"Halo, Mbak di mana?"
Suara Nunik di ujung telefon. Suaranya setengah berbisik.Â
"Aku di sini," ujarku.Â
"Di mana?" Nunik  mendesak."Aku sudah ada di belakang kampus, tapi aku tak tahu ke mana arah menuju tempat kalian," ujar Nunik. Suaranya bergetar. Ada rasa takut yang tergambar di sana.Â
"Baiklah, aku akan menjemputmu ke sana," jawabku.Â
Kakiku bergegas secepat mungkin untuk menjemput Nunik. Melewati lorong-lorong yang gelap dan sepi. Dengan tembok yang lembab dan berlumut. Lorong itu kurang pencahayaan, pihak kampus mungkin sedang melakukan penghematan. Mungkin juga karena memang tidak ada kegiatan perkuliahan, penerangan hanya dinyalakan di beberapa tempat penting saja.Â
Kelelawar berseliweran. Bubar jalan, dari sebuah perkumpulan, di dahan-dahan pohon beringin yang terlalu rindang lama tidak dipangkas. Seolah merdeka petang hari sudah datang. Kepak sayapnya mengeluarkan suara desis angin, berembus tipis.
Malam memang belum turun. Namun suasana sudah semencekam itu. Wabah corona membuat kampus ditinggalkan terlalu lama oleh penghuninya. Sepi, tidak terawat. Entah di mana para petugas kebersihan. Rumput-rumput dibiarkan tinggi, lantai-lantai berdebu dan penuh lumut di area lembab. Kaca-kaca kelas ruang kuliah sama kotornya. Jaring laba-laba mengganggu pemandangan. Â Â
Ponselku kembali berdering. Lagi-lagi Nunik memanggil.Â
"Kamu kenapa? tunggu saja dulu di sana! Aku sedang berjalan ke arahmu," pintaku seraya mempercepat langkah.Â
"Baik, Mbak," jawabnya.
Namun kemudian, suara Nunik menghilang. Tanpa menutup sambungan telefonnya. Kupikir dia lupa mematikan. Lalu aku bicara sendiri minta izin mematikan sambungan telefon kepada Nunik.
Kakiku makin bergegas. Gerimis tipis mulai turun. Nunik tidak ada di tempat mana pun. Kutelusuri jalan dan lorong, bahkan sampai ke tempat kami berkumpul semula.Â
Dua orang anak remaja yang kukenal sebagai relawan pada kegiatan yang sedang kami lakukan menunggu di kursi, duduk.
"Apakah kalian melihat Nunik?" tanyaku.
Keduanya menggeleng, "kami tidak melihatnya lagi. Beberapa menit lalu bukankah ia menyusul Mbak ke tempat wudhu?" Jawab mereka.
Aku hanya bergumam, "Oh," lalu kembali memutar arah langkah menuju mushola tempat kami hendak melakukan salat Magrib.Â
Derai air menebal. Hujan yang semula hanya gerimis menjadi deras. Aku setengah berlari, bajuku basah kuyup.Â
Sepanjang jalan menuju mushola tak kutemukan Nunik di sana. Aku pikir dia sudah menemukan jalan menuju mushola.Â
Setibanya di sana teman-temanku sudah memulai salatnya. Namun tetap tidak ketemu kan Nunik di sana.Â
Kakiku melangkah ke tempat mengambil air wudhu. Mengikuti petunjuk arah yang terpampang di dinding.Â
Sebuah tempat wudhu sepi dan gelap. Lampunya tidak menyala sudah rusak rupanya. Lantai dari ubin berwarna kuning, hampir busuk dan lapuk. Digerogoti lumut dan lendir karena lama tidak dibersihkan. Kakiku seolah enggan menginjak. Tanpa sandal tanpa alas kaki. Namun apa boleh buat tidak ada pilihan aku harus tetap mengambil air wudhu.Â
Air terasa begitu dingin merasuk ke pori-pori. Aku berwudhu dengan kepala yang terus sibuk memikirkan kemana Nunik.Â
Tiga rakaat kuperbuat. Nunik masih belum hilang dalam ingatan. Rasanya ingin sekali salatku berakhir untuk segera bertanya tentang keberadaan Nunik kepada teman-temanku yang ada di sana.Â
Mbak Nida dan Mbak Isah sudah selesai melakukan salat. Mereka melipat mukena dan memperbaiki kerudung di depan kaca. Kaca berdebu dengan bingkai penuh jaring laba-laba. Seekor cicak melintas mengagetkan mereka.Â
"Mbak kalian melihat Nunik?" tanyaku.
Keduanya menggeleng. "Bukankah kamu tadi yang minta izin kepada kami untuk menjemputnya?" jawab Mbak Nida.Â
"Ya tapi dia tidak kutemukan," keluhku. Pikiranku terus melayang, memikirkan teman baikku. Di manakah kamu Nunik?
"Mungkin dia kembali ke posko karena tidak bisa menemukan jalan," timpal Mbak Isah.Â
"Oh bahkan aku sudah pulang ke sana dan menanyakan keberadaannya kepada anak-anak yang hari ini tidak ikut salat. Nunik tidak ke sana."
"Terus ke mana dia?" Â tanya Mbak Nida mulai ikut mencemaskan keberadaan Nunik.Â
Aku menggeleng, "tidak tahu," jawabku.
Dengan bergegas aku segera membetulkan kerudungku di depan kaca. Lagi-lagi pikiran tentang Nunik tidak pernah enyah.Â
"Mbak bantu aku untuk mencarinya," pintaku pada Mbak Isah dan Mbak Nida.Â
"Tidak usah khawatir. Nunik kan udah dewasa nanti juga ketemu," jawab Mbak Isah.Â
Hatiku tidak tenang sebelum menemukan Nunik. Ada sesuatu yang aneh dalam pikiranku. Terakhir Nunik menelefon bahwa dia sudah berada di belakang kampus tempat dimana lorong gelap menuju mushola dimulai.Â
Kami bertiga menyusuri lorong kembali untuk menuju posko pengemasan barang bantuan untuk orang-orang yang terdampak covid. Kami tergabung pada gabungan relawan provinsi. Kawan yang lain sudah pulang sejak sebelum Magrib. Kami memilih melaksanakan salat terlebih dahulu, karena perjalanan jauh menuju pulang.Â
Pencarian keberadaan Nunik terus kami lakukan. Berkali-kali aku mencoba menelefonnya, telefon tersambung namun tidak ada jawaban.Â
Ketika kami melangkahkan kaki, kami dikagetkan dengan suara dering ponsel sayup-sayup dengan suara hujan. Ponsel Nunik tergeletak di sudut lorong yang  gelap, menimbulkan cahaya yang mencolok.Â
Pikiran kami mulai kacau. Apa yang sebenarnya telah terjadi menimpa Nunik.
Hujan semakin deras, membuat suasana semanik mencekam.
"Nik..., Nunik...!" panggil Mbak Nida memecah kebisuan kami.Â
"Kamu di mana?" Mbak Nida mengulang teriakannya. Sesuatu bergerak di belakang kami. Langkah kami terhenti. Kaki seakan begitu berat melangkah. Ada beban berat menghambat langkah kaki kami.Â
Sebuah benda dingin dan lembab, kurasakan memegangi pergelangan kakiku. Aku ingin berteriak, tetapi mulutku mendadak gagap. Aku melihat ekspresi yang sama di wajah kedua temanku. Samar-samar  terlihat di bawah cahaya lampu yang temaram. Mbak Isah dan Mbak Nida pun tampak meingis dan ingin melepaskan beban masing-masing. Mbak Isah membacakan ayat-ayat sebisanya. Aku dan Mbak Nida melakukan hal yang sama.Â
Langkahku perlahan menjadi lebih ringan. Bacaan ayat-ayat yang diibacakan membuat benda lembab di kakiku perlahan melepaskan cengkramannya.Â
"Mbak..." gumamku pada Mbak Nida, yang berdiri lebih dekat denganku.Â
"Nina....! di be la kang mu...." Mbak Isah menunjuk sesuatu di belakangku.Â
Aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Sesosok mahluk tinggi besar menyerupai kucing berwarna cokelat kehitaman berdiri tegak di belakangku. Taringnya begitu tajam. Sorot matanya mengancam.Â
Aku berlari seketika mengikuti langkah Mbak Nida dan Mbak Isah. Kugerakan kaki secepat mungkin. Sesekali menoleh ke belakang. Mahluk itu tidak lagi mengikuti.Â
Lorong-lorong antara mushola dan pintu masuk kampus dari belakang seolah terlalu panjang untuk kami lalui. Pintu hijau yang membatasi lorong dengan kampus sudah terlihat, ada sedikit perasaan lega, bahwa kami akan segera bertemu teman-teman lain yang masih ada di posko pengemasan barang bantuan.Â
Namun tiba-tiba, Bug! tubuhku menabrak sesuatu. Hangat, seperti manusia. Aku terjatuh, terpental agak jauh. begitu kuat hantaman tubuhku pada sosok itu. Aku sangat berharap  Mbak Nida dan Mbak Isah segera menolongku. Namun ketika aku menoleh ke belakang, keduanya malah menahan langkah. Menjauh dariku. Mata mereka tertuju pada mahluk yang kutabrak tadi.
"Nina, awas!" teriak mereka histeris.
Aku mencoba memberanikan diri, menatap sosok mahluk itu. Nunik berdiri tegak di hadapanku. Tubuhnya lebih tinggi dari biasanya. Kain kerudungnya berkelebat terkena angin kencang. Sorot matanya tajam, memandangiku tanpa melepaskanku penuh ancaman.
Aku mencoba mengenalinya kembali, betulkan sosok itu adalah Nunik. Kuamati lamat-lamat, kaki Nunik melayang sekitar satu meter dari pijakan.
Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
"Nunik, kamu kenapa?" tanyaku terbata-bata.
 Gadis itu mendaratkan kakinya, tepat di hadapanku. Tatapannya masih tajam, wajahnya sucat pasi. Kerudungnya tampak lembab. Tercium bau amis menusuk hidungku.Â
"Mbak Nina...," panggil nya. Suaranya yang berbeda begitu berat.Â
"Kamu di sini lagi apa?" tanya aku memberanikan diri.
"Aku sedang menunggui kalian," Nunik berbisik tapi penuh geram.Â
"Kamu tadi ke mana? aku puas mencarimu."
"Kamu bohong, Â Mbak! Kamu sama sekali tidak mencariku!" Suara Nunik makin geram penuh dengan kebencian.
"Maksudmu?"
"Selama aku menunggumu datang menjemput, ada seseorang mengajakku pergi," ujar Nunik. Ia berbicara tanpa gerakan sedikitpun. Hanya matanya yang selalu tertuju padaku. Membuatku semakin gentar.
"Dia membawamu ke mana?" tanyaku mencoba lebih tenang.Â
Ada cerita kesurupan di tahun lalu. Seseorang yang sedang kerasukan, harus dihadapi dengan tenang. Aku terus menguatkan diri.
Nunik bergeming tak bergerak. Mulutnya bungkam. Tubuhnya bergetar. Namun kemudian, Nunik tak lagi tenang.Â
"Kamu kenapa? tanya Mbak Nida yang sejak tadi berdiri menjauh, kini memberanikan diri mendekati kami. Nunik semakin kaku diam membisu. Mimik mukanya berubah sorot matanya pun begitu. Tajam dan menakutkan. Perlahan mukanya berubah menyerupai mahluk lain. Telinganya memanjang, kerudungnya dibuat sobek dengan keluarnya telinga panjang itu. Gigi Nunik memanjang menjelma taring. Mulutnya mengeluarkan air, bau amis. Matanya membesar, bulat merah darah.Â
Aku sudah lemah,tidak bisa bicara. Mbak Nida membacakan ayat kursi, dengan suara kencang penuh getaran. Nunik jadi-jadian mendekat bersiap menyerang. Kami berusaha lari dengan sisa tenaga yang ada. Hujan semakin deras suaranya berisik bulir-bulir air mengenai asbes atap lorong. Kami berteriak sekencangnya meminta pertolongan. Â
Kakiki terasa semakin lemas. Sosok Nunik bertelinga panjang mengejar dengan langkah yang berat tetapi mengancam. Sosoknya semakin jangkung, setinggi lorong.Â
"Ayo kita percepat langkah, kuatkan bacaan!" Mbak Isah mengingatkanku.
Aku pun membaca doa-doa sebisanya. Mencoba untuk terus tenang menghalau ketakutan. Ayahku bilang, jin dan setan itu akan semakin percaya dirimengganggu manusia jika manusia itu merasa takut. Namun sebaliknya, jika kita berani, maka mereka akan kalah dengan sendirinya.Â
Bacaan ayat-ayat yang kuhafal semakin lancar. Mulutku terasa lebih ringan. Langkah kaki melonggar. Sampailah di gerbang hijau pembatas antara lorong dan area kampus utama. Suasana lebih terang daripada suasana lorong.Â
Hujan yang deras ku tembus tanpa ragu. Mbak Nida dan Mbak Isah pun melakukan hal yang sama. Yang kami tahu, hanya ingin segera sampai di aula yang dijadikan posko dan kembali bergabung dengan kawan-kawan yang lain.Â
Lima langkah lagi sampai di aula. Nunik keluar dengan mimik penuh kekhawatiran, diikuti oleh beberapa rekan yang lain. Sayup-sayup pertanyaan memenuhi telinga kami. Mbak Nida dan Mbak Isah terkulai, pingsan. Aku lemas tidak berdaya. Tubuhku ambruk di depan pintu. Nunik menarik lenganku menahan tubuh agar aku tidak ambruk.Â
Aku menghindar sebisanya. Nunik bingung, "kamu kenapa, Mbak? mari kutolong," ujarnya. Malam yang gelap semakin gelap. Suara hujan deras tidak kudengar lagi. Aku tuli dan aku tidak ingat apa-apa lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H