"Assalaamualaikum bu"
"Waalaikumsalam nak. Kok rame? Nadine ikut demo?" Tanya ibu di sebrang.
"I..i..iya bu" Jawabku lirih sedikit ketakutan. Khawatir ibu memarahiku karna aku ikut demo tanpa seizin baliau. Karna kalau aku izin, sudah dapat dipastikan ibuku nggak bakal memberi izin.
"Astaghfirullah Nadine. Demo itu bahaya, apalagi kamu perempuan. Coba bayangin kalau nanti ada rusuh, apa bisa kamu melindungi diri? Belum lagi nanti kalau ada salah paham bisa berurusan dengan polisi. Ingat nak, ayah sudah tiada. Ibu membesarkan adik dan kamu seorang diri. Kalau nanti terjadi yang enggak-enggak sama kamu, ibu sendiri yang bakal berjuang, tanpa ayah, tanpa kamu, tanpa adik yang masih belia." Ujar ibu yang mulai khawatir dengan keadaanku, karena beberapa kanal televisi tengah memberitakan beberapa aksi di daerah lain yang di mulai dari pagi tadi berakhir rusuh. Â
"Sebelumnya Nadine minta maaf tidak izin ke ibu terlebih dahulu. Ibu tenang saja, Nadine pasti baik-baik saja. Disini Nadine tidak sendiri bu, banyak teman-teman yang bisa membantu dan menjaga. Ibu tidak usah khawatir, semuanya baik-baik saja." Ujarku mencoba untuk meyakinkan ibu.
"Tapi nak, demo adalah kegiatan yang lumrah dilakukan laki-laki. Kenapa kamu ikut? Lagi pula kamu tau apa yang di demokan? Tau masalahnya apa? Kamu aja kuliahnya ambil pendidikan, ini malah ngomongin politik."
Ibu mencoba untuk berargumen sebaik mungkin agar aku mengamini apa yang di inginkan. Sayangnya aku tidak termakan omongan ibu, bukan bermaksud membantah, tapi aku sudah biasa melakukan aksi ini. Sudah terbiasa mengahdapi situasi mencekam ketika demo harus berakhir ricuh. Perih dan sulitnya bernapas ketuika berondongan gas air mata di tujukan kepada pendemo sudah sering aku alami. Bahkan yang lebih parah, aku hampir saja pingsan ketika tubuhku yang lemah menahan kepulan asap tertabrak pendemo lain yang mencoba untuk menyelamatkan diri ketika ricuh berlangsung. Â Tapi semua itu tak lantas membuatku berhenti bergerak, justru karena itulah aku semakin lantang bersuara. Meminggirkan identitasku sebentar yang biasa dianggap lemah.
"Nadine!! Ayo ambil tempat!!! Panggil kak Juliah dari jauh. Menginstruksikan agar segera merapat dengan yang lain dan memulai aksi.
"Baik kak." Jawabku berteriak
"Siapa saja punya hak untuk berbicara politik bu, tidak melulu yang bertitel atau berkecipung di dunia politik. Jadi, ibu jangan menafikkan orientasi pendidikan sebagai determinasi. Tapi, mohon maaf bu, Nadine harus segera berkumpul dengan teman-teman dan mau memulai aksi. Ibu nggak perlu khawatir ya, Nadine baik-baik saja kok. Minta doanya ya bu semoga semuanya dilancarkan, dan aksi kami mendapatkan hasil yang baik. Assalaamualikum"
Tuttttt tuttttttt tuttttttt