"Putri ayah yang satu ini pintar, tapi keras kepala," kata ayah saat kami sedang berkumpul dan mengadakan evaluasi sederhana. Hal yang biasa dilakukan saat hari libur sambil berkumpul santai.
Ayah dan Mama selalu memberikan nasihat dengan cara yang berbeda. Mereka lebih memilih menjadi pengawas dan pengendali daripada sebagai pemberi perintah yang bersifat otoriter.
Memilih membiarkan kami melakukan atau mencoba sesuatu yang kami mau, lalu memberikan pembelajaran melalui diskusi dan sisipan hikmah sama-sama. Mungkin karena keduanya sama-sama seorang guru.
Orangtua kami, sangat jarang memarahi. Bahkan seingat saya, ayah nyaris tidak pernah memarahi. Kalau mama, pernah marah besar karena saya menggigit pipi adik yang masih kecil karena nangis tidak bisa dibujuk. He he he.
Masih ingat saat dulu usia SMP. Kala itu saya sedang menghadapi ujian nasional dimana kelulusan dan nilai saat itu sangat menentukan nasib para siswa setelah SMP mau kemana. NEM (Nilai Ebtanas Murni) saat itu benar-benar sebagai penentu nasib kami.
Tahun 2002, musim piala dunia, larut malam bukannya belajar, saya malah duduk di sebelah ayah, menonton pertandingan sepak bola. Usia SMP sudah punya idola.
Si Ganteng Michael Own dari Inggris dan Miroslav Klose si ganteng yang jago salto dari Jerman, keduanya merupakan pemain yang paling ditunggu permainannnya. Sampai poster mereka terpampang di kamar saya kala itu.
"Bagaimana untuk besok? Sudah siap menghadapi ujian?" tanya ayah.
Saya mengangguk dengan ragu. Sedikit takut dan sempat tidak percaya diri. Mendengar jawaban dan melihat anak perempuannya masih asik lanjut nonto bola ayah hanya tersenyum, "yang penting besok bisa. Setelah selesai bola, tidur cepat ya!" ujar ayah.
Saya mengangguk senang, karena ayah tidak memintaku tidur segera saat itu juga. Akhirnya saya melanjutkan nonton bersama beberapa orang tetangga yang ikut nonton bareng di rumah; kebanyakan dari mereka adalah bapak-bapak.
Sejak dulu, orangtua saya tidak pernah memaksakan anaknya harus A, B, C dan lainnya. Kami diajarkan untuk mandiri dan menjadi diri kami sendiri. Kata ayah, "kalau memang sanggup, lakukan! Kamu yang lebih tahu kondisi diri, kapan harus berhenti atau terus maju sampai dapat."