Mohon tunggu...
Dian Wijayanti
Dian Wijayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Pribadi

Saya sangat mengenali diri saya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Contoh Cerita Pendek "Tak Berpangkat"

22 Juni 2021   21:38 Diperbarui: 22 Juni 2021   22:00 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak Berpangkat

 Karya: Dian Wijayanti

Malam ini terpaksa aku menepi dari tidur malam yang sudah ku perkirakan bakal ada mimpi indah. Sayang, mataku masih tak bisa lepas dari grafik yang membingungkan di depan layar laptop jadulku, sedangkan telingaku masih saja berkenan mendengarkan lalu lintas suara para ekonom berdebat mengenai kondisi ekonomi yang sedang  sekarat. Tanganku tak mau kalah, dengan kekuatan baja mereka sudi berteman dengan keyboard lapotopku yang  beberapa tombolnya tidak dapat di fungsikan. Alhasil harus bekerja dua kali untuk salin tempel huruf. Ntah berapa lama aku berkutat dalam kesibukan ini. Yang aku ingat, aku belum selesai menuntaskan pekerjaanku. 

Ditengah kesibukan, ku coba mengintip jam dinding yang terpasang persis di depanku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.30. Tapi, belum ada tanda-tanda pekerjaanku segera berakhir. Ku capai handphone yang terletak tidak jauh dai tempat duduku. Ku lihat layar, banyak pesan masuk, salah satunya dari  ibuku.

"Nadine, jangan lupa shalat. Jangan lupa makan. Jangan begadang ya nak. Jaga kesehatannya."

Ingin sekali membalasnya dengan pesan"Maaf bu, Nadine tidak bisa. Hari ini Nadine terpaksa lembur sampai pagi lagi"Tapi aku harus berbohong agar tak menimbulkan perasaan khawatir. Ntah sudah ke berapa kalinya terpaksa aku harus berbohong dengan ibuku.

***

Seperti biasa, pagi ini aku berangkat ke kampus menggunakan busway. Hari ini aku berangkat lebih awal bukan karena ada kuliah tambahan, melainkan harus bertemu dengan kawan-kawan untuk menyiapkan teknik lapangan untuk aksi nanti siang. 

Sampai di kampus aku langsung buru-buru menuju gelanggang olahraga untuk menemui teman-teman yang sudah memulai berdiskusi.

"Selamat pagi teman-teman. Mohon maaf aku telat" Ucapku meminta maaf kepada teman-teman yang terlebih dulu sudah sampai dan melakukan diskusi.

"Tumben telatnya lama banget?" Tanya kak Julain, koordinator lapangan acara ini.

"Hm iya kak. Soalnya tadi ada insiden kecil di dalam busway, jadi terpaksa harus delay"

"Insiden? Emang ada apa?" Tanya kak Julian kembali kepadaku.

"Tadi pagi, busway yang aku tumpangin padet banget. Beberapa saat setelah busway melaju tiba-tiba ada teriakan perempuan minta tolong setengah ketakutan. Seketika orang-orang mendekat untuk menanyakan apa yang terjadi. Ia pun berkata bahwa laki-laki yang duduk disampingnya sudah melecehkannya." Ujarku mencoba menjelaskan.

"Terus gimana? Apakah laki-lakinya di proses hukum? Ini kan termasuk pelecehan sekual?" Tanya Adina, aktivis kampus yang juga merupakan pegiat solidaritas perempuan.

"Tidak. Laki-laki itu hampir saja di hakimi penumpang busway karna nggak mau mengakui perbuatannya. Sampai akhirnya dia di paksa turun dari busway."

"Terus perempuan yang di lecehkan gimana?" Tanya kak Julian

"Pastinya dia shock lah. Beberapa penumpang, termasuk aku mencoba untuk menenangkan, termasuk merekomendasikan agar di proses hukum. Termasuk merekomendasikan untuk datang ke profesional untuk memulihkan keadaan psikisnya karna dia terlihat ssangat ketakutan dan terus menangis."

"Ini nggak bisa dibiarkan kawan. Diskrminasi gender masih menghantui negeri ini. Kita tidak boleh diam melihat masalah seperti ini terus berkeliaran. Advokasi isu ini sampai perlindungan perempuan terealisasi kawan, tapi sekarang kita kembali ke diskusi awal." Ujar kak Julian yang meminta agar pembicaraan kembali ke diskusi mengenai teknik lapangan untuk aksi nanti siang.

***

Satu persatu masa aksi memadati bunderan di dekat kampus untuk mengikuti aksi siang ini. Berbagai macam spanduk mulai di lentangkan di sudut-sudut jalan bunderan. Laki-laki, perempuan, muda, tua semua berkumpul membentuk satu barikade untuk menyampaikan aspirasi. Yel-yel dan jargon aksi mulai santer terdengar.  Tak lupa, tuntutan aksi juga mulai di dengungkan meskipun aksi belum resmi dimulai. Terlihat beberapa kali masa aksi perempuan memegang alih keamanan aksi. Tak jarang mereka berada di barisan terdepan, seolah tak punya rasa takut akan adanya kerusuhan dan ancaman represifitas aparat keamanan.

Isu ekonomi memang sedang menempati trending utama dan paling banyak di perbincangkan oleh hampir seluruh elemen masyarakat. Berita demonstrasi secara besar-besaran yang dilakukan serentak secara masif tak kala menghebohkan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran beberapa orang tua yang takut anaknya ikut turun aksi. Termasuk ibuku yang tiba-tiba memanggilku melalui panggilan suara keitika briefing.

"Assalaamualaikum bu"

"Waalaikumsalam nak. Kok rame? Nadine ikut demo?" Tanya ibu di sebrang.

"I..i..iya bu" Jawabku lirih sedikit ketakutan. Khawatir ibu memarahiku karna aku ikut demo tanpa seizin baliau. Karna kalau aku izin, sudah dapat dipastikan ibuku nggak bakal memberi izin.

"Astaghfirullah Nadine. Demo itu bahaya, apalagi kamu perempuan. Coba bayangin kalau nanti ada rusuh, apa bisa kamu melindungi diri? Belum lagi nanti kalau ada salah paham bisa berurusan dengan polisi. Ingat nak, ayah sudah tiada. Ibu membesarkan adik dan kamu seorang diri. Kalau nanti terjadi yang enggak-enggak sama kamu, ibu sendiri yang bakal berjuang, tanpa ayah, tanpa kamu, tanpa adik yang masih belia." Ujar ibu yang mulai khawatir dengan keadaanku, karena beberapa kanal televisi tengah memberitakan beberapa aksi di daerah lain yang di mulai dari pagi tadi berakhir rusuh.  

"Sebelumnya Nadine minta maaf tidak izin ke ibu terlebih dahulu. Ibu tenang saja, Nadine pasti baik-baik saja. Disini Nadine tidak sendiri bu, banyak teman-teman yang bisa membantu dan menjaga. Ibu tidak usah khawatir, semuanya baik-baik saja." Ujarku mencoba untuk meyakinkan ibu.

"Tapi nak, demo adalah kegiatan yang lumrah dilakukan laki-laki. Kenapa kamu ikut? Lagi pula kamu tau apa yang di demokan? Tau masalahnya apa? Kamu aja kuliahnya ambil pendidikan, ini malah ngomongin politik."

Ibu mencoba untuk berargumen sebaik mungkin agar aku mengamini apa yang di inginkan. Sayangnya aku tidak termakan omongan ibu, bukan bermaksud membantah, tapi aku sudah biasa melakukan aksi ini. Sudah terbiasa mengahdapi situasi mencekam ketika demo harus berakhir ricuh. Perih dan sulitnya bernapas ketuika berondongan gas air mata di tujukan kepada pendemo sudah sering aku alami. Bahkan yang lebih parah, aku hampir saja pingsan ketika tubuhku yang lemah menahan kepulan asap tertabrak pendemo lain yang mencoba untuk menyelamatkan diri ketika ricuh berlangsung.  Tapi semua itu tak lantas membuatku berhenti bergerak, justru karena itulah aku semakin lantang bersuara. Meminggirkan identitasku sebentar yang biasa dianggap lemah.

"Nadine!! Ayo ambil tempat!!! Panggil kak Juliah dari jauh. Menginstruksikan agar segera merapat dengan yang lain dan memulai aksi.

"Baik kak." Jawabku berteriak

"Siapa saja punya hak untuk berbicara politik bu, tidak melulu yang bertitel atau berkecipung di dunia politik. Jadi, ibu jangan menafikkan orientasi pendidikan sebagai determinasi. Tapi, mohon maaf bu, Nadine harus segera berkumpul dengan teman-teman dan mau memulai aksi. Ibu nggak perlu khawatir ya, Nadine baik-baik saja kok. Minta doanya ya bu semoga semuanya dilancarkan, dan aksi kami mendapatkan hasil yang baik. Assalaamualikum"

Tuttttt tuttttttt tuttttttt

Aku memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban salam dari ibu, karna koordinator aksi sudah mengeraskan suara di toa, yang itu berarti bahwa aksi dimulai. Aku berlari membelah lautan manusia yang ada di depanku. Setelah bersusah payah menerobos, akhirnya aku berada baris terdepan.

Satu per satu orator menyampaikan orasinya. Sedangkan yang lain menyanyikan yel-yel perjuangan dan sesekali meneriakkan aspirasi. Diantara lautan demonstran terdapat jurnalis yang juga stand by mengambil gambar serta menggali informasi. Ada juga jurnalis yang mengadakan siaran langsung ketika demo berlangsung. Semua pada menyibukkan diri masing-masing, termasuk aku yang berusaha menepi ketika demo sudah mulai tidak kondusif lagi. Ketika berlari mencari tempat yang aman, tak sengaja aku melihat ada seorang perempuan terhuyung ke aspal ketika hendak bersiap memngambil gambar di kerumunan masa yang sedang ricuh. Dia tumbang, tapi tak seorangpun membantunya. Akhirnya aku  mencoba untuk masuk kembali ke tengah kerumunan. Tanpa  pikir panjang, aku membopong dia untuk keluar dari kerumunan dan mencari tempat yang lebih aman.

"Terima kasih sudah membantu saya" Ucap perempuan yang aku tolong di kerumunan tadi. Perempuan yang bernama Karina Suryaningrum itu merupakan jurnalis di salah satu media masa. Umurnya tidak lagi bisa dikatakan muda, sudah berkepala empat. Aku tau identitasnya setelah tak sengaja membaca ID card yang ia pakai ketika membantu membopongnya.

"Sama-sama. Oh iya, mbak berani banget ambil pekerjaan bahaya kayak gini?" Tanyaku penasaran.

"Hehe nggak kok. Ini sudah jadi kewajiban saya sebagai seorang jurnalis, mau nggak mau, suka nggak suka ya memang seperti itu pekerjaan saya. Resikonya memang besar, kayak barusan yang kamu lihat." Ujar perempuan itu sembari mengotak-atik kameranya yang ikut terjatuh ketika ia terhuyung ke aspal.

"Yang kamu lihat barusan belum seberapa, saya pernah keseret banjir ketika sedang meliput di tempat kejadian yang baru saja di terjang banjir bandang. Ketika tengah menggali informasi, tiba-tiba air rob datang dengan cepat sekali. Saya kira bukan hanya saya yang tidak siap menyelematkan diri, juga orang-orang yang waktu itu ada di tempat yang sama dengan saya. Untungnya saya masih bisa diselamatkan meskipun sempat hilang beberapa jam dan harus menjalani operasi karena beberapa tulang iga saya putus akibat benturan keras yang saya terima." Perempuan itu lanjut menceritakan pengalaman pedihnya selama menjadi jurnalis.

"Luar biasa sekali. Memang mbak tidak trauma dengan kejadian itu? Tanyaku yang masih penasaran dengan semangat dan keberanian yang dimiliki oleh perempuan ini.

"Sebelum saya menjawab, saya mau bertanya sama kamu. Mungkin kamu nggak sadar beberapa kali saya memotret kamu ketika mengikuti beberapa aksi. Kamu selalu berada di barisan terdepan, yang menurut orang itu adalah barisan yang paling krusial. Nah contohnya kayak sekarang nih, barisan terdepan paling terdampak, udah gitu lumayan susah juga cari tempat aman. Saya juga pernah memotret kamu sedang berorasi. Nah pertanyaan saya, kenapa kamu berani ada di posisi itu? Mungkin buat sebagian orang apa yang kamu lakukan adalah sesuatu yang cukup bahaya, dan umumnya dilakukan oleh laki-laki. Tapi kenapa kamu melakukan?" Tanya perempuan yang ternyata diam-diam suka mengambil gambarku ketika aksi. Itu yang berarti perempuan ini cukup berpengalaman meliput aksi demonstrasi.

"Hmmm gimana ya mbak, sebenarnya bukan hanya mbak yang bertanya itu kepada saya. Sering kali saya mendapat pertanyaan itu, tapi sampai sekarang saya belum bisa menemukan jwaban yang tepat. Yang ada dipikiran saya hanya bagaimana caranya agar saya bisa bermanfaat bagi orang lain sekaligus membuktikan bahwa sebagai perempuan saya juga berhak memiliki kesempatan yang sama atas apa yang dilakukan oleh laki-laki. Yah ini hanya contoh saja mbak." Jawabku dengan menerka-nerka langit yang mulai gelap.

"Nah, jawaban saya sudah kamu jawab." Pungkas perempuan itu dengan nada tinggi.

"Mohon maaf, pastinya mbak punya suami dan anak, bukan?"

"Heem" Jawab perempuan itu mengangguk.

"Terus bagaimana dengan mereka. Apa mbak nggak kewalahan mengurus pekerjaan yang berat ini dengan urusan keluarga? Apalagi mbak sering ke luar kota."

"Kalau kamu mau tau perjuangan saya bisa sampai disini, lumayan berat karna dulu sempat dapat penolokan dari suami dan orang tua. Benar, salah satunya saya harus mau tidak mau menerima pekerjaan untuk meliput di luar kota, di tambah lagi kerjaan yang asya emban punya resiko tinggi. Mereka menganggap bahwa saya nggak bakal mampu menjalani ini, karna saya perempuan, saya lemah. Sebaiknya saya di rumah saja mengurus keluarga. Tapi saya mencoba untuk meyakinkan mereka. Ya, akhirnya bisa kamu lihat sekarang."

"Eh udah adzan maghrib. Kita ambil wudlu bareng ya."

Kami berdua segera mengemas  barang-barang yang masih berserakan di sekitar tempat duduk kami. Selanjutnya kami mengambil wudlu bersama dan melaksanakan ibadah shalat maghrib berjamaah di masjid yang letaknya tidak jauh dari titik lokasi demo.

Hari ini sungguh meneyenangkan. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari mbak Karina. Bagaimana caranya ia mengahadapi keraguan keluarganya yang menganggap bahwa ia tidak mungkin bisa jadi jurnalis dengan meliput aksi-aksi yang bahaya, juga ketakutan keluarga yang menganggap mbak Karina tidak bisa mengurus keluarga apabila ia diminta kerja di luar kota. Termasuk keberanian menghadapi bahaya-bahaya yang akan ia hadapi selama meliput. Usia tak menjadi alasan ia berhenti mengasah keberaniannya. Seperti apa yang aku lihat tadi sore adalah bukti bahwa mbak Karina adalah perempuan hebat.  Perempuan yang mampu mengayomi keluarga dengan baik, sekaligus pekerja keras yang tak pernah kenal takut dan lelah.

***

Sehari setelah demo, ibu menelponku mengabarkan bahwa Arul, saudara saya satu-satunya sedang demam tinggi. Terpaksa hari ini saya harus pulang terlebih dahulu. Menggantikan posisi ibu untuk menjaga adiku yang tidak mungkin di tinggal seorang diri. Sedangkan ibuku, harus mengajar di sekolah PAUD tak jauh dari rumahku. Ibuku juga membuka jasa katering untuk menambah pemasukan karna ibu menggantikan posisi ayahku menjadi tulang punggung kelurga setelah kepergiannya ke pangkuan sang khalik ketika adiku baru berusia 5 bulan. Selain itu, ibu juga membuka bimbingan belajar di rumah untuk membantu anak-anak disekitar rumah yang memiliki kesulitan belajar mandiri tanpa dipungut biaya.

Dari kecil aku sudah diajarkan mandiri oleh ayah dan ibu. Bahkan ketika aku masih sekolah PAUD, aku harus membantu menjual ikan hasil tangkapan ayahku yang berprofesi sebagai seorang nelayan. Semangat itu terus berkobar, terutama setelah ayah pergi. Aku membantu ibuku mengemas makanan ringan di industri rumahan dekat rumah sedari aku duduk di ekolah dasar. Kepergian ayah sangat terasa, terutama bagi ibu. Ia harus menggantikan figur ayah. Mencari nafkah, membesarkan aku dan adiku seorang diri, dan sibuk mengurus ini itu yang sewajarnya dilakukan oleh seorang ayah.

"Assalaamualaikum bu" Aku mengucapakan salam ketika baru tiba di rumah.

"Assaalamualaikum bu." Masih belum ada yang menjawab.

"Assalaamualikum, Nadine pulang bu. Ibu di dalam?"

"Adik, kamu di di dalam dik?"

Pintu rumah dikunci, begitu juga dengan jendela rumah yang dikunci. Rumah terlihat sangat sepi, seperti tidak ada orang di dalam.

"Assalaamualikum" Suara dari belakang mnegagetkanku yang celingukan di jendela memastikan keadaan di dalam rumah. Aku sangat akrab dengan suara itu. Iya, itu suara ibu.

Dan benar saja, ada ibu dan adik yang baru saja keluar rumah. Tapi..

"Waa... waalaikumsalam. Adik kamu kenapa?" Aku terkejut melihat adik dengan setelan baju khas orang sakit. Wajahnya tampak sangat pucat, bibirnya sudah biru tua. Aku mulai panik dengan keadaan adik.

"Adik tidak apa-apa kok. Barusan ibu dan adik dari klinik, memeriksakan adik kamu. Adik tidak apa-apa Cuma butuh istirahat yang banyak." Jawab ibu dengan wajah sendu. Seperti ada yang ditutupi.

"Oh iya. Nadine udah lama? Tumben pulang, bukannya waktu pulang masih seminggu lagi?" Tanya ibu yang ingin mengalihkan pembicaraan.

"Baru sampai bu. Nadine kangen ibu dan adik."

"Adik kamu beneran tidak apa-apa?" Aku mencoba mendekat adiku yang menutup tubuhnya dengan jaket. Aku menyentuh dahinya, memastikan bahwa suhu tubuhnya tidak terlalu tinggi. Tapi aku salah, justru suhunya sangat tinggi. Itu sebabnya kenapa adik terlihat sangat pucat dan menggigil padahal cuaca di rumah sangat panas.

"Ibu bohong. Sebenarnya adik sakit apa bu?" Jawabku dengan nada sedikit tinggi. Sebagai tanda bahwa aku ingin tahu apa yang sebenrnya terjadi dengan adiku.

"Adik di diagnos tifus dan harus menjalani rawat inap. Tapi ibu tidak punya cukup biaya. Yasudah akhirnya ibu memilih agar adik di rawat di rumah." Jawab ibu menitikan air mata.

Sebenarnya aku tidak tega melihat ibu menangis. Ia sudah susah payah mencari nafkah, tapi itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Apalagi situasi seperti saat ini, ia pasti terpukul. Satu sisi ia harus mengobati adik yang sedang sakit, tapi di sisi lain ia juga tak tak bisa memilih untuk menjalani rawat inap karna memang tidak ada biaya.

"Astaga ibu, kenapa nggak bilang sama Nadine?" Tanyaku sambil memeluk ibu.

"sudah lah nak. Kamu fokus kuliah yang benar. Ini tanggung jawab ibu, biar ibu yang menanggung."

"Ibu tenang saja." Aku melepas pelukan ibu dan segera mengambil amplop di dalam tas ranselku.

"Ini bu." Aku menyodorkan amplop bewarna kepada ibu

"Apa ini?" Tanya ibu terheran-heran.

"Sedikit uang barangkali bisa membantu membayar baiya penginapan adik selama di rawat."

"Enggak nak." Ibu mengembalikan amplop kepadaku.

"Ini uangmu, hasil kerjamu untuk biaya kuliah. Sudah, urusan adik biar ibu saja memikirkan. Ini simpan lagi."

"Ini ibu ambil" Menyodorkan amplop ke ibu

"3 hari sebelum Nadine demo kemarin, Nadine ikut lomba inovasi teknologi untuk meningkatkan perekonomian. Mungkin ini terdengar aneh buat ibu. Menurut ibu ini bersebarangan dengan jurusan Nadine. Tapi Nadine sering ikut pelatihan inovasi teknologi. Ketika mengetahui ada lomba ini, Nadine langsung berkolaborasi dengan teman-teman dari jurusan IT dan ilmu ekonomi. Alhammdulillah bu kami menang. Dan ini adalah hasil yang kami dapatkan kemarin."

"Tapi nak" Ibu mencoba menyangkal penjelasanku.

"Sudahlah bu. Nadine masih ada banyak proyek." Aku mencoba menenangkan ibu agar mau menerima uang pemberianku.

"Oh iya. Mending kita sekarang siap-siap terus kita ke klinik." Ujarku semangat

"Terima kasih ya nak."

"Terima kasih ya kak."

Kami bertiga berpelukan di teras rumah. Momen seperti ini menjadi momen terbaik kami. Meskipun hidup sederhana kami merasa sangat kaya dimana setiap masalah yang kami hadapi selalu terselesaikan dengan meminggirkan ego masing-masing.

Beginilah hidup tanpa kehadiran sosok ayah. Kami terpaksa saling membantu dalam hal apapun, termasuk finansial. Pekerjaan ibu sebagai guru PAUD dengan bayaran yang tidak seberapa terkadang belum bisa mencukupi kebutuhan kami. Itu sebabnya mengapa saya sangat berambisi untuk sesering mungkin mengikuti lomba, karna hasilnya bisa aku tabung untuk membayar uang kuliah dan keperluan kuliah yang lain.

***

Aku senang dengan apa yang aku jalani saat ini, meskipun cukup melelahkan dan tidak menghasilkan uang. Tapi paling tidak aku bisa melakukan seuatu yang bevmanfaat bagi ornag lain. Memang benar, demo hanya bikin jalan jadi macet, bikin rusuh, fasilitas banyak yang ruak. Tapi, tidak semua demo berakhir dengan kerusuhan. Beberapa aksi solidaritas yang aku ikuti selalu berjalan damai. Bahkan banyak orang yang tertarik mengikuti kegiatan rutin kami setelah melihat aksi kami. Satu kebanggaan buat saya pribadi mampu mengajak orang lain untuk mampu berpikir lebih kritis dalam mengahadapi tantangan zaman yang semakin sulit.

Kesibukan di kampus dan forum pergerakan kerap kali membuatku penat dibuatnya. Untung saja aku punya teman-teman hebat di rumah nyaman. Ya, mereka adalah teman-teman yang aku temui di jalanan. Mereka berlatar belakang anak autis, orang jalanan, gelandangan, pengemis, disabilitas, dan anak-anak yang terpaksa putus sekolah karna tidak memiliki biaya. Berawal dari ketertarikanku melihat ibu yang ikhlas membantu memberikan bimbingan belajar gratis di rumah, akhirnya aku tertarik melakukan hal yang sama di tempat aku mengenyam pendidikan.

Awalnya kita menentukan waktu untuk bisa ketemu bareng di satu tempat yang sama, karna memang waktu itu kita tidak memiliki tempat untuk singgah. Kita bertemu tanpa saling bertukar kabar satu sama lain, karna memang teman-teman banyak yang tidak punya handphone. Hingga akhirnya teman-teman sekarang bisa bersama-sama setiap hari tanpa harus ketakutan di kejar-kejar petugas. Rumah nyaman berdiri atas kerja keras teman-teman dan donatur yang berkenan membantu kami.

Pagi itu, handphone berdering berkali-kali. Ketika aku lihat, banyak suara masuk dari nomor yang nggak aku kenal. Handphone kembali bergetar ketika aku buru-buru menyelesaikan tulisanku yang mau di terbitkan.

"Assalaamualaikum mbak Nadine." Sambung suara di sebrang.

"Waalaikumsalam. Dengan saya sendiri, maaf ini dengan siapa?" Tanyaku dengan tetap melanjutkan projeku.

"Saya Aqila mbak. Saya mau konsultasi sama mbak Nadine."

Aku kuliah di jurusan pendidikan bahasa Indonesia, tapi bukan berarti aku hanya bisa melakukan kegiatan yang berhubungan dengan bahasa. Aku membuka jasa mentoring untuk memberikan wadah buat orang-orang yang sedang membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah atau membutuhkan bantuan moral untuk mengembalikan semangat dan rasa percaya diri. Aku termasuk orang yang peduli dengan kesehatan mental, maka dari itu aku membuka layanan ini. Meskispun tidak bisa membantu untuk menyembuhkan, paling tidak aku bisa membantu memotivasi mereka.

"Baik Aqila, apa yang kamu keluhkan?" Tanyaku kepada orang yang akan menggunakan jasaku.

"Saya lagi ada di fase sangat krisis mbak. Saya bingung harus berbuat apa. Saya butuh pencerahan dari mbak Nadine karna saya merasa dirugikan. saya sering kehilangan fokus, akibatnya saya tidak bisa produktif."

"Baik saya mengerti maksud kamu. Besok kita ketemu untuk membicarakan ini lebih lanjut. Sekarang saya masih ada di rumah."

***

Pagi-pagi buta aku harus bergegas berangkat ke menuju stasiun agar tidak terlewat kereta yang menuju ke kampus.

"Nadnine, hati-hati ya. Jaga kesehatan kamu. Ibu tau kamu melakukan ini agar kamu bisa membayar uang kuliah, tapi kamu nggak boleh menyakiti diri kamu sendiri." Petuah ibu kepadaku yang merapikan keperluan yang harus aku bawah sebelum berangkat menuju stasiun.

"Iya bu. Ibu nggak usah khawatir lagi ya. Nadine pasti baik-baik saja kok." Jawabku sambil menatap mata ibu lekat-lekat untuk meyakinkan ibu agar tidak terlalu memikirkanku.

"Yasudah. Kamu berangkat diantar mang Parno ya nak." Ujar ibu sambil membawa tasku ke depan rumah.

"Oh iya bu, Nadine hampir saja lupa."

"Kenapa? Ada yang ketinggalan?"

"Hehe tidak ibu. Nadine mau bilang bahwa Nadine mau aksi lagi buat ngangkat isu keadilan gender. Semalam Nadine dan teman-teman mengadakan rapat virtual dan akhirnya kami sepakat untuk mengangkat isu ini. Nggak papa kan bu? hehe. Kan ibu sendiri yang bilang kalau perempuan harus dilindungi, di hormati, dan di istimewakan. Jangan mentang-mentang perempuan lemah lantas mudah di diskriminasi, di sudutkan, apalagi di rendahkan. Nah sekarang Nadine dan teman-teman ingin mengangkat isu ini agar perempuan tidak lagi jadi bahan mainan."

"Baiklah nak kalau mau kamu seperti itu. Tapi ingat pesan ibu, tetap hati-hati."

"Siap bu. Nadine berangkat dulu ya. Assalaamualikum."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun