Mohon tunggu...
Dibbsastra
Dibbsastra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Minat saya adalah sebagai penulis cerpen, puisi, quotes, artikel, novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Lelah dengan Kesunyian"

11 Agustus 2024   04:21 Diperbarui: 11 Agustus 2024   04:21 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah hutan lebat yang terselubung kabut, terdapat sebuah rumah tua yang telah lama ditinggalkan. Rumah ini, dengan atapnya yang mulai rapuh dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut, berdiri sebagai saksi bisu dari waktu yang telah berlalu. Setiap sudutnya dipenuhi oleh debu dan kegelapan, menciptakan suasana yang seakan terhenti dalam sebuah kekosongan abadi.

Di sekeliling rumah, pepohonan menjulang tinggi, saling berdesir ketika angin lewat. Namun, dalam kehampaan ini, bahkan suara angin tampaknya tidak mampu meredakan keheningan yang menyelubungi tempat itu. Keheningan yang begitu dalam, seakan menyelimuti setiap jengkal tanah dan setiap lapisan debu yang menutupi perabotan lama.

Dari luar, rumah tua ini tampak seperti pelindung kesunyian. Namun, di dalamnya, sebuah cerita tak tertulis bersembunyi di balik tirai waktu yang telah pudar. Ranjang kayu yang telah rusak oleh serangga dan berjamur, kursi-kursi yang kaku dan usang, serta meja-meja yang penuh dengan coretan-coretan waktu, semua menunjukkan bahwa kehidupan pernah ada di sini.

Namun kini, semua itu hanya menjadi bagian dari masa lalu yang terlupakan. Ranjang tidak lagi dipenuhi dengan mimpi atau kegembiraan, kursi tidak lagi ditempati oleh siapa-siapa, dan meja tidak lagi menjadi saksi dari percakapan atau tawa. Semua ini hanya menunggu untuk dilupakan sepenuhnya dalam kesunyian yang tak tertandingi.

Di luar rumah, sebuah taman yang dulunya mungkin dipenuhi dengan warna-warni bunga kini berubah menjadi ladang liar yang penuh dengan rumput tinggi dan semak belukar. Seiring waktu, taman ini juga ikut terjerat dalam jaring kesunyian. Di antara tanaman liar yang tumbuh acak, batu-batu kecil berserakan, seperti mengisahkan kisah-kisah kecil yang tidak pernah selesai.

Kehampaan ini terperangkap dalam suasana yang tidak berubah. Tiap hari dan malam berlalu tanpa ada perubahan yang berarti. Tidak ada suara gerak pintu atau langkah kaki yang menyentuh lantai kayu. Bahkan suara binatang malam pun tidak pernah mengganggu ketenangan yang memerintah di sini.

Ketika hujan turun, tetesan air menimpa atap rumah dengan lembut. Namun, meskipun ada suara hujan yang merdu, itu hanya menambah rasa kesepian. Suara tetesan itu seakan menetes ke dalam kekosongan yang lebih dalam, tanpa ada tanggapan dari sesuatu atau seseorang.

Malam hari datang dengan gelapnya yang pekat, dan rumah ini bersembunyi di balik tirai malam yang berat. Bulan dan bintang-bintang bersembunyi di balik awan, dan hanya cahaya rembulan yang kadang-kadang menyusup ke dalam ruangan, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding-dinding tua. Bayangan ini, meskipun bergerak, tetap tidak mampu mengusir kesunyian yang mencekam.

Di luar, tiada tanda kehidupan. Angin berhembus lembut, menggoyangkan daun-daun yang telah menguning, dan bahkan gemericik air di sungai kecil yang mengalir tidak mampu mengubah suasana sunyi yang mendalam. Semua ini seperti simfoni kesepian yang tak pernah berakhir.

Satu-satunya perubahan yang terlihat adalah perubahan waktu, dan meskipun waktu terus berjalan, kesunyian tetap berdiri sebagai saksi. Musim berganti, dari dinginnya musim dingin hingga panasnya musim panas, dan rumah tua ini tetap menjadi tempat yang sama, tanpa mengalami perubahan apapun. Ini adalah tempat di mana waktu seolah berhenti, meninggalkan semua yang pernah ada dalam kesunyian yang tak tertandingi.

Namun, di dalam rumah, ada sebuah ruangan yang lebih sunyi daripada yang lainnya. Ruangan ini, dulunya mungkin adalah kamar tidur utama, kini menjadi tempat di mana segala sesuatu telah lama berhenti. Langit-langitnya yang rendah tampak semakin rapuh seiring dengan waktu, dan dinding-dindingnya yang penuh dengan coretan-coretan usang menjadi saksi dari berbagai kejadian yang telah berlalu.

Di sudut ruangan ini, sebuah cermin retak menggantung di dinding. Cermin itu, meskipun pecah dan berdebu, masih mampu memantulkan cahaya rembulan yang masuk dari jendela yang tertutup rapat. Cermin ini, seakan menyimpan gambaran dari masa lalu yang telah lama hilang, menunjukkan refleksi yang aneh dan kabur. Setiap kali cahaya rembulan menyentuhnya, cermin itu seakan menggambarkan kisah-kisah lama yang telah lama terlupakan.

Meja kecil yang terletak di samping cermin, yang dulunya mungkin digunakan untuk menulis surat atau menyusun rencana, kini dipenuhi oleh kertas-kertas kuno yang telah menguning. Kertas-kertas ini, meskipun tampak tak berarti, menyimpan goresan-goresan tinta yang mungkin pernah menjadi bagian dari sebuah cerita yang penting. Namun kini, mereka hanya menjadi sampah yang terabaikan, terlupakan dalam kesunyian yang melingkupi ruangan ini.

Di atas meja, terdapat juga sebuah jam dinding tua yang berhenti berdetak. Jam ini, dengan jarum yang terhenti di angka yang sama, seakan menjadi simbol dari ketidak perubahan waktu. Jam ini tidak lagi berdetak, dan hanya memancarkan suasana kekosongan yang menambah rasa kesunyian. Meski begitu, jam ini tetap berdiri di tempatnya, seakan menunggu seseorang untuk memutar kembali jarum-jarumnya dan menghidupkan kembali waktu yang telah lama terhenti.

Di luar ruangan, jendela yang tertutup rapat menahan cahaya dan suara dari dunia luar. Kaca-kaca jendela ini, yang telah berdebu dan retak, memungkinkan hanya sedikit cahaya yang bisa masuk. Ketika matahari terbenam, jendela-jendela ini membiarkan cahaya kuning lembut meresap ke dalam ruangan, menciptakan pola-pola aneh di dinding. Namun, meskipun cahaya ini menambah keindahan, ia juga menyoroti betapa lama tempat ini telah kosong.

Dalam keadaan seperti ini, hujan menjadi teman yang tak terpisahkan dari rumah tua ini. Suara hujan yang lembut seakan menjadi satu-satunya yang mampu mengisi kekosongan dengan melodi yang monoton. Setiap tetesan hujan yang menimpa atap menciptakan suara berirama yang seolah menghitung detik-detik waktu yang berlalu, menambah rasa kesepian yang mendalam. Namun, meskipun hujan memiliki cara sendiri untuk berbicara, ia tetap tidak mampu menghapus keheningan yang ada.

Di malam hari, ketika segala sesuatu tampak lebih gelap dan lebih menakutkan, rumah ini menjadi tempat perlindungan dari bayangan-bayangan yang mengganggu. Suara malam yang biasanya dianggap menenangkan, di sini menjadi bagian dari simfoni kesunyian. Bayangan yang diciptakan oleh cahaya bulan yang lembut menari di dinding, menciptakan ilusi-ilusi yang tidak nyata dan menambah rasa ketidakpastian.

Sementara waktu terus berjalan di luar rumah, di dalamnya tetap terjaga sebuah kekosongan yang tidak berubah. Angin yang berhembus lembut, gemericik air di sungai kecil, dan suara-suara malam lainnya hanya menambah kesan kesunyian yang mendalam. Tidak ada yang bisa mengubah suasana ini, tidak ada yang bisa membangkitkan kembali kehidupan yang pernah ada di sini. Rumah tua ini, dengan semua kebisuannya, tetap menjadi saksi dari betapa melelahkannya kesunyian yang abadi.

Di sudut-sudut rumah ini, terdapat banyak objek yang tampaknya seolah ingin berbicara. Buku-buku tua yang tertumpuk di rak, boneka-boneka usang yang berserakan di lantai, dan alat-alat rumah tangga yang telah berkarat semuanya menceritakan kisah-kisah yang telah lama terlupakan. Namun, meskipun mereka tampak penuh dengan sejarah, mereka tetap terjebak dalam kesunyian yang sama. Kisah-kisah ini tidak bisa diungkapkan atau didengar, dan hanya menambah rasa lelah yang menyelimuti tempat ini.

Di bagian lain dari rumah, ada sebuah gudang yang dulunya mungkin dipenuhi oleh alat-alat dan persediaan. Gudang ini kini penuh dengan barang-barang yang telah lama terlupakan, ditutupi oleh lapisan debu yang tebal. Kotak-kotak tua yang berisi berbagai macam barang tergeletak di sudut-sudut ruangan, dan di antara barang-barang ini terdapat banyak benda yang tidak lagi memiliki makna atau tujuan. Semua ini hanyalah bagian dari kekacauan yang mencerminkan kekosongan yang lebih dalam.

Setiap sudut rumah ini memiliki cerita sendiri, dan setiap benda di dalamnya seakan ingin menceritakan kisah-kisah yang telah lama terabaikan. Namun, meskipun ada banyak hal yang bisa diceritakan, semuanya terhenti dalam kesunyian yang menyelimuti rumah ini. Suara-suara yang pernah ada di sini, baik itu tawa atau tangisan, telah lama hilang, meninggalkan hanya jejak-jejak yang samar di atas debu.

Di ruangan yang lebih kecil, terletak sebuah lemari tua yang penuh dengan pakaian-pakaian kuno. Kain-kain yang dulunya mungkin berwarna cerah kini telah pudar, terlipat dengan rapi dalam laci-laci yang telah lama tidak dibuka. Pakaian-pakaian ini, yang mungkin pernah dipakai dalam momen-momen bahagia atau penting, kini hanya menjadi potongan-potongan masa lalu yang terbenam dalam kesunyian. Setiap kain yang lembut menyimpan aroma zaman yang sudah lama pergi, dan meskipun tidak ada yang memakainya lagi, mereka tetap menjadi saksi bisu dari kehidupan yang pernah ada.

Di dinding ruang makan, terdapat sebuah kalender tua yang masih menggantung di tempatnya. Halaman-halaman kalender ini menunjukkan tanggal-tanggal yang telah lama berlalu, dengan tanggal-tanggal yang terlewat tanpa ada penanda. Kalender ini, dengan gambar-gambar yang memudar, menjadi pengingat akan waktu yang telah berlalu dan kehidupan yang pernah dihitung di sini. Namun, tanpa adanya tangan yang membalik halaman, kalender ini tidak lebih dari sekadar artefak dari masa lalu.

Di kamar mandi, sebuah cermin besar dengan bingkai kayu yang tergores berdiri di sudut. Cermin ini, meskipun kotor dan berdebu, masih mencerminkan siluet-siluet samar dari cahaya yang masuk melalui jendela kecil. Di samping cermin, terdapat bak mandi yang telah lama kosong, dan keran-keran yang sudah berkarat. Tempat ini, yang dulunya mungkin digunakan untuk merawat diri, kini hanya menjadi tempat di mana air tidak pernah mengalir lagi. Suara air yang mengalir dari keran atau bunyi tetesan yang pernah terdengar di sini, kini telah digantikan oleh kesunyian yang menekan.

Di luar rumah, taman yang dulunya mungkin dipenuhi dengan warna-warni bunga kini menjadi hutan kecil yang liar. Pepohonan yang tumbuh acak dan tanaman merambat telah mengambil alih taman, menjadikannya sebuah labirin hijau yang penuh dengan kekacauan. Namun, di antara dedaunan dan semak-semak yang lebat, masih terdapat sisa-sisa dari masa lalu. Kupu-kupu yang pernah menari di sekitar bunga, sekarang terperangkap dalam jaring laba-laba yang menempel di dahan-dahan pohon, dan burung-burung yang dulunya bernyanyi kini hanya meninggalkan jejak-jejak suara yang samar.

Di pojok taman, terdapat sebuah ayunan tua yang tergantung pada sebuah pohon besar. Ayunan ini, dengan tali-tali yang usang dan kursi yang sudah pudar, bergerak pelan saat angin berhembus. Meskipun tidak ada lagi anak-anak yang bermain di sini, ayunan ini seakan masih mengingat suara tawa dan sorak-sorai yang pernah mengisi taman ini. Gerakan ayunan yang perlahan menari-nari di bawah sinar matahari yang redup menjadi satu-satunya bukti bahwa tempat ini pernah hidup.

Seiring waktu, hutan di sekeliling rumah semakin lebat dan menutupi segala sesuatu yang ada di bawahnya. Tanaman-tanaman liar dan akar-akar pohon mulai menutup jalan setapak yang dulu pernah dilalui oleh manusia. Jalan yang dulunya mungkin penuh dengan jejak kaki kini tertutup oleh dedaunan dan rumput liar, menciptakan jalan yang hampir mustahil dilalui. Hutan ini, dengan segala kerimbunannya, menyelimuti rumah tua ini dalam pelukan hijau yang menambah kesan keterasingan.

Saat matahari terbenam, cahaya oranye lembut menyapu hutan dan rumah tua ini. Bayangan-bayangan panjang muncul di antara pohon-pohon, menciptakan pola-pola aneh di tanah. Sinar matahari yang meresap melalui celah-celah dedaunan menghasilkan efek bercahaya yang seakan menyentuh setiap sudut rumah dengan kehangatan yang kontras dengan kesunyian yang ada. Namun, meskipun keindahan ini hadir, keheningan tetap dominan, tidak terganggu oleh kehadiran cahaya.

Di malam hari, ketika bulan purnama bersinar terang di langit, rumah ini berubah menjadi siluet yang menakutkan di tengah kegelapan. Bayangan-bayangan yang diciptakan oleh cahaya bulan menari di dinding-dinding, menciptakan gambaran-gambaran yang menyeramkan dan surrealis. Angin yang berhembus lembut melintasi hutan membawa serta suara-suara lembut yang tidak jelas, seakan membisikkan kisah-kisah lama dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh kesunyian.

Di ruang utama, sebuah piano tua berdiri dengan penuh kehampaan. Piano ini, dengan tuts-tuts yang kotor dan berdebu, tidak pernah lagi dipetik. Suara melodinya yang pernah mengisi ruangan kini hanyalah kenangan yang terbenam dalam diam. Meskipun piano ini terlihat kokoh, kesunyian di sekelilingnya membuatnya tampak rapuh, seakan hanya menunggu untuk dihapuskan dari ingatan.

Di sekeliling piano, terdapat sejumlah foto-foto lama yang tergeletak di atas meja atau tergantung di dinding. Foto-foto ini, meskipun memiliki gambar-gambar yang jelas, kini terbungkus oleh debu dan kegelapan. Wajah-wajah yang tersenyum dalam foto-foto ini tampak lebih seperti kenangan samar daripada kenangan hidup. Setiap kali cahaya rembulan menyinari foto-foto ini, mereka seakan menyapa dari masa lalu yang telah lama berlalu, menambah rasa kesunyian yang menekan.

Di dapur, alat-alat masak yang telah lama tidak digunakan berserakan di atas meja dan rak. Wajan yang berkarat, panci yang penuh dengan noda, dan piring-piring yang pecah semuanya seakan menunggu untuk digunakan, tetapi tidak pernah dipakai lagi. Bau makanan yang pernah tercium di dapur ini telah lama hilang, digantikan oleh aroma lembap dari tempat yang tidak pernah lagi dipenuhi dengan kehidupan.

Ketika musim berganti, perubahan suhu dan kelembapan menambah dampak pada keadaan rumah ini. Musim dingin membawa salju yang menutupi seluruh tanah dan atap rumah, menciptakan lapisan putih yang tampak indah namun juga menambah rasa kesepian. Musim panas, dengan panasnya yang membakar, membuat rumah ini semakin kering dan rapuh. Setiap musim membawa serta nuansa kesunyian yang berbeda, namun tidak satu pun yang mampu mengubah keadaan abadi dari rumah tua ini.

Di setiap penjuru rumah, terdapat barang-barang yang tampaknya bercerita, namun kesunyian menghapus semua suara mereka. Sepatu-sepatu tua yang terletak di dekat pintu, mainan anak-anak yang terabaikan di sudut ruangan, dan buku-buku yang berdebu semuanya menciptakan gambaran tentang kehidupan yang telah lama pergi. Setiap benda ini, dengan segala keadaannya yang tidak berubah, tetap menyimpan jejak-jejak masa lalu dalam kesunyian yang abadi.

Di luar, hutan yang terus berkembang semakin mengisolasi rumah tua ini dari dunia luar. Akar-akar pohon yang menembus tanah, semak-semak yang menjalar ke segala arah, dan dedaunan yang menutup jalan-jalan kecil semakin menutup rumah ini dari pandangan luar. Hutan ini, dengan segala kerimbunannya, menciptakan dinding alami yang menjaga rumah ini tetap tersembunyi, menambah rasa keterasingan dan kesunyian.

Seiring dengan berlalunya waktu, rumah tua ini terus berdiri sebagai saksi bisu dari masa lalu yang telah berlalu. Kesunyian yang melingkupi setiap sudutnya menjadi bagian dari identitasnya, dan meskipun ada banyak cerita yang bisa diceritakan, semua itu tetap terbenam dalam kekosongan yang abadi. Rumah ini, dengan segala kebisuannya, tetap menjadi simbol dari betapa lelahnya kita dengan kesunyian yang tidak pernah berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun