Aku memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban salam dari ibu, karna koordinator aksi sudah mengeraskan suara di toa, yang itu berarti bahwa aksi dimulai. Aku berlari membelah lautan manusia yang ada di depanku. Setelah bersusah payah menerobos, akhirnya aku berada baris terdepan.
Satu per satu orator menyampaikan orasinya. Sedangkan yang lain menyanyikan yel-yel perjuangan dan sesekali meneriakkan aspirasi. Diantara lautan demonstran terdapat jurnalis yang juga stand by mengambil gambar serta menggali informasi. Ada juga jurnalis yang mengadakan siaran langsung ketika demo berlangsung. Semua pada menyibukkan diri masing-masing, termasuk aku yang berusaha menepi ketika demo sudah mulai tidak kondusif lagi. Ketika berlari mencari tempat yang aman, tak sengaja aku melihat ada seorang perempuan terhuyung ke aspal ketika hendak bersiap memngambil gambar di kerumunan masa yang sedang ricuh. Dia tumbang, tapi tak seorangpun membantunya. Akhirnya aku  mencoba untuk masuk kembali ke tengah kerumunan. Tanpa  pikir panjang, aku membopong dia untuk keluar dari kerumunan dan mencari tempat yang lebih aman.
"Terima kasih sudah membantu saya" Ucap perempuan yang aku tolong di kerumunan tadi. Perempuan yang bernama Karina Suryaningrum itu merupakan jurnalis di salah satu media masa. Umurnya tidak lagi bisa dikatakan muda, sudah berkepala empat. Aku tau identitasnya setelah tak sengaja membaca ID card yang ia pakai ketika membantu membopongnya.
"Sama-sama. Oh iya, mbak berani banget ambil pekerjaan bahaya kayak gini?" Tanyaku penasaran.
"Hehe nggak kok. Ini sudah jadi kewajiban saya sebagai seorang jurnalis, mau nggak mau, suka nggak suka ya memang seperti itu pekerjaan saya. Resikonya memang besar, kayak barusan yang kamu lihat." Ujar perempuan itu sembari mengotak-atik kameranya yang ikut terjatuh ketika ia terhuyung ke aspal.
"Yang kamu lihat barusan belum seberapa, saya pernah keseret banjir ketika sedang meliput di tempat kejadian yang baru saja di terjang banjir bandang. Ketika tengah menggali informasi, tiba-tiba air rob datang dengan cepat sekali. Saya kira bukan hanya saya yang tidak siap menyelematkan diri, juga orang-orang yang waktu itu ada di tempat yang sama dengan saya. Untungnya saya masih bisa diselamatkan meskipun sempat hilang beberapa jam dan harus menjalani operasi karena beberapa tulang iga saya putus akibat benturan keras yang saya terima." Perempuan itu lanjut menceritakan pengalaman pedihnya selama menjadi jurnalis.
"Luar biasa sekali. Memang mbak tidak trauma dengan kejadian itu? Tanyaku yang masih penasaran dengan semangat dan keberanian yang dimiliki oleh perempuan ini.
"Sebelum saya menjawab, saya mau bertanya sama kamu. Mungkin kamu nggak sadar beberapa kali saya memotret kamu ketika mengikuti beberapa aksi. Kamu selalu berada di barisan terdepan, yang menurut orang itu adalah barisan yang paling krusial. Nah contohnya kayak sekarang nih, barisan terdepan paling terdampak, udah gitu lumayan susah juga cari tempat aman. Saya juga pernah memotret kamu sedang berorasi. Nah pertanyaan saya, kenapa kamu berani ada di posisi itu? Mungkin buat sebagian orang apa yang kamu lakukan adalah sesuatu yang cukup bahaya, dan umumnya dilakukan oleh laki-laki. Tapi kenapa kamu melakukan?" Tanya perempuan yang ternyata diam-diam suka mengambil gambarku ketika aksi. Itu yang berarti perempuan ini cukup berpengalaman meliput aksi demonstrasi.
"Hmmm gimana ya mbak, sebenarnya bukan hanya mbak yang bertanya itu kepada saya. Sering kali saya mendapat pertanyaan itu, tapi sampai sekarang saya belum bisa menemukan jwaban yang tepat. Yang ada dipikiran saya hanya bagaimana caranya agar saya bisa bermanfaat bagi orang lain sekaligus membuktikan bahwa sebagai perempuan saya juga berhak memiliki kesempatan yang sama atas apa yang dilakukan oleh laki-laki. Yah ini hanya contoh saja mbak." Jawabku dengan menerka-nerka langit yang mulai gelap.
"Nah, jawaban saya sudah kamu jawab." Pungkas perempuan itu dengan nada tinggi.
"Mohon maaf, pastinya mbak punya suami dan anak, bukan?"