Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

I Love You Pak Guru

3 Mei 2020   16:40 Diperbarui: 3 Mei 2020   16:33 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tra Nguyen/Unsplash

Siang terasa terlalu terik. Ada haus tak tertahankan. Pejalaran terakhir hari Sabtu, di  kelas jurusan IPS memang selalu menjenuhkan. Bagaimana tidak? Siang bolong begitu harus belajar ilmu akuntansi. Membuat laporan keuangan yang sebenarnya uannya tidak ada, tidak wujud dan terlalu mengada-ada.

Belum lagi guru pengajarnya, beliau terlalu pintar, bahasa penyampaian materinya tak bisa sampai di otakku yang selalu menolak pelajaran hitung-hitungan. Hari ini harus membahas bab utang piutang, yang dimasukkan ke akun, dengan nomor faktur palsu yang harus dicatat di kolom debet atau kredit, dan... ah...

Sebenarnya dari kecil aku lebih suka pelajaran bahasa, biologi, pelajaran seni rupa, bernyayi, menggambar, dan berpetualang bersama teman-teman dalam kegiatan Pramuka. Bukan berhitung, perkalian, fisika, kimia, ekonomi metri dan bahkan akuntansi.

Semua angka itu menyebalkan. Kecuali angka seratus pada lembaran warna merah atau limapuluh pada lembaran warna biru. Aku suka. Bisa aku belikan pulsa, jajan bakso atau mie ayam mang Edi di kantin sekolah.

Dodi, ketua kelas kami mengabarkan bahwa Pak Ghani guru akuntansi tidak bisa hadir. Namun akan ada guru piket yang menggantikan. Rasa senang yang hampir saja melonjak dan mewujudkan ekspresi teriakan 'Horeee.. ' tak jadi kumunculkan. Seketika berganti dengan kekecewaan.

Niatku membeli minuman ke kantin sekolah di jam pelajaran pun aku urungkan. Memilih kembali ke bangkuku, yang tepat berada di depan meja guru.

Kami terdiam menungu kedatangan guru piket yang katanya akan datang menggantikan pak Ghani. Dengan harapan, guru piket yang datang adalah Pak Ariyo atau Bu Wina yang baik hati. Mereka berdua tidak pernah galak dan mempermasalahkan tugas yang diberikan dikerjakan dengan jujur atau hasil contekkan. Yang penting tugas terkumpul. Mereka cukup menyenangkan. Kupikir, setelah beberapa menit berlalu nanti, aku bisa minta izin untuk pura-pura ke kamar mandi, demi minuman dingin di kantin Ibu Eko.

"Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam.."

Seisi kelas kompak menjawab salam. Seseorang mengucapkan salam, dengan suara yang belum pernah kami dengar. Suara lembut tapi penuh wibawa, sangat enak ditangkap telinga.

Sesosok mahluk laki-laki jangkung atletis, wajah ganteng manis, hidung mancung, berkemeja biru. Melangkahkan kakinya dengan mantap menuju kursi duduk tepat di depanku. Mataku terbelalak tak berkedip menatap sosok itu. Ia melemparkan senyuman yang teramat manis, membuatku menahan napas sejenak menikmatinya.

Sayangnya si ganteng hanya menyimpan buku absen dan buku sumber di meja itu. Lalu kembali ke tengah-tengah ruangan.

Di depan kelas, lelaki itu memulai perkenalan. Namanya Prayoga Lintang Mahardika. Namun dia bilang kepada kami cukup memanggilnya Pak Yoga saja.

Nama yang bagus, pantas, klik dengan orannya. Gagah, sempurna. Ia menyebutkan tanggal lahir dan tahunya. Diam-diam kucatat. Suatu saat aku bisa menjadi orang pertama yang menucapkan kaliamat 'Selamat Ulang Tahun' kepadanya, pikirku.  

Masih muda rupanya. Terntaya usianya hanya terpaut 5 tahun di atas ku. Saat ini dia sedang mengikuti program Magister di salah satu Universitas di kota kami. Dia adalah guru baru, baru masuk dua hari yang lalu.

Tak banyak yang diterangkan kepada kami tentang pribadinya hanya seperlunya saja. Kemudian ia melanjutkan menjelaskan tentang tugas yang kami dapat dari pak Ghani dan sekilas menginformasikan alasan mengapa pak Ghani berhalangan hadir.

Ah, bagiku soal itu  itu tak penting. Ada yang lebih penting dari itu: hari ini aku benar-benar merasa bahwa aku telah bertemu dengan pangeran tampan dari kahyangan.

Tugas akuntansi harus segera terkumpul 45 menit lagi. Aku berusaha keras agar jawabanku benar. Entah kenapa semangatku kali itu muncul dengan hebatnya. Otakku mendadak encer dan begitu mudah menerima penjelasan tentang cara mengerjakannya.

"Coba dari dulu yang jadi guru akuntansi kami adalah pak Yoga," gumamku.

Tugasku terselesaikan dengan baik. Aku berniat mengumpulkannya dan menyimpan di meja guru. Namun, saat kucoba melangkahkan kaki, ada perasaan yang begitu berat. Seolah kaki ini terikat rantai besar yang digembok ke tembok beton. Jantungku pun berdegup kencang. Perasaan aneh menyeruak dalam dada. Pipiku rasanya memanas.

Ah, kenapa aku ini?

Pak Yoga menatapku, memerhatikan langkahku dengan senyum manisnya. Rasanya aku ingin pingsan saja di sana, jatuh ke pangkuannya lalu pura-pura masih pingsan, ketika akhirnya aku tersadar. Akan ku nikmati aroma parfumnya dan kunikmati hangat tubuhnya.

"Kamu... cepat kumpulkan hasil pekerjaannya! Jalan kok sambil bengong begitu," ujar pak Yoga.

Deg, terasa ada yang menghantam dadaku. Kalimat itu mengagetkanku. Aku beringsut menyegerakan langkahku dan menyimpan buku tugasku di meja itu. Tanpa berani manatap guru ganteng yang duduk di belakang meja.

*

Bel pulang berbunyi. Aku sengaja menolak tawaran Mina untuk pulang bareng. Aku bilang 'Ada urusan sebentar'. Padahal aku ini mencari seseorang. Pak Yoga.

Aku melangkah melewati koridor sekolah. Sekolah sudah tampak lengang, sebagian besar siswa sudah maninggalkan sekolah. Hanya beberapa yang tetap tinggal untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sore ini.

Aku sendiri mengikuti ekskul PMR tapi hari ini tak ada jadwal latihan. Di depan ruangan guru langkahku terhenti. Aku mencari sosok guru yang tadi masuk di jam terakhir. Diam-diam, mataku mengintip dari balik jendela ruangan itu. Namun sosok itu tidak aku temukan.

Ah, dia tidak ada.

Aku putus asa. Besok mungkin bisa kutemui lagi. Aku melanjutkan langkahku, menuju pintu gerbang.

Di tempat parkir, aku melihat Pak Yoga sedang  melepas rantai sepeda. Ternyata guru keren itu tidak hanya keren, tapi sungguh ia bersahaja. Di saat orang lain heboh menampilkan kendaraan yang paling keren, mobil atau motor keluaran terbaru ia masih siap menggowes sepeda untuk pergi ke tempat kerja.

Aku berlari menghampirinya. Pura-pura menyapa, basa-basi. "Pulang nya naik sepeda, Pak?"

Orang yang ditanya tersenyum, lalu menjawab dengan lembut, "Iya... memangnya kenapa? Aneh ya? He he."

Aku tersipu, agak gugup ternyata Pak Yoga tak lepas menatapku. Ia benar-benar pandai berkomunikasi, ketika berbicara selalu menatap lawan bicara dengan pandangan dan mimik muka sangat menyenangkan. Sopan dan mengagumkan.

Ah, aku terpukau.

"Hey! bengong!"

Suara itu mengagetkanku. Ah... rasanya aku malu sekali, tertangkap basah sedang asik memandangi pak Yoga.

"Eh, gak apa-apa, Pak."

Aku menjawab sekenanya. Pak yoga kembali tersenyum.

"Pulangnya ke arah mana?"

Pak Yoga kembali bertanya.

"Ke jalan Batu Jajar Pak."

Pak Yoga menuntun sepedanya, melangkahkan kaki. Ia berjalan mengimbangi langkah kakiku.

"Saya juga pulang dengan arah yang sama. Dua tahun terakhir ini saya tinggal di Panti, yayasan milik paman saya. Mengasuh anak-anak yatim setiap hari."

Oh.. benarkah? Hebat sekali orang ini, sudah baik, ganteng, masih muda tapi punya kepedulian yang tinggi terhadap anak-anak yatim. 

Entah untuk yang keberapa kali nya rasa kagumku bertambah-tambah kepadanya. Padahal baru beberapa jam saja aku mengenalnya.

Hari itu aku baru tahu jika yayasan panti asuhan besar yang ada di sebrang jalan adalah yayasan milik keluarga besar pak Yoga.

Kenapa aku baru tahu ya?

"Oiya, namamu siapa?"

Pak Yoga baru mengajukan pertanyaan.

"Aku Afni Pak, Afni NurAzmi"

Aku menyebutkan namaku dengan jelas, berharap pak Yoga bisa mengingatnya, dan mencatat dalam hatinya.

Sepanjang jalan kami hanya bercakap-cakap tentang seputar sekolah. Pak Yoga bisa jadi sedang menggali informasi tentang tempat kerja barunya. Di sini aku lebih tahu daripadanya. Karena sekarang aku kelas XII itu berarti aku sudah hampir tiga tahun mengenal sekolah kami.

Namun, walaupun tak ada topik yang istimewa, perbincangan itu sangat berkesan bagiku. Hari itu aku pulang ke rumah dengan perasaan senang yang luar biasa.

*

Minggu pagi, aku dan teman dekatku telah mengatur janji akan malakukan jogging bareng ke taman alun-alun kota.

Hampir setiap hari Minggu aku ke sana, sekadar berolahraga, bersepeda, atau bahkan hanya jalan kaki untuk kemudian menikmati sarapan jajanan yang banyak dijual di sana.

Setelah puas berkeliling aku dan Mina temanku selalu menyempatkan mampir ke tempat Mang Udin berjualan. Cilok Cinta. Begitu yang Mang Udin Tulis di gerobak nya. Ciloknya sangat enak, mantap, lain dari yang lain.

Kami menikmati jajanan di tempat duduk yang biasa. Di tengah-tengah  kunyahan, aku menalan ludah seketika. Melihat siapa yang melintas di depanku. Serombongan anak-anak berpakaian santri yang sebenarnya sering aku lihat tapi tak begitu kuperhatikan. Kini ada yang begitu menyita perhatianku. Pak Yoga ada di tengah-tengah mereka.

Pak Yoga sibuk membimbing anak-anak itu. Membetulkan jalan anak-anak yang masih kecil yang keluar dari rombongan atau mengingatkan anak-anak yang bercanda berlebihan. Aku berlari setelah membuang bungkus makanan yang belum habis ke tempat sampah. Meninggalkan Mina yang terbengong di tempat duduknya.

Aku menghampiri rombongan anak-anak panti asuhan yang berhenti di bawah pohon rindang, membuka bekal makanan yang telah dibagikan oleh rekan meraka yang paling besar.

Pak Yoga tampak santai memandu mereka penuh perhatian dan kasih sayang. Lagi-lagi laki-laki itu menyita perhatianku. Apalagi hari itu ia mengenakan kaos hitam dan celana olahraga panjang berwarna biru tua, membuat kulit nya yang bersih semakin jelas terlihat nyata.

Pak Yoga tampak keren sekali dengan kostum itu. Aku semakin suka.

Pak Yoga mempersilahan kami bergabung.

*

Sampai di rumah, bayangan tentang pak Yoga tak mau hilang. Sampai jam berlalu, hari, minggu, bulan. Aku semakin mengaguminya. Di sekolah pak Yoga tetap bersikap wajar. Menjalankan tugas sebagai guru piket yang sesekali masuk ke kelas untuk menggantikan guru yang berhalangan hadir.

Beberapa yang tidak bisa hadir aku benar-benar mensyukurinya. Demi harapan agar Pak Yoga yang masuk menggantikannya. Rasa kecewa pun timbul jika ternyata guru piket lain yang masuk.

Namun tak mengapa toh bebebrapa bulan terakhir ini aku telah terbiasa menghubunginya lewat telefon. Kami biasa berkomunikasi bercerita banyak hal. Terutama kesulitanku dalam pelajaran. Ia tak sekadar guru untukku, tapi kakak, sahabat dan aku sebenarnya berharap lebih, sangat berharap lebih dari itu. Sayang sekali, aku hanyalah murid baginya. Walupun terkadang perhatian Pak Yoga rasanya membuat aku merasa spesial di hatinya.

Suatu hari pak Yoga pernah mengatakan bahwa dengan keberadaanku dia menjadi lebih bersemangat bekerja. Dia juga beberapa kali mengajakku ke panti asuhan tempat ia mengabdikan diri. Kami semakin dekat dan semakin berharap banyak. Akan tetapi, lagi-lagi pak Yoga tetaplah menjadi guruku, guru piket di sekolah kami.

*

Hari ini aku sudah lulus SMU. Kini aku sudah kuliah smester satu di Universitas yang sama dengan Pak Yoga. Program magisternya hampir tuntas dan hari indah itu pun terwujud, Pak Yoga menyatakan cinta kepadaku. Kejujuran itu terungkap ketika aku sudah berstatus mahasiswi.

Guruku yang sekarang menjadi kekasihku selalu mengisi hari-hariku. Yoga pindah bekerja ke salah satu instansi pemerintah dan diangkat menjadi pegawai tetap. Aku bahagia memiliki kekasih yang jauh lebih dewasa. Yoga tulus menjagaku. Ia selalu mendukungku dalam hal apapun yang positif, mengingatkanku jika aku keliru.

Aku sangat merasa nyaman dengannnya. Yoga menjanjikan sesuatu yang lebih indah dari sekadar pernyataan cinta. Yoga akan melamarku jika aku lulus kuliah nanti. Aku percaya padanya, akan aku jaga cinta ini. Dengan penuh semangat, akan aku selesaikan kuliahku secepat mungkin, agar aku segera menjadi miliknya.

I Love You Pak Guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun