"Istriku marah besar, sepertinya ia sama sekali tidak akan mengizinkan kita bersama. Padahal sebelumnya ia sering bahas kalau poligami itu adalah sesuatu yang diganjar pahala besar oleh Tuhan. Aku kira, perkataannya itu tulus." Julian memalingkan pandangan.
Alia bisu, lidahnya kelu. Tidak tahu harus berkata apa. Sejenak hening, hujan deras di balik jendela kedai memercikan bulir air di sisi meja.
Kemudian, "aku menyesal sudah terlalu jatuh cinta kepadamu, Julian!" kalimat Alia tegas penuh penekanan.
"Aku tahu, aku pun demikian adanya. Kehadiranmu memberi warna yang berbeda dalam hidupku, Al. Aku lebih bersemangat menjalani kehidupan setelah bertemu dengan kamu." Ungkap Julian jujur.
"Kalau begitu, tinggalkan istrimu! Atau, ...," Petir menyambar, ketika Alia belum menuntaskan kalimatnya.
"Atau apa, Al?" Julian penasaan.
"Atau aku melenyapkan nyawa istrimu."
"Al, kamu ini ngomong apa?"
"Apa harus aku ulang?" nada suara Alia meninggi.
"Jangan begitu, Al, semua ini masih bisa kita bicarakan, kan. Kasih aku waktu lagi ya...," Julian berusaha membujuk.
"Aku sudah menghabiskan waktu untuk menjadi apa yang kamu inginkan. Aku udah memenuhi semua keinginanmu, sampai aku kehilangan diriku sendiri Julian. Aku sudah menutup akses komunikasi dengan semua laki-laki bahkan rekan kerjaku sendiri aku batasi, beberapa aku blokir. Semua itu demi kamu. Aku sudah tidak lagi memasang poto wajah di semua profil media sosialku. Aku membatasi diri, aku berjalan, aku berdoa, aku memperbaiki diri, semua untuk menuju padamu, Julian!"