Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saksi

19 Desember 2023   16:12 Diperbarui: 19 Desember 2023   16:13 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku sudah tahu siapa yang sebenarnya mencelakaimu," ucap Nala dengan napas terengah-engah. 

Langkahnya begitu terburu ketika mendatangiku. Baju gamisnya yang terlalu panjang disingkapnya demi untuk mempercepat langkah sampai betisnya yang membulat terlihat jelas.

Aku yang sejak tadi asik duduk santai di teras rumah memintanya tenang dan duduk di kursi butut peninggalan bapak.

"Duduk saja dulu! Datang-datang kok langsung heboh." ucapku.

Nala menurut seraya menyeka bulir peluh di keningnya dengan kain kerudung.

"Ini derius, Ann!" katanya dengan sorot mata tajam ke arahku. 

Aku hanya tersenyum sinis malas menanggapi. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dibahasnya.

Sejak kapan seluruh hal dalam hidupku menjadi hal yang tidak serius bagimu, Nala? gerutuku dalam hati.

Nala memang selalu peduli tentang ABCD sampai Z perihal kehidupanku. Walau kadang aku pun merasa jengah jika sudah ada yang mencampuri urusan pribadiku terlalu dalam.

Namun sejak kakiku patah dan tidak bisa berjalan seperti sekarang, memang hanya Nala lah yang selalu setia menjenguk dan menghiburku. Menemani ngobrol dan membantu beberapa keperluan yang aku butuhkan. Boleh dibilang, memang Nala yang paling setia saat aku ada di titik terendah seperti saat ini.

"Kakimu bagaimana? Sudah membaik? Masih sakit gak? Kapan terapi lagi?" Nala membombardirku dengan pertanyaan.

"Satu-satu dong, Nala...! Apa tadi, bawa kabar apa?" tanyaku santai. Aku yang sejak tadi santai, sedikit terpancing dengan kabar itu. 

Sebenarnya sudah jauh-jauh hari, saya tidak ingin lagi mendengar bahasan ini. Berkali-kali aku mencoba pasrah dan berserah. Meyakini bahwa ini murni musibah kecelakaan.

Ya, meskipun hati kecilku sendiri merasakan banyak keganjilan. Kecelakaan yang aku alami memang tidak wajar jika ditimbang oleh logika. Selalu aku pastikan bahwa kendaraanku baik-baik saja. Service rutin, kendaraanku pun masih terbilang baru, kondisinya masih sangat fit. Namun tiba-tiba remnya blong, aku dan mobilku ditnemukan warga di tepi jurang. Nahas. Beruntung Tuhan masih menyelamatkan nyawaku.

"Kabar apa yang kau bawa, Nala?" aku mengulang pertanyaan dengan malas.

Nala terperangah, "aku senang, akhirnya kau ingin mengetahuinya juga, kan? Kau harus mendengarnya, Anna," ucap perempuan berbadan gemuk itu. Sesaat kemudian tangannya menyambar gelas air dan menyedotnya dalam-dalam.

"Sebentar, aku haus," katanya diiringi seringai. Barisan giginya yang gingsul menjadikan Nala lebih manis ketika ia tersenyum atau tertawa.

Aku hanya bisa menunggu Nala melanjutkan bicara.

"Tadi pagi aku mendapatkan telepon dari bapak yang masih di tempat kerja. Secara tidak sengaja dia mendengar percakapan. Seseorang telah berbuat curang dan memang berencana mencelakaimu, Anna!" Nala berapi-api.

"Lalu?"

 "Jadi, bapakku tidak sengaja menuping pembicaraan seseorang yang menyebut-nyebut nama kamu, Ann. Bak detektif tua, bapakku itu melakukan penyelidikan sampai akhirnya mendapatkan banyak informasi. Aku rasa, ini saatnya kamu lapor polisi, Ann," ucap Nala bersemangat.

Selanjutnya Nala menyebutkan nama seseorang. Nama yang sangat aku kenal. Nama yang dibawakan ayah Nala itulah yang diduga sebagai dalang yang membuatku harus menanggung derita kelumpuhan.

Ayah Nala adalah sahabat bapakku. Sama-sama bekerja di pabrik yang sama. Sejak kecil, aku dan Nala memang sering sekali main bareng, menginap, nyaris seperti saudara betulan. Padahal tidak ada darah yang sama yang mengalir di tubuh kami.

Kepedulian ayah Nala bertambah besar ketika bapak lebih dulu dipanggil Tuhan karena sakit komplikasi.

Kami sama-sama lahir dari keluarga biasa saja. Namun nasib kami sedikit berbeda. Lulus sekolah Nala langsung menikah dengan pria yang mendekatinya sejak SMP. Sedangkan aku melanjutkan kuliah dan mengikuti banyak pelatihan soft skill. 

Aku bersumpah, bahwa akulah yang harus mengangkat martabat keluarga. Melihat bapak dan ibu menjadi buruh rasanya hati ini begitu nyeri. Aku ingin membuat kedua orangtuaku bisa merasakan masa tuanya dengan menyenangkan. 

Aku bekerja keras hingga punya posisi baik di tempat kerja. Sedangkan Nala memilih mengurus rumah tangga. Terakhir kudengar, suami terjerat utang pinjol, rumah, motor sudah ludes dipakai untuk menutupi utang.

Kini, mereka menggantungkan hidup sekaligus ikut tinggal di rumah ayahnya.

Aku bersyukur bisa membangun rumah, membeli kendaraan, dan membuat bapak menikmati istirahat dengan tenang. Sayang sekali, bapak meninggal sebelum semuanya bisa aku tunaikan. Aktivitas bapak  bekerja selama ini, rupanya telah menyimpan penyakit yang menjadi bom waktu. Bapak terkena batu ginjal dan meninggal beberapa hari setelah operasi karena ada penyakit lain yang membuat kondisi bapak semakin memburuk.

"Apa yang bisa kulakukan?" tanyaku seraya menelan ludah. Tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

Aku hanya tersenyum getir, mendengar nama itu disebutkan. Sungguh tidak menyangka kalau dia tega melakukannya.

"Kenapa reaksimu biasa saja?" tanya Nala.

"Aku sudah menduganya sejak awal, kalau kecelakaan yang aku alami adalah rencana seseorang. Namun aku tidak habis pikir, kenapa harus dia?"

Aku tetap belum bisa memercayai semuanya. Pikiran dan hatiku berusaha menepisnya. Namun rangkaian cerita yang disampaikan Nala memang begitu sempurna. Membuatku harus percaya bahwa itu nyata.

Rasa kecewa bercampur aduk dalam dada. Memancing seluruh nyeri di sekujur tubuhku datang kembali.

"Nala, aku tidak mau membahas ini lagi. Aku lelah, ingin istirahat," ucapku pada Nala. 

Menahan rasa kecewa ternyata memerlukan energi yang luar biasa besar. Badanku terasa lemah lunglai.

"Baik, aku akan mengantarmu ke dalam untuk istirahat," ucap Nala.

Dengan dipapah Nala, aku berhasil berbaring di kamarku. Mataku terpejam tetapi pikiranku kacau. Aku meminta agar Nala membiarkanku sendirian.

"Ya sudah, istirahat saja, yang tadi tidak perlu dipikirkan. Aku pergi dulu."

Nala meninggalkanku sendirian dengan kekacauan di kepala yang semakin bertambah besar.

**

Malam kian meninggi ketika Ardi mengirim pesan.

"Bagaimana kabarmu, Ann?"

Pesan singkat yang biasanya kubalas dengan antusias, kini kubiarkan. Rasa kecewa yang menetap di dada telah menutup keinginan untuk kembali berkomunikasi dengannya.

Ardi adalah teman sepekerjaan. Masuk setahun kemudian setelah aku lebih dulu bekerja. Sama-sama bekerja di divisi yang sama membuat kami semakin kompak. Ardi yang secara struktural ada di bawahku, sangat bisa diandalkan. Banyak proyek yang berhasil karena kerja sama kami yang selalu memberikan hasil pencapaian terbaik.

"Kita harus menyelesaikan ini pada waktu yang tepat!" ucap Ardi. Kalimat itu yang selalu terucap setiap kami harus menyelesaikan pekerjaan terberat sekalipun. Bersamanya pekerjaan rumit selalu terasa jauh lebih mudah.

"Apa benar Ardi ingin menjatuhkanku seperti yang dikatakan Nala? Haus jabatan dan posisi manajer?"

Pertanyaan itu terus berkecamuk di dalam kepalaku. Sebaik itu Ardi. Setia itu, masa iya?

"Ann, kamu baik-baik saja kan? Kenapa tidak membalas pesanku?"

Lagi-lagi pesan Ardi mendarat di ponselku.

Rasa nyeri di dada terasa kembali ketika aku membayangkan bahwa Ardi lah yang mencoba menghilangkan nyawaku dengan cara merusak mobil.

Air mataku meluncur begitu deras ketika mengingat semuanya. Perjuangan dan kerja keras yang selama ini dibangun sama-sama, saling bahu membahu, harus diakhiri dengan sesuatu yang menyakitkan.

**

 Jam menunjukkan pukul delapan pagi saat seseorang mengetuk pintu. Sejenak kemudian terdegar suara langkah bi Minah dari arah dapur menuju ruang tamu.  Aku yang baru selesai menunaikan dua rakaat duha bergegas sebisa mungkin untuk mengetahui siapa yang datang.

Dua orang berseragam polisi berdiri tepat di depan pintu. 

"Selamat pagi, Ibu Anna!" sapa salah satu pria berseragam itu.

Belum sempat aku menjawab, "Ibu Anna mohon maaf kami mengganggu waktunya. Kami mohon Ibu bisa ikut kami ke kantor sekarang untuk memberikan kesaksian," ujar pria berseragam itu kemudian.

Dengan ditemani bi Minah, aku mendatangi kantor polisi untuk menjadi saksi kasus kecelakanku sendiri.

**

Dengan tertunduk Lesu, Nala duduk di kursi introgasi. Di sebelahnya seorang pria yang sangat aku kenal berkali-kali mengusap wajahnya dan memejamkan mata.

"Ann, aku...," kalimat Ardi terputus.

"Aku bisa jelaskan, Ann!" lirih Nala. Perempuan itu memeluk tubuhku dengan erat. Aku bergeming. Rasanya kaki ini tidak lagi menapak di bumi. Tubuhku lemas menahan amarah dan entah perasaan apa yang ada di hatiku. 

Bi Minah memapah tubuhku, seorang polisi wanita mempersilakanku duduk di sebuah kursi diikuti bi Minah.

"Neng sabar ya. Semoga Allah memberikan balasan setimpal untuk mereka," ujar bi Minah seraya memelukku erat. 

Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Ardi dan Nala bersekongkol untuk mencelakaiku. Hanya karena Ardi iri dengan posisikuu dan Nala tidak suka dengan keberhasilanku, sudah menjadikan mereka galap mata. Ayah Nala sendiri yang menjadi saksi seperti di cerita Nala yang begitu sempurna buron. Ternyata justru dialah yang tega membuat mobilku bermasalah.

Rasa sakit karena kehilangan pekerjaan bagiku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakitku karena pengkhinatan dua orang yang selama ini aku berikan kepercayaan penuh.

Tidak semua yang kita anggap baik itu benar-benar tulus. Ketika mereka ada kepentingan pribadi yang menurut mereka harus diperjuangkan kadang mereka bisa menghalalkan segala cara. Tidak terkecuali menkhianati teman sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun