"Heem" Jawab perempuan itu mengangguk.
"Terus bagaimana dengan mereka. Apa mbak nggak kewalahan mengurus pekerjaan yang berat ini dengan urusan keluarga? Apalagi mbak sering ke luar kota."
"Kalau kamu mau tau perjuangan saya bisa sampai disini, lumayan berat karna dulu sempat dapat penolokan dari suami dan orang tua. Benar, salah satunya saya harus mau tidak mau menerima pekerjaan untuk meliput di luar kota, di tambah lagi kerjaan yang asya emban punya resiko tinggi. Mereka menganggap bahwa saya nggak bakal mampu menjalani ini, karna saya perempuan, saya lemah. Sebaiknya saya di rumah saja mengurus keluarga. Tapi saya mencoba untuk meyakinkan mereka. Ya, akhirnya bisa kamu lihat sekarang."
"Eh udah adzan maghrib. Kita ambil wudlu bareng ya."
Kami berdua segera mengemas  barang-barang yang masih berserakan di sekitar tempat duduk kami. Selanjutnya kami mengambil wudlu bersama dan melaksanakan ibadah shalat maghrib berjamaah di masjid yang letaknya tidak jauh dari titik lokasi demo.
Hari ini sungguh meneyenangkan. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari mbak Karina. Bagaimana caranya ia mengahadapi keraguan keluarganya yang menganggap bahwa ia tidak mungkin bisa jadi jurnalis dengan meliput aksi-aksi yang bahaya, juga ketakutan keluarga yang menganggap mbak Karina tidak bisa mengurus keluarga apabila ia diminta kerja di luar kota. Termasuk keberanian menghadapi bahaya-bahaya yang akan ia hadapi selama meliput. Usia tak menjadi alasan ia berhenti mengasah keberaniannya. Seperti apa yang aku lihat tadi sore adalah bukti bahwa mbak Karina adalah perempuan hebat. Â Perempuan yang mampu mengayomi keluarga dengan baik, sekaligus pekerja keras yang tak pernah kenal takut dan lelah.
***
Sehari setelah demo, ibu menelponku mengabarkan bahwa Arul, saudara saya satu-satunya sedang demam tinggi. Terpaksa hari ini saya harus pulang terlebih dahulu. Menggantikan posisi ibu untuk menjaga adiku yang tidak mungkin di tinggal seorang diri. Sedangkan ibuku, harus mengajar di sekolah PAUD tak jauh dari rumahku. Ibuku juga membuka jasa katering untuk menambah pemasukan karna ibu menggantikan posisi ayahku menjadi tulang punggung kelurga setelah kepergiannya ke pangkuan sang khalik ketika adiku baru berusia 5 bulan. Selain itu, ibu juga membuka bimbingan belajar di rumah untuk membantu anak-anak disekitar rumah yang memiliki kesulitan belajar mandiri tanpa dipungut biaya.
Dari kecil aku sudah diajarkan mandiri oleh ayah dan ibu. Bahkan ketika aku masih sekolah PAUD, aku harus membantu menjual ikan hasil tangkapan ayahku yang berprofesi sebagai seorang nelayan. Semangat itu terus berkobar, terutama setelah ayah pergi. Aku membantu ibuku mengemas makanan ringan di industri rumahan dekat rumah sedari aku duduk di ekolah dasar. Kepergian ayah sangat terasa, terutama bagi ibu. Ia harus menggantikan figur ayah. Mencari nafkah, membesarkan aku dan adiku seorang diri, dan sibuk mengurus ini itu yang sewajarnya dilakukan oleh seorang ayah.
"Assalaamualaikum bu" Aku mengucapakan salam ketika baru tiba di rumah.
"Assaalamualaikum bu." Masih belum ada yang menjawab.