Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Zaniar dan Ahmad Hong (5)

22 Maret 2016   00:36 Diperbarui: 22 Maret 2016   09:50 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="dok. pribadi"][/caption]

5. Pelajaran Untuk Preman Pasar

Menjelang pukul 17.00 Zaniar pulang.

Meninggalkan pesantren ada perasaan bangga terbersit mengingat tadi siang baru saja dipanggil pimpinan pesantren. Namun sebenarnya berlatih silat bukanlah sebuah keinginan yang menggebu. Ia ingin memilih pendalaman di bidang lain seperti qiroat, tetapi gadis itu tahu diri bahwa suaranya tidak indah. Keinginan berlatih silat datang ketika ia ingat waktu kecil pernah diajak oleh ayahnya menonton film di lapangan Jatitujuh. Sebuah film silat dengan judul Pendekar Cantik dari Marunda.

Ingatan waktu kecil itu terbayang-bayang sangat lekat betapa seorang perempuan cantik dengan tubuh yang ramping lincah menjadi pembela kebenaran di jaman Belanda ketika menjajah Betawi. Zaniar mengobsesikan dirinya sebagai pendekar itu. Maka ketika ia menjadi santri tamu di pesantren Tretes  dan diperbolehkan memilih kegiatan ekstra, ia dengan mantap memilih kegiatan silat. Tak ada yang tahu bahwa Zaniar mengikuti latihan silat. Bahkan ibunyapun tidak. Teman-teman di sekolah apalagi. Baginya kegiatan itu bukanlah sebuah prestasi. Bagi Zaniar yang penting adalah berolah raga dan badan selalu terasa bugar.

Sore itu suasana lebih gelap daripada waktu yang sebenarnya. Langit mendung menyelimuti langit Majalengka. Suasana bagian selatan terminal Cigasong sepi. Terminal angkutan pedesaan ini telah cukup lama menjadi terminal mati. Tak ada angkutan pedesaan yang lewat tempat itu. Para sopir kendaraan lebih suka langsung ke sebelah barat pasar yang terhubung langsung dengan terminal itu. Akibatnya terminal semakin rusak. Beberapa bangunan seperti tempat retribusi karcis tak berfungsi. Tempat-tempat yang luas tampak dikotori dengan graffiti yang tidak keruan.

Zaniar turun dari angkutan pedesaan. Gerimis mulai menitik. Gadis itu bergegas ke arah utara, menuju pasar melewati terminal yang sepi. Seperti biasa memang sepulang dari pesantren gadis ini selalu mampir ke pasar membelikan bebarapa bahan dasar penganan titipan ibunya.

Dekat dengan bekas kantor retribusi yang sudah tidak terpakai, sekilas Zaniar melihat ada dua orang laki-laki muda. Pakaian keduanya kusut tampak tak terurus. Rambutnya potongan mohawk. Zaniar sedikit menahan langkahnya. Namun tampaknya keduanya telah melihat kedatangan Zaniar. Salah satu dari mereka menghampiri.

“Ayolaaah… lewat sini Neng!” katanya sambil tertawa mendekati Zaniar.

“Maaf…. saya buru-buru.” kata Zaniar sambil menghindar.

“Aeh aeeeh ….. mampir sini!” kata orang itu seraya menangkap tangan Zaniar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun