“Aku suka kalimat itu.”
“Bagian mananya?”
“Skenario Allah.”
“Skenario Allah? Apa maksudya?”
“Put .... maafkan Sapto. Dulu memang aku mengagumi tulisanmu. Aku foto. Pas dapat kalimat ini, nggak tahu kenapa waktu hati aku berdebar-debar. Waktu itu nggak terasa, aku mengeja nama Putri, Pu-tri Bu-nga Per-ti-wiiii.... Aku merasa, aku merasa .... waktu itu aku, Sapto, Sapto merasa bahwa aku ada dalam skenario itu Putriiii......”
“Saapp... Sapto ...”
“Putri, kalimat itu bersabar dalam segala skenario yang diberikan Alloh.Waktu itu, aku merasa bahwa kalimat itu untuk diriku Put. Aku yakin. Aku memang bersabar ... sejak bersahabat dengan Putri, terhalang oleh kedekatan Putri dengan Ranu. Aku hanya diam. Setelah Ranu pergi, aku pun tak pernah mendapat respon dari Putri ... dulu ketika Ranu pergi, Sapto berharap bisa menggantikan Ranu. Itu pernah aku katakan. Tapi Putri tidak merespon, hingga aku berkelana lama, kuliah di Solo, yang sesungguhnya dekat dengan Yogya. Aku kangen Putri .... aku mau kontak takut, takut Putri sudah melupakan Sapto. Putri ..... seperti apakah skenario yang Putri bayangkan?”
Sapto bicara panjang dekat telinga Putri yang semakin menunduk. Gadis itu tak bisa menimpali kata-kata. Namun ia dengarkan dengan jelas apa yang Sapto katakan.
“Puuut .....”
“Ya...”
“Kapan rencana ke Yogya lagi?”