Sekian lama ia terpaku memandangi lukisan itu, menelusuri garis demi garis di sana. Begitu lekat, seperti mengeja sesuatu.
Sesaat, iapun membalikkan tubuhnya menatap Elma yang terduduk. Namun ia masih juga diam.
"Aku tahu kau begitu terluka. Toh aku pun merasakan keperihan yang sama.
"Jangan katakan aku tak pernah tulus mencintaimu. Bahkan bertahun-tahun, sejak kita belajar tentang kehidupan di sekolah hingga kita benar-benar menjalani kehidupan itu, kaulah lelaki yang selalu mengisi mimpi-mimpiku, menjadi teman, tema dan inspirasi. Meski pada akhirnya, rasa itu pun memendar...
"I don`t know why. Tapi, .... Itulah kenyataannya.
"Namun aku pun tak pernah bermaksud menghianatimu. Menafikan cintamu. Toh, betapapun sakitnya aku mempertahankan perasaan itu, aku tak pernah ingin melepasnya.
"Tiga tahun aku lalui hari-hari dalam kegamangan. Tanpa perasaan. Tanpa kepastian. Sampai akhirnya kuputuskan untuk menulis puisi itu, mengirimkan lukisan itu padamu.
"Aku lelah. Aku telah lelah. Aku tak bisa lagi terus lari dan sembunyi.
"Maafan aku, Yud." Elma menundukkan wajahnya, Sementara Yuda masih saja diam.
Lelaki itu melempar pandangannya. Ke kebiruan langit yang mulai temaram.
Suasana kembali hening. Hanya angin yang mendesah lirih dari pepohonan di halaman yang sesekali menghampiri, menyapu wajah mereka dan menggeraikan rambut panjang Elma yang dibiarkan tanpa ikatan, seolah memahami betapa pelik-rumit persoalan yang sedang mereka hadapi.