...
dan seperti air
biarkan cinta mengalir
mengembara
bebas
mencari muaranya
...
KEMBALI, perempuan itu menghela nafasnya. Begitu dalam dan berat. Mencoba menyingkirkan gundah yang meresah, yang mengganjal di hatinya, menyekat segala vitalitasnya. Namun, kembali, iapun tak kuasa. Semakin ia mencoba, semakin kuat gundah itu meresah, semakin kuat gundah itu mengganjal. Hanya keperihanlah yang akhirnya, kembali, menghujami hatinya, menyayat--nyayat perasaannya.
Ya, haruskah aku pergi? Masih ada artinyakah aku menemui Yuda?
Perempuan itu beranjak dari duduknya di tepian ranjang, menuju jendela kamarnya yang masih terbuka. Ditebarkannya pandangan ke hamparan langit yang meluas sepi. Tanpa bintang. Tanpa bulan. Hanya terwarnai kegelapan. Kegelapan yang begitu pekat. Seperti kehidupannya yang dirasanya tanpa sinar. Hampa tanpa asa. Hanya keragu-raguan dan kegamangan yang selalu menyelimuti. Entah sampai kapan.
Sekian lama ia pandangi lanskap kelam itu. Mengembarai sudut demi sudut.
Sekali lagi, perempuan itu menghela nafasnya, sebelum akhirnya, meninggalkan jendela.
* * *
"MAAFKAN aku, Yud. Tapi memang itulah kenyataannya. Sungguh aku tak bisa merindukanmu lagi, Yud." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari mulutnya, dari mulut perempuan itu. Elma. Setelah sekian lama hanya menggantung-gantung di benaknya. Menjadi beban segala langkah kehidupannya. Ada kelegaan namun juga rasa bersalah yang mendalam yang terlintas dari matanya yang kini lekat menatap Yuda, lelaki di depannya yang telah sekian lama bersamanya menyusuri jalanan kehidupan yang panjang, terjal dan penuh liku. Lelaki yang pernah menjadi bagian dari sejarah hidupnya, memberinya warna dan arti yang tidak sedikit.Namun Yuda masih diam. Lelaki itu masih juga tidak berkata-kata.Â
Ia masih terpaku di depan lukisan yang tergantung di dinding beranda depan rumahnya. Lukisan sepasang merpati yang terbang melintas di bawah awan pada lanskap langit merah. Lukisan yang diterimanya dua tahun silam. Lukisan yang terkirim bersama sebuah puisi yang ditulis perempuan yang datang dari tempatnya yang jauh kini di Eropa itu pada sebuah surat putih, untuknya:
...
dan seperti air
biarkan cinta mengalir
mengembara
bebas
mencari muaranya
...
Sekian lama ia terpaku memandangi lukisan itu, menelusuri garis demi garis di sana. Begitu lekat, seperti mengeja sesuatu.
Sesaat, iapun membalikkan tubuhnya menatap Elma yang terduduk. Namun ia masih juga diam.
"Aku tahu kau begitu terluka. Toh aku pun merasakan keperihan yang sama.
"Jangan katakan aku tak pernah tulus mencintaimu. Bahkan bertahun-tahun, sejak kita belajar tentang kehidupan di sekolah hingga kita benar-benar menjalani kehidupan itu, kaulah lelaki yang selalu mengisi mimpi-mimpiku, menjadi teman, tema dan inspirasi. Meski pada akhirnya, rasa itu pun memendar...
"I don`t know why. Tapi, .... Itulah kenyataannya.
"Namun aku pun tak pernah bermaksud menghianatimu. Menafikan cintamu. Toh, betapapun sakitnya aku mempertahankan perasaan itu, aku tak pernah ingin melepasnya.
"Tiga tahun aku lalui hari-hari dalam kegamangan. Tanpa perasaan. Tanpa kepastian. Sampai akhirnya kuputuskan untuk menulis puisi itu, mengirimkan lukisan itu padamu.
"Aku lelah. Aku telah lelah. Aku tak bisa lagi terus lari dan sembunyi.
"Maafan aku, Yud." Elma menundukkan wajahnya, Sementara Yuda masih saja diam.
Lelaki itu melempar pandangannya. Ke kebiruan langit yang mulai temaram.
Suasana kembali hening. Hanya angin yang mendesah lirih dari pepohonan di halaman yang sesekali menghampiri, menyapu wajah mereka dan menggeraikan rambut panjang Elma yang dibiarkan tanpa ikatan, seolah memahami betapa pelik-rumit persoalan yang sedang mereka hadapi.
"Lalu, untuk apa kau kembali?" Yuda kembali menatap Elma.
"Asti."
"Asti?"
"Ya, rekanan kamu. Dua bulan lalu dia ke Den Haag, kan mengikuti sebuah seminar ekologi?
"Aku pun di sana saat itu, untuk sebuah pameran lukisan pada kampanye antieksploitasi satwa Greenpeace."
"Asti telah menceritakan segalanya, Yud. Kebetulan kami menginap pada hotel yang sama, pada kamar yang saling bersebelahan.
"Segalanya, Yud. Tentang keterpurukanmu, ....
"I`m sorry. Please, be brave."
Yuda menghela nafas. "Elma, ... Entahlah. Aku memang begitu terpukul. Kepergianmu yang tiba-tiba, begitu menyentakku. Toh kuakui itu pun adalah salahku. Aku telah menyia-nyiakanmu. Menelantarkan cintamu. Aku hanya memikirkan urusanku. Hanya mementingkan pekerjaan, mementingkan organisasi, proyek, ... Aku hanya mementingkan diriku sendiri. Hingga kaupun jenuh. Bosan. Kecewa. Dan ketika aku menyadari betapa berartinya dirimu dalam hidupku, kau telah memutuskan `tuk pergi.
"Memang akulah yang bersalah, El. Namun, bagaimanapun, bahwa benih cinta yang telah kau semai, tenyata kini bertunas bahkan berakar kuat di hatiku. Kalau akhirnya kau tak bisa mencintaiku, but, please, mulai sekarang mulailah untuk bisa mencintaiku. Setidaknya, karena ada benih yang sama yang pernah tumbuh pula di hatimu. Meski itu kering. Meski itu layu. Percayalah, dengan kau setia merawatnya, memupuknya, lambat laun benih itu pun akan tumbuh kembali."
"If I could, Yud. But, it`s over!
"Benih itu telah mati dan, bagaimanapun, tidak mungkin lagi untuk kita pertahankan."
"No, Yud." Elma menggelengkan kepalanya. "Please, jangan kau paksa aku `tuk memilih sesuatu yang tidak pernah aku mengerti." Elma terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara dari sudut-sudut matanya, mulai mengalir bulir-bulir bening membasahi kedua pipinya.
Yuda mendesah. "Apakah ada benih lain yang telah tumbuh di hatimu?"
Elma mengangguk. Meski ragu. "Maafkan, Yud. Aku tidak ingin mengulang kesalahan `tuk yang kedua kali. Aku tak ingin melukai satu hati lagi!"
Yuda memejamkan matanya, mencoba menghalau perih yang semakin menusuk-nusuk hatinya.
Hening kembali menyela.
"Entahlah, El. Mungkin ini yang dinamakan karma.
"Aku masih sayang kamu. Dan aku pun yakin kau masih sayang padaku. Aku yakin benih itu belum mati." Yuda menjeda kata-katanya. Diraihnya tangan Elma. Digenggamnya erat.
"Pergilah, kalau memang itu yang kau pikir terbaik. Terbanglah, kemanapun kau ingin terbang. Dan, jika kepakan sayapmu telah lelah, kembalilah. Sebelum mentari tenggelam. Sebelum gelap menghadang.
"Terbanglah tinggi. Pergilah. Kembalilah. Jika kau telah lelah!"
Yuda melepas tangan Elma dari genggamannya. Melepas segala ikatan yang pernah ia berikan pada perempuan itu. Segala cinta. Segala asa. Membiarkannya kembali bebas mengembara, mengarungi angkasa luas kehidupan. Toh iapun yakin, merpatinya itu pun `kan kembali pulang padanya. Seperti keyakinannnya pada matahari yang `kan kembali terbit esok hari.
Angin membeku di ambang senja yang menyemburatkan jingga di tepian barat cakrawala. Sepasang walet melintas, berkejaran, terus jauh ke utara.
Perempuan itu, masih terpaku.
* * *
JAM berdentang dua kali. Waktu telah beranjak dini.
Dari jendela kamarnya, perempuan itu, Elma, kembali ke tepian ranjang.
Diambilnya travel bag yang tergeletak di atas ranjang yang telah diisinya dengan setumpuk pakaian. Dipangkunya benda hitam itu.
Lima tahun sudah sejak kepulangannya ke Tanah Air, menemui Yuda.
Lima tahun yang penuh dengan pengembaraan-pengembaraan. Dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu hati ke hati lain. Dari satu lelaki ke lelaki lain. Namun, semuanya pun sama. Semua hanya menyisakan persoalan-persoalan. Kekecewaan. Hingga, ia pun lelah.
Tiba-tiba ia menyesali keputusannya. Tiba-tiba ia merasa rindu pada lelaki itu. Tiba-tiba ia merasakan arti kehadiran lelaki itu dalam hidupnya.
"Dan, jika kepakan sayapmu telah lelah, kembalilah."
Kini ia benar-benar lelah. Namun, mungkinkah ia kembali?
Lima tahu sudah ia tinggalkan lelaki itu. Tanpa kabar apapun. Tanpa berita apapun. Tak ada surat. Tak ada telpon. Tak ada e-mail. Tak ada apapun yang ia kirimkan pada lelaki itu. Sementara surat-surat, deringan telpon dan e-mail dari lelaki itu, terus datang dan datang.
Ya, mungkinkah ia kembali?
Elma menarik nafas dalam-dalam. Sesayat luka kembali tergores di hatinya. Mengucurkan perih yang terus saja membasahi kalbunya.
Diturunkannya travel bag dari pangkuannya. Diletakkannya di atas lantai. Akhirnya, iapun merebahkan diri. Memejamkan mata. Membiarkan jendela kamarnya terus terbuka.
Di atas meja, tergeletak sebuah tiket penerbangan Roma -- Jakarta. Dan di sampingnya, sebuah undangan baru nampak terbuka. Undangan perkawinan, dari Yuda.
*Catatan: tulisan ini telah tayang sebelumnya di blog pribadi penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H