Air terasa begitu dingin merasuk ke pori-pori. Aku berwudhu dengan kepala yang terus sibuk memikirkan kemana Nunik.Â
Tiga rakaat kuperbuat. Nunik masih belum hilang dalam ingatan. Rasanya ingin sekali salatku berakhir untuk segera bertanya tentang keberadaan Nunik kepada teman-temanku yang ada di sana.Â
Mbak Nida dan Mbak Isah sudah selesai melakukan salat. Mereka melipat mukena dan memperbaiki kerudung di depan kaca. Kaca berdebu dengan bingkai penuh jaring laba-laba. Seekor cicak melintas mengagetkan mereka.Â
"Mbak kalian melihat Nunik?" tanyaku.
Keduanya menggeleng. "Bukankah kamu tadi yang minta izin kepada kami untuk menjemputnya?" jawab Mbak Nida.Â
"Ya tapi dia tidak kutemukan," keluhku. Pikiranku terus melayang, memikirkan teman baikku. Di manakah kamu Nunik?
"Mungkin dia kembali ke posko karena tidak bisa menemukan jalan," timpal Mbak Isah.Â
"Oh bahkan aku sudah pulang ke sana dan menanyakan keberadaannya kepada anak-anak yang hari ini tidak ikut salat. Nunik tidak ke sana."
"Terus ke mana dia?" Â tanya Mbak Nida mulai ikut mencemaskan keberadaan Nunik.Â
Aku menggeleng, "tidak tahu," jawabku.
Dengan bergegas aku segera membetulkan kerudungku di depan kaca. Lagi-lagi pikiran tentang Nunik tidak pernah enyah.Â