Alia memang tidak pernah semarah itu. Selama ini ia selalu terlihat sabar dan baik-baik saja. Meskipun semua orang terutama teman dan keluarga dekatnya mengetahui jika kehidupan Alia tidak sebaik yang dibayangkan.
Bagaimana tidak, Alia sejak kecil sudah menjadi korban perceraian kedua orang tuanya. Ayahnya yang berprofesi sebagai pengcara selingkuh saat menangani kasus percaraian seorang klien cantik asal Bogor. Di usia 10 tahun, ia harus menyaksikan dengan matanya sendiri, ibunya meregang nyawa karena menelan racun. Ia menjerit ketakutan ketika melihat tubuh ibunya kejang-kejang dengan wajah membiru dan mulut penuh busa.
Jika dibandingkan dengan kehidupan kebayakan orang, sungguh kehidupan Alia tidaklah wajar. Namun semua orang pun tahu jika ketabahan dan ketegaran Alia layak diacungi jempol. Gadis manis itu harus hidup sebatang kara semenjak usia 10 tahun.
Sejak ibunya meninggal, sang Ayah tidak lagi mengurusnya. Kecuali mengiriminya uang bulanan lewat rekening, tanpa pertemuan. Jangankan kasih sayang seorang Ayah, menyapa di telepon pun tidak pernah.
Alia tumbuh menjadi perempuan yang tegar. Sejak duduk di bangku kuliah semester pertama sudah banyak laki-laki yang menyukainya. Terkesan karena kegigihan dan kemandiriannya. Ya, setidaknya itu magnet terbesar yang dimiliki Alia.
Ketika perempuan seusianya sedang asik menebar pesona, belanja baju, dandan ber-make up ketika pergi kuliah, lain lagi dengan Alia. Ia adalah perempuan yang simpel dan lebih mementingkan karya serta mengejar prestasi. "Ingin hidup lebih baik," ujarnya.
Alia bukan tidak ingin memiliki pasangan seperti kebanyakan gadis seusianya. Namun tantangan hidup dan kepedihan yang pernah dirasakannya membuat ia merasa harus terus berjuang untuk menjadi orang yang sukses. Setidaknya tidak sampai merepotkan orang lain. Adapun soal laki-laki, kebenciannya kepada sang Ayah belum sepenuhnya sembuh.
Bukan, Alia bukan anti laki-laki atau penyuka sesama jenis. Namun ia belum menemukan laki-laki yang bisa membuatnya percaya bahwa lelaki yang benar-benar baik itu memang ada di dunia.
Sampai suatu hari, Tuhan mengizinkan Alia jatuh cinta. Seseorang bernama Julian berperawakan tinggi atletis telah membuat dadanya berdegup kencang saat tidak sengaja retina mereka bertemu walau hanya beberapa saat.
Kecerdasan dan kedewasaan serta pembawaan Julian sangat memesona. Bagaikan magnet berbentuk lingkaran, Julian berhasil menarik hati Alia dari berbagai arah. Apakah Julian pernah berbuat sesuatu yang spesial kepada Alia? Entah, Alia sendiri tidak sepenuhnya menyadari. Rasa itu hadir begitu saja. Tanpa tahu penyebab sebenarnya. Yang Alia tahu, Julian telah membuat dirinya nyaman, merasa diakui dan diizinkan menjadi dirinya sendiri ketika berada di dekat Julian.
Julian sendiri adalah dosen di kampus tempat Alia kuliah. Lelaki ini baru saja menyelesaikan program doktor, dan sedang menempuh jenjang selanjutnya. Semangatnya yang selalu senang mempelajari hal-hal baru, menjadi salah satu nilai plus di mata Alia.
"Semangat, Pak. Semoga lekas menjadi Profesor!" ucap Alia sesaat kemudian ketika perkuliahan selesai.
Saat itu Alia sengaja keluar kelas belakangan. Mereka terlibat perbincangan hangat sepanjang lorong kampus.
"Terima kasih, Alia. Nanti saya kasih buku saya yang telah diadaptasi dari desertasi saya ya. Biar kamu pun semangat lanjut kuliah." Julian tersenyum ramah.
Dari percakapan di lorong itulah, pertemuan-pertemuan selanjutnya terjadi. Alia telah jatuh cinta kepada dosennya. Begitu pula dengan Julian, lelaki beristri itu telah larut dalam pesona sang mahasiswa tanpa bisa ditolaknya.
"Aku ingin menikahimu," ujar Julian suatu sore.
Hari itu adalah hari ke dua ratus Julian dekat dengan gadisnya. Â Perkuliahan telah selesai. Besok mulai libur. Dua bulan ke depan, Alia mulai menjadi mahasiswa tingkat akhir.
Dada Alia terhenyak. Antara bahagia bercampur bingung. Tidak menyangka bahwa dosennya itu menaruh perasaan yang sama besarnya. Bahkan sampai ingin menikahinya. Seserius itukah?
"Tapi, bukankah kau memiliki istri?" Alia tertunduk lesu, ketika hati kecilnya menyadari bahwa ternyata rasa yang ia miliki telah jatuh terlalu dalam kepada orang yang salah.
Selama ini, ia menikmati setiap  detik waktu kebersamaan dengan Julian sebatas untuk menghilangkan rasa sepi dan mendapatkan teman berbagi. Namun ternyata, tanpa ia sadari rasanya telah terlalu dalam kepada laki-laki berisitri.
"Ya, aku akan membicarakan hal ini kepada istriku," ucap Julian mantap.
"Kamu serius?"
"Beri aku waktu."
Sejak saat itu, hari-hari Alia dipenuhi dengan semua tentang Julian. Tekadnya mulai bulat, akan mengakhiri masa lajang dengan lelaki itu. Walaupun ia harus berbagi suami dengan perempuan lain, tidak mengapa. Hatinya telah memilh, bahwa Julian lah yang membuat dirinya merasa utuh walaupun lelaki itu kelak hanya akan memberinya separuh.
Hari-hari dalam hidup Alia semuanya untuk Julian. Apa yang tidak Julian sukai ia tingggalkan, dan apa yang membuat Julian merasa senang, Alia akan mengusahakannya sebisa mungkin. Ia benar-benar belajar bagaimana menjadi istri yang patuh untuk Julian. Agar ketika saatnya menikah itu tiba, ia tidak lagi harus belajar banyak. Sebesar itulah pengaruh Julian dalam hidupnya.
Sampai suatu hari, kenyataan pahit itu pun tiba.
"Al, ada yang ingin aku bicarakan." Nada bicara Julian sangat serius. Ia melucuti jas dan diletakannya di atas punggung kursi tempatnya duduk.
Hari itu mereka bertemu di sebuah kedai bakso sekitar kampus.
"Apa?" dengan mimik muka yang sumringah Alia menyambut kalimat calon suaminya itu.
"Maafkan aku." Julian menghela napas panjang. Wajahnya lesu.
"Ada apa?" mimik wajah Alia seketika ikut berubah. Muram. Ada kecemasan tergambar di sana. Ia tak sabar menanti kalimat berikutnya dari mulut sang kekasih.
"Aku sudah bicara dengan istriku," Julian menatap gadisnya dalam-dalam. Sungguh ia ingin menemukan kalimat yang paling tepat untuk menyampaikan kalimat berikutnya. Sangat berat dan tak sanggup ia katakan.
Alia diam, menahan napas. Berharap kalimat lanjutan segera meluncur dari lisan Julian.
"Istriku marah besar, sepertinya ia sama sekali tidak akan mengizinkan kita bersama. Padahal sebelumnya ia sering bahas kalau poligami itu adalah sesuatu yang diganjar pahala besar oleh Tuhan. Aku kira, perkataannya itu tulus." Julian memalingkan pandangan.
Alia bisu, lidahnya kelu. Tidak tahu harus berkata apa. Sejenak hening, hujan deras di balik jendela kedai memercikan bulir air di sisi meja.
Kemudian, "aku menyesal sudah terlalu jatuh cinta kepadamu, Julian!" kalimat Alia tegas penuh penekanan.
"Aku tahu, aku pun demikian adanya. Kehadiranmu memberi warna yang berbeda dalam hidupku, Al. Aku lebih bersemangat menjalani kehidupan setelah bertemu dengan kamu." Ungkap Julian jujur.
"Kalau begitu, tinggalkan istrimu! Atau, ...," Petir menyambar, ketika Alia belum menuntaskan kalimatnya.
"Atau apa, Al?" Julian penasaan.
"Atau aku melenyapkan nyawa istrimu."
"Al, kamu ini ngomong apa?"
"Apa harus aku ulang?" nada suara Alia meninggi.
"Jangan begitu, Al, semua ini masih bisa kita bicarakan, kan. Kasih aku waktu lagi ya...," Julian berusaha membujuk.
"Aku sudah menghabiskan waktu untuk menjadi apa yang kamu inginkan. Aku udah memenuhi semua keinginanmu, sampai aku kehilangan diriku sendiri Julian. Aku sudah menutup akses komunikasi dengan semua laki-laki bahkan rekan kerjaku sendiri aku batasi, beberapa aku blokir. Semua itu demi kamu. Aku sudah tidak lagi memasang poto wajah di semua profil media sosialku. Aku membatasi diri, aku berjalan, aku berdoa, aku memperbaiki diri, semua untuk menuju padamu, Julian!"
Bahu Alia berguncang, ia menangis sesenggukan.
Julian merasa kikuk, beruntung pengunjung kedai tidak banyak saat itu.
"Al, ... aku mohon, maafkan aku. Aku memang tidak siap jika harus meninggalkan istriku. Ini semua demi anak-anakku." Sesaat kemudian Julian meneysal telah melontarkan kalimat itu. Ia sadar, jika itu akhirnya hanya akan memperburuk keadaan perasaan Alia.
"Ok, aku sudah paham." Tangis Alia perlahan mulai mereda.
Bayangan tentang perlakuan ayahnya terhadap sang ibu dulu tergambar semua. Ia melihat sosok sang Ayah pada diri Julian. Lelaki itu telah menyakiti istrinya, dan dirinya sendirilah yang menjadi penyebabnya. Dalam keadaan itu, Alia mulai tidak bisa menerima dirinya sendiri. Kestabilan jiwa Alia yang selama ini terjaga, kembali terganggu.
Istriya Julian di rumah pasti sudah sangat menderita karena mengetahui suaminya selingkuh. Hatinya pasti koyak, sebentar lagi depresi melanda. Batin Alia.
Entah apa yang merasuki hati dan pikiran Alia. Kemudian, "aku tidak akan membiarkan istrimu hidup, atau mati menegak racun karena menahan kecewa terhadapmu Julian,"
"Maksudmu apa?" Julian tidak pernah menyangka jika Alia yang selama ini dikenalinya sebagai perempuan paling santun dan sabar begitu berapi-api.
"Aku tidak mau kecewa. Kamu harus menjadi suamiku. Akan aku bantu istrimu mengakhiri hidupnya secepat mungkin," Kalimatnya terlihat tidak main-main.
Alia beranjak dari tempat duduknya. Julian berusaha menahan.
"Lepaskan aku!" Alia menepis keras tangan kekasihnya. Lalu berlari menembus hujan yang turun semankin deras.
Julian berhambur, menyusul perempuan itu. Namun, aktivitas dengan kasir, menyita waktu Julian beberapa menit. Ia kehilangan jejak Alia.
"Kemana kamu, Al?" gumamnya.
Julian menyalakan mobilnya, menelurusi jalan, mencari gadisnya. Namun sosok Alia tidak ditemukannya. Hatinya terperanjat ketika ia ingat kepada istrinya di rumah. Ia tidak sanggup membayangkan jika perkataan Alia tadi itu sungguhan.
Julian menginjak pedal gas mengendalikan kemudi sebaik mungkin dalam laju kendaraaan berkecepatan tinggi. Ia harus segera sampai di rumahnya.
Sampai di kediamannya, rumah itu terlihat sepi. Ada perasaan lega, bahwa Alia tidak datang ke sana. Tidak ada tanda-tanda kedatangan orang di sana.
Namun ketika ia mengucapkan salam, istrinya tidak menjawab seperti biasanya. Senyap.
Julian membukakan pintu yang tidak terkunci. Napasnya seolah terhenti, langit seakan runtuh menghimpit dadanya. Di hadapannya, istri Julian sedang melakukan percobaan bunuh diri. Ia berdiri di atas sebuah kursi, sementara lehernya sudah masuk di lubang tali yang terpasang kuat di atas. Sekali saja ia terpeleset maka habislah nyawanya.
"Kamu apa-apaan, Mah?" Julian berusaha menghentikan aksi istrinya. Istrinya hanya diam seribu bahasa. Air mengalir deras dari kedua kelopak matanya.
"Ayo turun, Mah. Maafkan aku ya. Aku janji akan memperbaiki keadaan. Aku janji, akan setia sama kamu. Turun ya..." Sekali lagi, Julian berusaha membujuk istrinya.
Istrinya bergeming, ia tetap bungkam. Matanya terlihat tertuju ke satu arah. Tangannya mulai mempererat kaitan tambang penggantung.
Julain merasa curiga. Ia pun memeriksa ke arah mata istrinya tertuju.
Alia berdiri memegang pistol di balik pintu kamar dengan tatapan penuh dendam.
"Al, jadi kamu penyebabnya. Ayo lah, Al... jangan lakukan ini kepada istriku." Julian memohon.
"Kamu masih mencintai istrimu? Bilang di depanku sekarang dengan lantang! Cepat!" mata Alia semakin beringas.
Perlahan, Julian mengangguk, "iya, Al, aku masih mencintainya."
Mata Alia makin berapi-api. Ia tidak bisa menerima jika Julian mengatakan hal itu. Hatinya dibakar api cemburu bercampur dengan rasa dibohongi dan dpermainkan. Semua bercampur aduk dalam dadanya.
"Biarkan istriku turun ya, Al, aku mohon..."
"Aku tidak akan membiarkannya hidup, Julian. Karena jika kamu tidak menjadi miliku, maka kamu tidak boleh dimiliki siapapun!" Suara Alia bergetar namun keras penuh dengan kemarahan.
"Kamu yang datang merebut suamiku, perempuan kurang ajar!" istri Julian berteriak keras, ikut angkat bicara.
"Dor!" suara tembakan terdengar diikuti dengan bunyi 'gedubrak' kursi tempat istri Julian berdiri. Tubuh istrinya menggantung di tali tambang, sementara dadanya berlumuran darah. Sebuah peluru milik Alia bersarang di sana.
Tubuh Julian bergetar, tangannya mengepal. Siap mendartkan tinju. Kemarahan dan rasa menyesal berkumpul di kepala. Geram.
Ia berlari ke arah Alia yang masih berdiri memegangi pistolnya. Suara tembakan meletus lagi, namun tidak mengenai siapapun.
Julian meraih tangan perempuan itu, pergulatan hebat pun terjadi. Dalam keadaan marah, tenaga Alia besar juga, membuat Julian merasa kewalahan. Julian berusaha melepaskan pistol dari genggaman perempuan itu.
"Dor!" suara tembakan ketiga terdengar lagi.
Tubuh Alia melemah, tangannya terkulai jatuh. Perutnya bersimbah darah, terkena pistolnya sendiri.
Julian menangis sejadinya, hari itu ia kehilangan dua orang perempuan yang dicintainya.
Rumah Julian mulai dipenuhi kerumunan tetangga yang dikagetkan dengan suara tembakan. Salah satu tetangga tetangga mendekat, bermaksud menenangkan kedaan. Ia menghampiri Julian yang selama ini dikenal sebagai orang yang ramah.
Namun Julian telah gelap mata, diraihnya pistol yang berada di genggaman Alia, dan mengarahkannya tepat di kepalanya.
Peluru ke empat pun bersarang di sana. Tubuh Julian ambruk di lantai sesaat sebelum tetangga semakin memenuhi ruangan tempat kejadian dan pekarangan rumahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H