"Bagus, aku emang mau bilang hal penting ke kamu, Antya. Sini duduk, canggung banget kayak ke siapa aja," sambil sedikit tertawa dan menyodorkan kursi.
Setelah duduk, aku dan Kenzo mulai mengobrol banyak hal. Kami memang teman satu SMA dulu dan salahnya aku malah menyukainya. Entah mengapa saat bersama Kenzo, aku merasa sangat nyaman dan aman. Ingin sekali menghapus rasa ini, tapi sudah kubilang bahwa aku tidak bisa menghapusnya dengan cepat.Â
Memang benar, aku dan Kenzo bekerja dalam kantor yang sama, tapi kami jarang mempunyai waktu berdua. Aku dan Kenzo selalu disibukkan dengan pekerjaan yang melelahkan. Mungkin saat ini, waktu satu jam tidak akan cukup untuk menghabiskan waktu bersama Kenzo. Namun, harapanku semoga waktu singkat ini menjadi hal yang tidak terlupakan.
"Selama ini, aku menyimpan baik-baik perasaanku, Antya," Kenzo sedikit menjeda pembicaraannya. Jujur aku sangat gugup, ingin kupejamkan mataku saat Kenzo melanjutkan kalimatnya, tapi aku tidak bisa. Aku harus menatapnya.
Satu tarikan napas yang dalam, Kenzo melanjutkan kalimatnya, "Kalau aku deket sama kamu, entah kenapa aku ngerasa nyaman. Mungkin aku emang telat menyadari persaan ini, tapi lebih baik telat daripada tidak disadari sama sekali. Maaf kalau beberapa waktu yang lalu aku selalu memperhatikan kamu dalam diam. Ternyata, aku menyukai perempuan yang ada di depanku sekarang," katanya sambil menatapku.
Aku terdiam, tubuhku mungkin sedikit telat merespons perkataan Kenzo. Tapi, APAKAH INI BENAR? tanyaku dalam hati. Kenzo, seseorang yang cuek dan dingin tidak kusangka mengatakan kalimat pernyataan ini. Selama ini, kupikir hanya aku yang merasakan kenyamanan itu. Ternyata, dia merasakan hal yang sama. Baguslah kalau begitu, artinya aku tidak mencintai secara sepihak.
"An... Kamu kenapa? Maaf kalau perkataanku barusan bikin kamu kaget. Aku gak minta jawaban dari kamu, kok. Aku cuma pengin bilang itu aja," katanya sambil heran menatapku.
Aku hanya tersenyum tanpa mengucapkan satu kata pun. Masih tidak percaya jika itu yang Kenzo katakan. Untung saja Rera menyuruhku untuk menemui Kenzo. Kalau tidak, aku tidak akan tahu pernyataan ini.Â
Sebetulnya aku ingin berlama-lama bersama Kenzo, tapi waktu istirahat makanku sudah habis. Aku segera berpamitan dengan Kenzo dan mengucapkan terima kasih. Lain kali, aku akan senang jika diajak menghabiskan waktu bersama.
Namun setelah hari yang singkat itu, Kenzo benar-benar menghilang tidak ada kabar. Di kantor tidak ada, dihubungi tidak bisa. Satu minggu, aku merasa khawatir terjadi sesuatu padanya. Dua minggu, aku semakin khawatir mencari keberadaannya, tapi tidak ada satu orang pun yang mengetahui di mana dia berada.Â
Hingga dua tahun kemudian, hari yang kujalani terasa kosong tanpa adanya Kenzo. Aku sudah lelah mencari keberadaannya, keluarganya pun sama sekali tidak bisa dihubungi. Kecewa? Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya khawatir terjadi sesuatu padanya. Hilang tanpa ada kabar.