Gadis itu menulis nama sendiri di belakang halaman bukunya. Ia menyebutnya sebagai halaman bete. Setelah menulis kemudian menyobeknya, meremas-remasnya, kemudian membuangnya ke kolong meja. Sejenak Putri menelungkupkan wajahnya di bangku. Kemudian bangkit, berlari ke luar kelas. Gadis itu tak menyadari bahwa di bagian belakang kelas ada sepasang mata yang sedari tadi mengamati tingkah lakunya.
Sepeninggal Putri, di kelas hanya ada seorang teman yang masih tinggal. Sapto Nugroho. Pemuda itu perlahan mendekati tempat duduk Putri, kertas remasan yang ada di kolong ia ambil. Perlahan ia mendesah, menggeleng. Kemudian kertas remasan itu ia masukkan ke dalam tas Putri.
Dua bulan menjelang kenaikan kelas hati Putri gelisah. Tak ada konsentrasi belajar. Bawaannya malas. Beda dengan anak-anak lain, ketika mengantar perpisahan di bulan Mei dengan kakak-kakak kelas mereka begitu ceria. Mereka begitu termotivasi dengan banyaknya kakak-kakak kelas yang diterima di perguruan tinggi jalur SNMPTN. Harap-harap cemas dengan nilai yang akan diterima di saat kenaikan kelas yang akan memasok perhitungan dalam persaingan masuk SNMPTN tahun berikutnya.
“Put, kamu kok ngga seperti biasanya.... teman lain pada ceria...“ kata Sapto ketika keluar kelas.
“Apa maksudnya?”
“Enggaaak. Jangan marah, sensi banget!”
“Uh!”
“Dulu juga kamu pernah marah ke diri sendiri kan?”
“Kapan?” Putri heran. Diliriknya Sapto dengan pandangan penasaran.
“Pas kamu menulis nama ..... kemudian meremas-remas kertas ... terus membuangnya ke kolong.”