Ketika musim berganti, perubahan suhu dan kelembapan menambah dampak pada keadaan rumah ini. Musim dingin membawa salju yang menutupi seluruh tanah dan atap rumah, menciptakan lapisan putih yang tampak indah namun juga menambah rasa kesepian. Musim panas, dengan panasnya yang membakar, membuat rumah ini semakin kering dan rapuh. Setiap musim membawa serta nuansa kesunyian yang berbeda, namun tidak satu pun yang mampu mengubah keadaan abadi dari rumah tua ini.
Di setiap penjuru rumah, terdapat barang-barang yang tampaknya bercerita, namun kesunyian menghapus semua suara mereka. Sepatu-sepatu tua yang terletak di dekat pintu, mainan anak-anak yang terabaikan di sudut ruangan, dan buku-buku yang berdebu semuanya menciptakan gambaran tentang kehidupan yang telah lama pergi. Setiap benda ini, dengan segala keadaannya yang tidak berubah, tetap menyimpan jejak-jejak masa lalu dalam kesunyian yang abadi.
Di luar, hutan yang terus berkembang semakin mengisolasi rumah tua ini dari dunia luar. Akar-akar pohon yang menembus tanah, semak-semak yang menjalar ke segala arah, dan dedaunan yang menutup jalan-jalan kecil semakin menutup rumah ini dari pandangan luar. Hutan ini, dengan segala kerimbunannya, menciptakan dinding alami yang menjaga rumah ini tetap tersembunyi, menambah rasa keterasingan dan kesunyian.
Seiring dengan berlalunya waktu, rumah tua ini terus berdiri sebagai saksi bisu dari masa lalu yang telah berlalu. Kesunyian yang melingkupi setiap sudutnya menjadi bagian dari identitasnya, dan meskipun ada banyak cerita yang bisa diceritakan, semua itu tetap terbenam dalam kekosongan yang abadi. Rumah ini, dengan segala kebisuannya, tetap menjadi simbol dari betapa lelahnya kita dengan kesunyian yang tidak pernah berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H