heroiknya ada di naskah Syair Perang Mengkasar.Â
Keberaniannya melawan imperialisme VoC, menjadi salah satu inspirasi pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia. Lantas di era penjajahan. Dimulai dekonstruksi cara berfikir manusia-manusia Hindia belanda, untuk menjadi inferior. Kita diwajibkan mengagungkan yang bukan dari kedirian Nusantara ini. De-Nusantaraisasi telah berbuah semakin minimnya keinginan kita untuk mempelajari pemikiran dan konsepsi ‘iptek’ yang berasal dari gagasan leluhur sendiri.Â
Tokoh-tokoh pemikir Nusantara dianggap kuno dan sangat tidak familiar dibandingkan dengan para pemikir dari Eropa-Amerika ‘madzab barat’, China ataupun Jazirah Arab. Pelajar, mahasiswa, guru, dosen, profesor ataupun para akademisi Indonesia lebih cenderung memilih belajar pada gagasan dari para pemikir dari luar itu daripada gagasan leluhurnya sendiri.
Hampir sangat jarang sekali ada ilmuwan Indonesia yang percaya diri jika bisa mengutip pemikiran, gagasan ataupun karya dari leluhurnya sendiri. Sangat minder ketika di forum-forum ilmiah  dan intelektual menyebut leluhurnya. Sangat jarang ada pemimpin negara yang mengambil inspirasi dari tokoh untuk visi-misi maupun kebijakannya.Â
Namun sebaliknya. para akademisi dan pejabat publik itu bisa dipastikan lebih akrab dan bangga jika bisa hafal ilmu yang ia dapatkan dari dunia Eropa Atau Amerika. mengutip pemikiran dari Aristoteles, Galileo, Descartes, Newton, Hegel hingga Immanuel Khan.Â
Bahkan pemikiran dan karya Walisongo, leluhur penyemai Islam di Indonesia, leluhur kita sendiri itu pun kini tak laku di kalangan akademis modern. Kalah viral oleh pemikir Islam dari timur tengah aliran millenium—semisal gagasan-gagasan milik founder wahabi Muhammad Bin Abdul Wahhab. Ataupun inspirator ikhawanul muslimin, Hassan Al-Banna yang melahirkan varian kelompok-kelompok Islam konservatif di Indonesia kini.
Kenapa kita sebagai pewaris Indonesia, harus memaksakan berguru pada Marx, Lenin, Engels apalagi Hasan Al Bana. Dan apalagi kepada Muhamad Abdul Wahab, Tzun Zu, Mao Zhedong  hingga Sun Yat Sen dari china. Jika negeri ini pernah punya guru bangsanya sendiri. Bukankah ada Aji Saka, untuk belajar aksara. Dapunta Hyang Selendra, mengajari kami budaya.Â
Maharaja Purnawarman, ilmuan kanal banjir masa lalu. Ratu Shima, perumus konstitusi nomor satu. Balaputradewa, ajarkan kita maritim yang berjaya. Dari Prabu Airlangga, kami belajar berdiplomasi. Mahapatih Gaja mada, teladankan pada kami persatuan. Ada pula Sunan kalijaga, hingga Raden Fattah, menuntun bangsa kami, bagaimana agama, negara dan budaya, saling merajut harmoni berbangsa.
Dari mereka, kita membaca dan berakses. Karena semua berawal dari keikhlasan berproses. Dimanapun sang pemegang kedaulatan hidup menempatkan kita. Tuk berhidup, dalam balutan cinta. Terima kasih para leluhur ita. Kami semua, berdoa pada engkau. Kita semua merindu, banyak tokoh reingkarnasi karakter mereka-mereka. Para pendahulu yang kini bernama, Bangsa Indonesia.