Mohon tunggu...
Diana NovitaPermataSari
Diana NovitaPermataSari Mohon Tunggu... Guru - Guru/Pendidik

Menjadi pendidik di salah satu sekolah menengah kejuruan Negeri. Hobi utama membaca, sekarang sedang giat berlatih menulis, dan sangat suka jalan-jalan, kadang kulineran, dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Serial Geng Kopi Dalgona #9

12 Juli 2023   12:03 Diperbarui: 12 Juli 2023   12:26 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

PPPK & Pemimpin Baru, Untung tak dapat Diraih Malang tak dapat Ditolak

"Kok habis ujian masih ada siswa masuk itu? Jamnya siapa? Remidi?" tanya Liyana yang baru masuk ke ruang guru tim.

"Siswaku yang kena piket produksi jenang. Mau gimana lagi, pesanan dari toko rekanan datang terus, tidak peduli siswa sedang libur, jadi ya siswa tetap saya piket!"

"Ya iyalah, mereka kan toko. Libur justru banyak pelanggan mestinya." kata Liyana sambil memperbaiki batu pengganjal pintu, agar pintu lebih terbuka dengan sempurna.

"Yap, betul banget! Bahkan libur lebaran kemarin, siswa juga harus digilir masuk terus untuk produksi jenang, karena permintaan sedang besar-besarnya. Walaupun sebenarnya aku kasihan sih sama mereka..!" kataku sambil menatap Liyana.

Liyana yang berbadan kecil, sama sepertiku, hanya sedikit lebih berisi dariku, meletakan tas ranselnya yang besar yang mungkin berisi laptop, meletakan juga tas jinjingnya yang mungkin berisi buku-buku daftar nilainya. Liyana kemudian duduk menatapku. "Berarti kamu nggak libur juga?"

"Nggak, bahkan sampai hari H-1 lebaran aku masih lembur produksi. Sampai akhirnya aku ditanting sama suamiku, 'Mau mudik apa nggak?', baru setelah itu aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan, dan mudik."

Liyana diam saja, hanya tangannya saja yang sibuk ke kiri dan kekanan, mengelap mejanya dengan tisunya.

*

Jam 08.30, setelah siswa melaksanakan ujian online, giliran gurunyalah yang sibuk bekerja untuk membuat nilai, mengisi rapot. Oleh karena itulah ruangan ini hening, meskipun di ruang guru tim ini, sudah ada aku sendiri, Nisa, Liyana, dan Halima. 

Masing-masing dari kami menghadap ke laptop. Namun, meskipun aku membuka laptopku, tapi tanganku sibuk mencatat hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan bisnis atau UP sekolah. Mencatat giliran siswa yang piket produksi, memesan nota penjualan di toko online, memesan stempel kadaluarsa, mencatat belanja bahan yang habis, mencatat pesanan barang yang masuk, dan lain-lain.

Lelah dengan pekerjaanku, aku menggeliatkan badanku sejenak.

"Sudah, kerjakan nilainya! Nggak pernah dibayar aja, lembur-lembur mengerjakan pekerjaan bisnis sekolah seperti itu. Kaya dapat bayaran dua kali lipat. Nanti nilaimu telat di-apload, guru-guru lain juga akan tetap meneriakimu, tidak akan ada yang memaklumi, kalau kamu pekerjaannya banyak!" kata Liyana. Meskipun tanpa menatapku, tapi mungkin semua orang tahu, kata-kata itu ditujukan kepadaku.

"Yap, betul!" kata Halima sambil tersenyum menatapku, mengalihkan pandangannya dari laptopnya sejenak.

Nisa juga ikut menoleh dan tersenyum kepadaku.

"Ah, momen ini, hanya sebentar lagi saja kunikmati. Sebentar lagi kalian sudah akan pergi meninggalkanku." kataku sambil mendekati dispenser, mengambil cangkir, kemudian menyeduh kopi rasa cappuccino-ku.

"Selamat ya..kalian akhirnya bisa keluar dari sini, dari tempat yang sangat tidak menyenangkan ini, dengan cara yang terhormat." kataku lagi, kembali ke tempat dudukku untuk duduk, lalu mencium aroma kopiku, hanya mencium dulu, karena masih panas.

"Ya, semoga kamu sama Nisa juga bisa segera keluar dari sini dengan terhormat." kata Liyana, sambil berusaha untuk tidak menatapku, yang mungkin memang akan menemukan banyak kesedihan di mataku.

"Amiin..." kata kami semua hampir bersamaan.

"Ngomong-ngomong trima kasih ya, selama ini aku sudah dibantu dengan sekuat tenaga." kataku lagi.

"Ya, sama-sama..!" kata mereka lagi.

Hening sejenak.

"Nah, tapi ngomong-ngomong Alia, kamu belum menemukan info apapun juga? Kenapa ada kasus sepertimu. Tidak bisa daftar PPPK gara-gara data di dapodik tidak nge-link ke BKN?" tanya Liyana sambil menatapku.

"Entahlah..!" jawabku antara lelah dan malas, seolah sudah habis tenagaku untuk membahas hal itu.  

"Tapi kalau aku baca-baca di media online, aku tidak sendirian sih, ada ratusan guru yang bernasib sama sepertiku." masih kataku, merenung sejenak, lalu menyesap kopiku yang sudah tidak terlalu panas, lalu mengamati agenda pekerjaanku yang masih tinggal beberapa lagi.

"Padahal waktu itu, kamu sangat berpotensi, bisa dikatakan 99% pasti lulus PPPK. Ibarat kaki tinggal melangkah saja. Karena ya, formasi yang dibutuhkan di sekolah ini ada, kamu sudah PPG, yang itu pokoknya kamu sudah mengantongi 90% kelulusan lah." kata Halima.

"Ya..." kataku, masih sambil bekerja.

"Tapi..." kata Liyana lagi, menggantungkan kalimatnya, "Tapi ya mungkin belum rezeki. Yang penting waktu itu kamu juga sudah berusaha semaksimal mungkin ya, Alia?" kata Liyana akhirnya.

"Ya." Jawabku lagi. Aku mulai mengemasi berkas-berkas bisnis atau UP sekolah, lalu mulai membuat nilai untuk siswa-siswaku.

"Iya." Halima yang menjawab. "Alia waktu itu sudah berusaha semaksimal mungkin. Alia sudah menyampaikan hal itu ke pengaduan online, berulang kali. Sudah minta tolong ke kedua operator kita sekaligus untuk mengatasi hal itu. Sudah menghubungi dinas propinsi. Semua sudah dilakukan, ya Alia? 

Dan waktu itu, emang Covid-19 sedang di puncaknya, jadi Alia tidak bisa datang ke Jakarta. Kalau bisa datang saja, pasti sudah dia datangi, itu, gedung Kemenristek Dikti, sebagai upaya ikhtiar. Menanyakan alasan kenapa kok dia tidak bisa daftar PPPK karena masalah teknis seperti itu?" kata Halima lagi.

"Ya." jawabku lagi, masih merata-rata nilai siswa-siswaku. Aku lalu menyesap kopiku lagi, lalu merenung sejenak. "Tapi, jangankan ke Jakarta, datang ke Semarang pun tidak bisa. Jangankan datang, telepon saja sudah tidak ada yang mengangkat. Waktu itu Covid puncak sih ya...ya intinya begitulah!" kataku akhirnya, sambil menatap kopiku sejenak. 

Hening sejenak lagi. 

"Nisa juga yang semangat ya!" kata Liyana akhirnya, seolah memecah keheningan, seolah juga sengaja mengalihkan pembicaraan yang rumit dan menyedihkan itu. Meskipun pembicaraan ke Nisa juga mungkin sama menyedihkannya, bahkan mungkin lebih parah lagi. 

"Lah, aku juga mau resign Mba." Kata Nisa.

"Jadi resign?!" tanya kami hampir bersamaan, hampir kaget bersamaan juga. 

Nisa mengguk-anggukan kepalanya, sambil tersenyum pasrah. "Aku mah kalau sekedar nombok-nombok pas praktik, mungkin masih bisa kuterima. Tapi masalahnya, sudah tidak dijamin bisa masuk ke data pusat pendidikan atau dapodik, ditinggal Mba-Mba teman seperjuangan ini, ketemu guru PPPK baru yang seperti itu, bosnya juga seperti itu lagi! Jadi hopeless di sini." kata Nisa sambil masih tersenyum lemah.

"Lah..duh..." kata Liyana yang kehilangan kata-katanya lagi, sambil masih mengerjakan pekerjaannya di laptopnya.

"Lah emang guru PPPK yang baru gimana?" tanya Liyana sambil menatap Nisa sejenak. "Aku sibuk izin mengurus pemberkasan PPPK-ku, sampai lupa tanya guru PPPK yang baru." kata Liyana lagi.

"Haha..parah ya Nis!" kataku masih sambil bekerja.

"Iya..beneran!" kata Nisa lagi. "Kemarin kan Mba Alia aja tanya apa, ada yang jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak. Suaranya juga ada yang kenceng, seperti memenuhi ruangan ini dan mendominasi percakapan. 

Terus di grup WhatsApp tim itu kan ya, Mba sudah bisa baca sendiri, dia orang baru tapi sudah bisa nyindir-nyindir gitu bahasanya..." kata Nisa lagi.

"Lah, aku yang lebih sering di ruangan ini ya nggak nyaman lah ya." masih kata Nisa lagi.

"Iya, betul, banget, parah! Apalagi secara status, mereka sudah ASN dan PPPK, obrolannya lebih nyambung, mengenai absen lah, tunjangan lah, dan lain-lain. Lah, kita kalau pas duduk di sini, ya kaya obat nyamuk basah yang nyaris mati ya Nis. Di dalam nggak nyaman, tiba-tiba keluar juga tidak sopan." kataku, menambahi keterangan Nisa.

"Iya, Mba, betul banget!" kata Nisa.

"Ooh...gitu ya...Kok bisa gitu ya..?" tanya Liyana, yang seperti tidak habis pikir, sambil bekerja. "Aku sempat main ke sekolah baruku, beberapa kali untuk mengurus berkas, tapi di sana diam saja, ya sadar diri, orang baru." kata Liyana lagi.

Tidak tidak yang menanggapi, ruangan hening sejenak.

"Tapi itu semua masih bisa kuterima sih Nis, yang tidak bisa kuterima kalau mereka cara kerjanya sudah ketularan bos."

"Iya, gimana?" tanya Halima.

"Kalian adalah saksi aku bekerja dobel-dobel seperti ini kan ya. Kalian bikin nilai, aku masih ngerjain UP. Kalian pulang, aku masih menemani anak untuk produksi. Bahkan saat libur pun, kalian libur, aku masuk untuk menemani anak produksi. Tidak digaji lagi." jawabku.

"Ya.." kata Liyana. Semua orang sekarang tertarik mendengar ceritaku.

"Nah, semenjak kalian sudah mulai sering izin untuk mengurus pemberkasan ini dan itu untuk PPPK, sebenernya masih banyak pekerjaan di tim kita ini. 

Pengiriman produk ke toko-toko rekanan jalan terus. Persiapan lomba untuk tahun depan, yang bermasalah, juga jalan. Persiapan pendaftaran teaching factory atau tefa. Dan lain-lain. Hingga terakhir adalah persiapan pameran enam hari di kecamatan." kataku.

"Ya..biasalah ya..kalau ada tugas melimpah seperti itu, bos pasang aksi cuek dan tidak mau tahu. Intinya cukup mengatakan, 'Tidak bisa, tidak ada tenaga, titik'.

Dan sekolah pun seperti biasa, lalu akan menghubungiku untuk mengerjakan program-program tersebut.

Itu tidak masalah bagiku. Eh, walaupun kadang ya bermasalah ding hehe...! Aku sering pulang telat, dan suamiku komplain, anak tidak keurus, katanya.

Tapi ada satu hal yang membuatku benar-benar berpikir aku diperlakukan tidak adil, yaitu saat persiapan pendaftaran tefa itu. 

Jadi untuk mendaftar dan mengajukan tefa ini, kan kami dibentuk tim ya. Ada sekitar tujuh orang di tim tersebut, yang isinya para pejabat. Ada grup WhatsApp khusus juga yang khusus mengurus pendaftaran tefa. 

Dan tefa itu berkaitan dengan UP yang sedang diusahakan atau dijalankan selama ini. 

Di pendaftaran tefa itu, ada sekitar 40 tugas dan pertanyaan yang harus dijawab dan dikerjakan. Nah, tugas itu sebagaian besar otomatis sudah dikerjakan olehku, karena memang berkaitan UP itu tadi. Contohnya, apakah sudah memproduksi sebuah produk yang layak pasar? Apa nama produknya? Mana buktinya?

Apakah sudah punya toko rekanan? Mana buktinya? Toko apa saja? Alamatnya dimana?

Apakah sudah ada pencatatan keuangan? Mana buktinya?

Intinya sepertinya itu lah ya..." kataku lagi.

"Ya itu emang pekerjaan kamu sih Alia." kata Halima memotongku. "Memang kamu yang tahu, karena kamu yang mengerjakan, dan si bos berdua itu tidak mau tahu, karena tidak mau membantu!" kata Halima lagi.

"Nah itu benar." jawabku

"Tapi ada lagi pertanyaan yang belum ada jawabannya dan perlu dikerjakan saat itu juga. Contoh membuat video produksi. 

Ya seperti biasa, bos gampang tinggal bilang, 'Video produksi yang tahu ya Alia, karena dia penanggung jawabnya.' gitu. 

Okelah ya, masuk akal. Walaupun kalau mereka niat bagi tugas atau membantu bisa aja sih ya, tinggal tanya cara atau teknisnya gimana...dan seterusnya, habis itu mereka bantu. Kan ya sudah dibentuk tim. Buat apa dibentuk tim, kalau akhirnya hampir semua yang mengerjakan aku, karena memang aku yang dianggap tahu.

Tapi kenyataannya tetap tidak, mereka tetap berdalih aku yang tahu. Jadi akhirnya tetap aku, dibantu tim IT, yang membuat video produksi, untuk pendaftaran tefa tersebut.

Nah, akhirnya, dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang butuh bukti tersebut, sudah dijawab semua, dan jawabannya di kumpulkan dan di-upload di grup WhatsApp. 

Anda tahu, apa yang terjadi di akhir? Semua jawaban beserta buktinya tersebut dipelajari oleh bos. Jadi, pada saat hari H bos yang maju untuk menemani pemimpin sekolah untuk wawancara. 

Jadi ya...aku yang remuk, yang bekerja keras bagai kuda seperti ini, bos yang maju, untuk dapat, maaf, 'muka'."

"Lah..!" kata mereka hampir kompak, sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. 

"Pemimpin sekolah kita baru sih ya? Pemimpin yang baru tidak tahu, kalau itu semua yang mengerjakan kamu?" tanya Halima

"Yap, betul! Aku juga udah yang..'oh gitu cara kerjanya'.

Ya aku langsung berkesimpulan, hal seperti ini, bisa saja terjadi berulang kali.

Dan memang benar, karena memang sebelumnya dua kali, atau tiga kali ada tamu dari dinas atau dari manapun, yang menyajikan jenang dan mendapat apresiasi itu justru bos dan guru PPPK yang baru itu." kataku.

Hening, belum ada yang menanggapi ceritaku. 

"Ah ya.. segitunya.. sayangnya kok kebetulan kamu tidak bisa daftar PPPK, ya Alia." kata Liyana akhirnya, sambil mengambil tisunya lagi, lalu membersihkan keyboard laptopnya.

"Kenapa kamu tidak mengundurkan diri dari pejabat saja, Mba Alia?" tanya Nisa ringan. 

Hening. Belum ada yang menanggapi Nisa juga. 

Aku tahu, dari sekian banyak orang yang ada di sini, hanya dia yang sudah ringan berpendapat, karena dia sudah tidak punya beban, karena sebentar lagi dia sudah akan mengundurkan diri dari sekolah ini.

Aku menatap Nisa, sedangkan Liyana dan Halima justru menatapku. 

Aku menunduk, lalu berkata, "Aku ingin, tapi kupikir tidak semudah itu." kataku lirih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun