Namun kemudian, suara Nunik menghilang. Tanpa menutup sambungan telefonnya. Kupikir dia lupa mematikan. Lalu aku bicara sendiri minta izin mematikan sambungan telefon kepada Nunik.
Kakiku makin bergegas. Gerimis tipis mulai turun. Nunik tidak ada di tempat mana pun. Kutelusuri jalan dan lorong, bahkan sampai ke tempat kami berkumpul semula.Â
Dua orang anak remaja yang kukenal sebagai relawan pada kegiatan yang sedang kami lakukan menunggu di kursi, duduk.
"Apakah kalian melihat Nunik?" tanyaku.
Keduanya menggeleng, "kami tidak melihatnya lagi. Beberapa menit lalu bukankah ia menyusul Mbak ke tempat wudhu?" Jawab mereka.
Aku hanya bergumam, "Oh," lalu kembali memutar arah langkah menuju mushola tempat kami hendak melakukan salat Magrib.Â
Derai air menebal. Hujan yang semula hanya gerimis menjadi deras. Aku setengah berlari, bajuku basah kuyup.Â
Sepanjang jalan menuju mushola tak kutemukan Nunik di sana. Aku pikir dia sudah menemukan jalan menuju mushola.Â
Setibanya di sana teman-temanku sudah memulai salatnya. Namun tetap tidak ketemu kan Nunik di sana.Â
Kakiku melangkah ke tempat mengambil air wudhu. Mengikuti petunjuk arah yang terpampang di dinding.Â
Sebuah tempat wudhu sepi dan gelap. Lampunya tidak menyala sudah rusak rupanya. Lantai dari ubin berwarna kuning, hampir busuk dan lapuk. Digerogoti lumut dan lendir karena lama tidak dibersihkan. Kakiku seolah enggan menginjak. Tanpa sandal tanpa alas kaki. Namun apa boleh buat tidak ada pilihan aku harus tetap mengambil air wudhu.Â