Di tengah hutan lebat yang terselubung kabut, terdapat sebuah rumah tua yang telah lama ditinggalkan. Rumah ini, dengan atapnya yang mulai rapuh dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut, berdiri sebagai saksi bisu dari waktu yang telah berlalu. Setiap sudutnya dipenuhi oleh debu dan kegelapan, menciptakan suasana yang seakan terhenti dalam sebuah kekosongan abadi.
Di sekeliling rumah, pepohonan menjulang tinggi, saling berdesir ketika angin lewat. Namun, dalam kehampaan ini, bahkan suara angin tampaknya tidak mampu meredakan keheningan yang menyelubungi tempat itu. Keheningan yang begitu dalam, seakan menyelimuti setiap jengkal tanah dan setiap lapisan debu yang menutupi perabotan lama.
Dari luar, rumah tua ini tampak seperti pelindung kesunyian. Namun, di dalamnya, sebuah cerita tak tertulis bersembunyi di balik tirai waktu yang telah pudar. Ranjang kayu yang telah rusak oleh serangga dan berjamur, kursi-kursi yang kaku dan usang, serta meja-meja yang penuh dengan coretan-coretan waktu, semua menunjukkan bahwa kehidupan pernah ada di sini.
Namun kini, semua itu hanya menjadi bagian dari masa lalu yang terlupakan. Ranjang tidak lagi dipenuhi dengan mimpi atau kegembiraan, kursi tidak lagi ditempati oleh siapa-siapa, dan meja tidak lagi menjadi saksi dari percakapan atau tawa. Semua ini hanya menunggu untuk dilupakan sepenuhnya dalam kesunyian yang tak tertandingi.
Di luar rumah, sebuah taman yang dulunya mungkin dipenuhi dengan warna-warni bunga kini berubah menjadi ladang liar yang penuh dengan rumput tinggi dan semak belukar. Seiring waktu, taman ini juga ikut terjerat dalam jaring kesunyian. Di antara tanaman liar yang tumbuh acak, batu-batu kecil berserakan, seperti mengisahkan kisah-kisah kecil yang tidak pernah selesai.
Kehampaan ini terperangkap dalam suasana yang tidak berubah. Tiap hari dan malam berlalu tanpa ada perubahan yang berarti. Tidak ada suara gerak pintu atau langkah kaki yang menyentuh lantai kayu. Bahkan suara binatang malam pun tidak pernah mengganggu ketenangan yang memerintah di sini.
Ketika hujan turun, tetesan air menimpa atap rumah dengan lembut. Namun, meskipun ada suara hujan yang merdu, itu hanya menambah rasa kesepian. Suara tetesan itu seakan menetes ke dalam kekosongan yang lebih dalam, tanpa ada tanggapan dari sesuatu atau seseorang.
Malam hari datang dengan gelapnya yang pekat, dan rumah ini bersembunyi di balik tirai malam yang berat. Bulan dan bintang-bintang bersembunyi di balik awan, dan hanya cahaya rembulan yang kadang-kadang menyusup ke dalam ruangan, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding-dinding tua. Bayangan ini, meskipun bergerak, tetap tidak mampu mengusir kesunyian yang mencekam.
Di luar, tiada tanda kehidupan. Angin berhembus lembut, menggoyangkan daun-daun yang telah menguning, dan bahkan gemericik air di sungai kecil yang mengalir tidak mampu mengubah suasana sunyi yang mendalam. Semua ini seperti simfoni kesepian yang tak pernah berakhir.
Satu-satunya perubahan yang terlihat adalah perubahan waktu, dan meskipun waktu terus berjalan, kesunyian tetap berdiri sebagai saksi. Musim berganti, dari dinginnya musim dingin hingga panasnya musim panas, dan rumah tua ini tetap menjadi tempat yang sama, tanpa mengalami perubahan apapun. Ini adalah tempat di mana waktu seolah berhenti, meninggalkan semua yang pernah ada dalam kesunyian yang tak tertandingi.