“Cantiiik...... ini syarat pertama jadipolwan. Cantiiiik.... hehe... “
Vi tersenyum. Ia melihat wajah sendiri. Wajah Haryo terbayang. Ia tahu, pemuda itu tengah menemukan sebuah kesempatan untuk memuji dirinya. Aaah...., Vi mendesah. Pemuda kakak kelasnya itu memang menyenangkan. Periang. Suka bercanda. Namun datar. Artinya, tak ada riak-riak sebagaimana layaknya persahabatan antara cowok dan cewek. Tak ada upaya intens. Hanya sesekali kakak kelasnya itu menggoda. Ya seperti tadi siangmengatakan dirinya cantik. Namun dirinya tidak terlalu berfikir atau merasakan secara dalam. Itulah yang disukai Vi, konsentrasi belajarnya full. Ia tak mau obsesinya memenuhi persyaratan mendaftar ke akademi kepolisian berantakan gara-gara sesuatu yang saat ini belum terlalu penting. Belum terlalu penting? Vi sadar, dirinya masih ABG banget. Baru kelas X SMA. Inilah sebuah kesadaran yang diyakini Vi sendiri akan memperlancar upayanya meraih cita-cita.
***
Akhir Juni 2015.
Sekolah ramai. Orang tua datang mengambil rapor para putra-putrinya. Hari itu kenaikan kelas. Sebuah hari yang monumental bagi seluruh siswa.Sebagian siswa langsung ikut pulang, sebagian orang tua meninggalkan putra-putrinya untuk melanjutkan aktivitas lain di sekolah. Demikian pula Vi. Ruangan kelas X MIPA 4 akan segera ditinggalkan. Di kelas XI tentu harus bersiap mental untuk melakukan penyesuaian dengan teman-teman baru,karena akan dilakukan penyusunan ulang kelas.
“Vi, kakak tunggu di depan grahaOSIS..... “ tiba-tiba ada SMS dari Haryo.
Keluar kelas gadis itu berlari kecil menuju tempat yang disebut Haryo. Dari jauh Vi melihat kakak kelasnya sudah menunggu di taman dengan meja dan bangku batu.
“Hai Kak! Tumben jauh-jauh dari timur kesini!”
“Hehe.. iya! Ayahmu sudah pulang?”
“Sudah .... noooh lihat, itu ayah, di depan ruang BK.”
“Kamu nggak ikut pulang?”