"An!" panggil salah satu anggota timku.
"Iya?" kataku sambil membawa segelas kopi.
"Tadi ponsel kamu bunyi, ada telepon dari nomor yang gak dikenal,"
"Oh, iya, aku lupa bawa! Makasih ya, mungkin itu dari temenku," kataku sambil duduk dan mengecek ponsel. Benar saja, ada yang meneleponku dari nomor yang tidak dikenal. Siapa, ya? Kelihatannya nomor dari luar negeri. Aku kembali bekerja menyelesaikan beberapa artikel yang harus diunggah hari ini. Sekali lagi, ponselku berdering, aku segera mengangkatnya.
Akhirnya, suara orang yang selama ini aku nantikan terdengar jelas di telinga. Terasa dekat, tapi nyatanya jauh. Terasa mimpi, tapi ini nyata. Kenzo menjelaskan semua yang terjadi padaku setelah hari singkat itu. Dia harus pindah ke luar negeri bersama orang tuanya untuk menjalani pengobatan sang ayah.
"Maaf, An, aku dulu gak ngabarin kamu. Saat itu keadaan mendesak, ayah semakin drop. Ponselku hilang, pokoknya bener-bener hari terkacau. Niatnya aku pengin ketemu kamu, tapi ternyata Tuhan belum mengizinkan. Semoga kamu menjalani kehidupan yang bahagia selama dua tahun ke belakang, An. Dulu, aku pernah pulang ke sini untuk ngurus perpindahan dan ngambil sebagian barang, terus pergi ke sebuah restoran dekat kantor dan liat kamu sama satu orang. Keliatannya kamu sangat bahagia, makanya aku memutuskan untuk gak nyamperin kamu," katanya.Â
Aku menyesal, ternyata saat aku mencurahkan isi hati dengan teman kantorku yang cukup dekat saat itu, Kenzo ada di sana. Pantas saja aku merasa ada yang memperhatikan.
"Antya, maaf, mungkin ini adalah kabar bahagia, tapi mungkin bisa jadi kabar yang menimbulkan luka. Satu minggu yang akan datang, aku akan meminang perempuan berdarah Italia," Kenzo berhenti sejenak, seolah tahu apa yang aku rasakan. Benar, sangat sesak hati mendengarnya. Selama dua tahun aku bertanya-tanya, berharap, bermimpi akan jatuh ke pelukannya, ternyata tidak. Kenzo sama sekali tidak akan menjadi milikku.
"Maaf Antya, aku kira kita akan bersama, ternyata waktu dan jarak membuat kita salah paham akan semua yang terjadi. Ini semua salahku karena tidak berusaha dengan keras untuk memilikimu. Mungkin sekarang aku berpikir bahwa kamu akan lebih bahagia bersama laki-laki yang selalu ada di samping kamu setiap saat, daripada bersamaku."
"KAMU SALAH, KENZO! Aku selalu nunggu kamu, nyari kabar kamu, bahkan aku sampai ngerasa gak ada artinya hidup tanpa kamu. Ngerti gak, sih? Selama dua tahun aku kira akan berakhir bahagia, ternyata enggak! Dering telepon dan suara yang selama ini aku harapkan, kukira pertanda baik, ternyata enggak!"
"Maaf Antya, kondisiku saat ini sangat kacau. Aku gak bisa pulang, aku gak bisa berusaha untuk memiliki kamu. Aku harap kamu selalu bahagia apapun keputusan kamu. Sebagai teman lamamu, aku gak mungkin ngebiarin kamu bertanya-tanya ke mana aku. Terima kasih, Antya, kamu pernah jadi tempat ternyaman bagiku," katanya. Tidak lama setelah itu, aku langsung menutup teleponnya dan pergi menemui Rera dan menceritakan semuanya. Benar, aku merasa kecewa saat ini.