"Benih itu telah mati dan, bagaimanapun, tidak mungkin lagi untuk kita pertahankan."
"No, Yud." Elma menggelengkan kepalanya. "Please, jangan kau paksa aku `tuk memilih sesuatu yang tidak pernah aku mengerti." Elma terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara dari sudut-sudut matanya, mulai mengalir bulir-bulir bening membasahi kedua pipinya.
Yuda mendesah. "Apakah ada benih lain yang telah tumbuh di hatimu?"
Elma mengangguk. Meski ragu. "Maafkan, Yud. Aku tidak ingin mengulang kesalahan `tuk yang kedua kali. Aku tak ingin melukai satu hati lagi!"
Yuda memejamkan matanya, mencoba menghalau perih yang semakin menusuk-nusuk hatinya.
Hening kembali menyela.
"Entahlah, El. Mungkin ini yang dinamakan karma.
"Aku masih sayang kamu. Dan aku pun yakin kau masih sayang padaku. Aku yakin benih itu belum mati." Yuda menjeda kata-katanya. Diraihnya tangan Elma. Digenggamnya erat.
"Pergilah, kalau memang itu yang kau pikir terbaik. Terbanglah, kemanapun kau ingin terbang. Dan, jika kepakan sayapmu telah lelah, kembalilah. Sebelum mentari tenggelam. Sebelum gelap menghadang.
"Terbanglah tinggi. Pergilah. Kembalilah. Jika kau telah lelah!"
Yuda melepas tangan Elma dari genggamannya. Melepas segala ikatan yang pernah ia berikan pada perempuan itu. Segala cinta. Segala asa. Membiarkannya kembali bebas mengembara, mengarungi angkasa luas kehidupan. Toh iapun yakin, merpatinya itu pun `kan kembali pulang padanya. Seperti keyakinannnya pada matahari yang `kan kembali terbit esok hari.