[caption caption="dok. pribadi"][/caption]
5. Pelajaran Untuk Preman Pasar
Menjelang pukul 17.00 Zaniar pulang.
Meninggalkan pesantren ada perasaan bangga terbersit mengingat tadi siang baru saja dipanggil pimpinan pesantren. Namun sebenarnya berlatih silat bukanlah sebuah keinginan yang menggebu. Ia ingin memilih pendalaman di bidang lain seperti qiroat, tetapi gadis itu tahu diri bahwa suaranya tidak indah. Keinginan berlatih silat datang ketika ia ingat waktu kecil pernah diajak oleh ayahnya menonton film di lapangan Jatitujuh. Sebuah film silat dengan judul Pendekar Cantik dari Marunda.
Ingatan waktu kecil itu terbayang-bayang sangat lekat betapa seorang perempuan cantik dengan tubuh yang ramping lincah menjadi pembela kebenaran di jaman Belanda ketika menjajah Betawi. Zaniar mengobsesikan dirinya sebagai pendekar itu. Maka ketika ia menjadi santri tamu di pesantren Tretes dan diperbolehkan memilih kegiatan ekstra, ia dengan mantap memilih kegiatan silat. Tak ada yang tahu bahwa Zaniar mengikuti latihan silat. Bahkan ibunyapun tidak. Teman-teman di sekolah apalagi. Baginya kegiatan itu bukanlah sebuah prestasi. Bagi Zaniar yang penting adalah berolah raga dan badan selalu terasa bugar.
Sore itu suasana lebih gelap daripada waktu yang sebenarnya. Langit mendung menyelimuti langit Majalengka. Suasana bagian selatan terminal Cigasong sepi. Terminal angkutan pedesaan ini telah cukup lama menjadi terminal mati. Tak ada angkutan pedesaan yang lewat tempat itu. Para sopir kendaraan lebih suka langsung ke sebelah barat pasar yang terhubung langsung dengan terminal itu. Akibatnya terminal semakin rusak. Beberapa bangunan seperti tempat retribusi karcis tak berfungsi. Tempat-tempat yang luas tampak dikotori dengan graffiti yang tidak keruan.
Zaniar turun dari angkutan pedesaan. Gerimis mulai menitik. Gadis itu bergegas ke arah utara, menuju pasar melewati terminal yang sepi. Seperti biasa memang sepulang dari pesantren gadis ini selalu mampir ke pasar membelikan bebarapa bahan dasar penganan titipan ibunya.
Dekat dengan bekas kantor retribusi yang sudah tidak terpakai, sekilas Zaniar melihat ada dua orang laki-laki muda. Pakaian keduanya kusut tampak tak terurus. Rambutnya potongan mohawk. Zaniar sedikit menahan langkahnya. Namun tampaknya keduanya telah melihat kedatangan Zaniar. Salah satu dari mereka menghampiri.
“Ayolaaah… lewat sini Neng!” katanya sambil tertawa mendekati Zaniar.
“Maaf…. saya buru-buru.” kata Zaniar sambil menghindar.
“Aeh aeeeh ….. mampir sini!” kata orang itu seraya menangkap tangan Zaniar.