“Ssstt.... ssst .... malu penumpang lain.”
“Habisnya sih kamu lucu!”
“Apanya yang lucu?”
“Sudah tiga tahun jadi mahasiswa wajahmu nggak berubah!”
“Aaah ngaco kamu Put. Tapi nggak apa-apa, aku orangnya stabil kok. Beda dengan Putri, dulu dengan seragam putih abu-abu kayak anak kecil. Sekarang... Masya Allooh Puuut .... aku hampir tak mengenali. Tambah dewasa.” kata Sapto sambil tak berkedip.
“Uuuh....”
“Tambah dewasa .... tambah cantik.”
“Saptooo.... aahh....” kata Putri sambil menahan senyum, membuang muka ke arah luar. Bibir Putri terkatub. Matanya berkaca-kaca.
Pertemuan dengan Sapto di gerbong kereta Argo Wilis sama sekali tak terduga. Sapto telah lama hilang terkabur banyak hal dalam ingatannya. Selama sejak lulus dari SMA. Memang gadis itu tahu, Sapto kuliah di Solo. Tapi hanya sekedar tahu. Sejak saat kelulusan hingga akhirnya ia kuliah di Yogyakarta hampir tiga tahun, Sapto tak pernah kontak. Ketika tahun lalu ada ulang tahun almamater dengan bazaar-nya, reuni angkatannya juga tak dijumpai Sapto.
“Putri ..... masih jadi kembang tanah air?” tanya Sapto yang memaksanya menoleh. Ia tahu, kembang tanah air adalah panggilan Sapto dulu di SMA ketika menerjemahkan namanya Putri Bunga Pertiwi.
“Masih laaah .... Sapto masih ultah tanggal tujuh?”