Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hantu Penghuni Kampus

18 Mei 2020   11:01 Diperbarui: 18 Mei 2020   11:39 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ante Hamersmit/Unsplash

Nunik bergeming tak bergerak. Mulutnya bungkam. Tubuhnya bergetar. Namun kemudian, Nunik tak lagi tenang. 

"Kamu kenapa? tanya Mbak Nida yang sejak tadi berdiri menjauh, kini memberanikan diri mendekati kami. Nunik semakin kaku diam membisu. Mimik mukanya berubah sorot matanya pun begitu. Tajam dan menakutkan. Perlahan mukanya berubah menyerupai mahluk lain. Telinganya memanjang, kerudungnya dibuat sobek dengan keluarnya telinga panjang itu. Gigi Nunik memanjang menjelma taring. Mulutnya mengeluarkan air, bau amis. Matanya membesar, bulat merah darah. 

Aku sudah lemah,tidak bisa bicara. Mbak Nida membacakan ayat kursi, dengan suara kencang penuh getaran. Nunik jadi-jadian mendekat bersiap menyerang. Kami berusaha lari dengan sisa tenaga yang ada. Hujan semakin deras suaranya berisik bulir-bulir air mengenai asbes atap lorong. Kami berteriak sekencangnya meminta pertolongan.  

Kakiki terasa semakin lemas. Sosok Nunik bertelinga panjang mengejar dengan langkah yang berat tetapi mengancam. Sosoknya semakin jangkung, setinggi lorong. 

"Ayo kita percepat langkah, kuatkan bacaan!" Mbak Isah mengingatkanku.

Aku pun membaca doa-doa sebisanya. Mencoba untuk terus tenang menghalau ketakutan. Ayahku bilang, jin dan setan itu akan semakin percaya dirimengganggu manusia jika manusia itu merasa takut. Namun sebaliknya, jika kita berani, maka mereka akan kalah dengan sendirinya. 

Bacaan ayat-ayat yang kuhafal semakin lancar. Mulutku terasa lebih ringan. Langkah kaki melonggar. Sampailah di gerbang hijau pembatas antara lorong dan area kampus utama. Suasana lebih terang daripada suasana lorong. 

Hujan yang deras ku tembus tanpa ragu. Mbak Nida dan Mbak Isah pun melakukan hal yang sama. Yang kami tahu, hanya ingin segera sampai di aula yang dijadikan posko dan kembali bergabung dengan kawan-kawan yang lain. 

Lima langkah lagi sampai di aula. Nunik keluar dengan mimik penuh kekhawatiran, diikuti oleh beberapa rekan yang lain. Sayup-sayup pertanyaan memenuhi telinga kami. Mbak Nida dan Mbak Isah terkulai, pingsan. Aku lemas tidak berdaya. Tubuhku ambruk di depan pintu. Nunik menarik lenganku menahan tubuh agar aku tidak ambruk. 

Aku menghindar sebisanya. Nunik bingung, "kamu kenapa, Mbak? mari kutolong," ujarnya. Malam yang gelap semakin gelap. Suara hujan deras tidak kudengar lagi. Aku tuli dan aku tidak ingat apa-apa lagi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun