Mohon tunggu...
Diana NovitaPermataSari
Diana NovitaPermataSari Mohon Tunggu... Guru - Guru/Pendidik

Menjadi pendidik di salah satu sekolah menengah kejuruan Negeri. Hobi utama membaca, sekarang sedang giat berlatih menulis, dan sangat suka jalan-jalan, kadang kulineran, dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Serial Geng Kopi Dalgona

30 Juni 2023   13:35 Diperbarui: 30 Juni 2023   13:37 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

#3 Kita Semua Korban Keputusan 

Hari panas, sekitar jam 13.00. Di ruang guru, di lantai, duduk bersama di atas karpet hijau. Kami memutuskan untuk beli lotis buah dan menyantapnya bersama-sama. Beli lima bungkus untuk berdelapan, tapi satu tidak mau makan, jadi untuk bertujuh. 

Kebetulan formasi cukup lengkap hari ini. Ada aku sendiri, Halima, Liyana, Dinda, si bungsu Nisa dan Wilis. Bahkan ditambah si Musafir Tika.

"Enak kan Mba, lotisnya?" Tanya si bungsu Nisa, sambil menikmati lotisnya, sambil kepedesan.

Aku yang menikmati tapi setengah hati, karena kepedesan, kadang makan dan kadang mundur untuk menyenderkan badanku di tembok sejenak, untuk mendinginkan lidahku yang terbakar, segera duduk tegak untuk menanggapi kata-kata Nisa. Sambil mengambil sepotong bengkuang lagi yang berbalut sambal lotis pedas, dari beberapa potong buah yang tersisa di piring, kutanggapi,"Iya, enak, tapi pedas minta ampun! Ini mah seleramu!" Kataku.

"Tapi enak ding, emang!" Kata Liyana sambil mengambil potongan buah jambu air, lalu menikmatinya. Lalu meminum seteguk air untuk menghilangkan rasa pedasnya.

"Tika, kamu beneran nggak ingin lotis ini?" Tanyaku sambil menatap Tika yang mojok duduk di belakang, sambil memainkan gawainya.

"Nggak Mba, barusan makan aku tuh, kenyang!"

"Aku tadi udah ngingetin Nisa, biar tidak kepedesan belinya, tapi tidak mau!" Kata Wilis dengan suara lembut.

"Hehe..maaf ya, Mba, Mba..!" Kata Nisa sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya, untuk minta maaf. Setelah itu, dia sibuk mengelap hidungnya, karena juga kepedesan.

"Santai Nis, kamu udah mbeliian kita, kita udah berterima kasih banget! Panas-panas begini, kalian rela keluar ruangan demi membelikan kami lotis." Kata Halima.

"Ah, itu anak berdua mah, walaupun tidak dimintai tolong untuk membelikan lotis juga tetap ngelayap, pergi ke luar, panas-panas gini!" Kata Dinda, yang sudah mengundurkan diri dari arena makan lotis, karena kepedesan, dan sekarang sedang duduk sambil mengantuk dengan kadang merebahkan setengah badannya di meja kerjanya Liyana.

Nisa dan Wilis tertawa, meski tidak mengeluarkan suara, hanya memamerkan gigi-giginya saja.

"Hehe..kadang sumpek di dalam sekolah terus Mba!" Jawab Nisa.

"Eh, Mba, aku dengar kamu dilompati lagi ya, Diklat Asesornya?" tanya Nisa tiba-tiba, seolah baru teringat akan hal tersebut.

"Iya, bener. Dulu aku dilompati Liyana, sekarang aku dilompati..entah siapa?" 

"Sori gaiss, aku dulu tidak sengaja melompat kamu, Alia. Aku cuma ditanya oleh bos. Tanya, antara aku sama kamu, siapa yang duluan di sekolah ini?

Terus, aku jawab, ya secara tanggal, kamu duluan, Alia, yang masuk sekolah ini. Tapi secara ngajar, aku duluan yang ngajar, karena waktu itu kamu lagi sekolah S2 kan?

Eh, ternyata, katanya mau dijadikan dasar untuk memutuskan siapa yang akan diikutkan Diklat Asesor. Eh, akhirnya aku yang dipilih bos untuk ikut Diklat asesor.

Aku juga tidak tahu, kalau waktu itu, sebenarnya kamu yang sudah ditunjuk oleh bos, untuk ikut Diklat Asesor. Jadi ya sori, aku hanya korban keputusan bos!" Kata Liyana, berusaha menunjukkan penyesalannya.

"Santai, kita semua di sini korban keputusan, kok!" Kataku kemudian, sambil tersenyum berusaha mengurangi kecanggungan dan rasa bersalahnya Liyana.

"Kita mah di sini apa ya Mba, cuma pelaksana keputusan. Bukan tim yang diajak diskusi dan diputuskan bersama segala sesuatunya." Komentar Tika.

"Yap, betul!" Jawabku.

"Padahal sebelumnya Mba Alia sudah ditunjuk untuk Diklat asesor?" Tanya Nisa lagi.

"Yap, sebelumya, bos menemui saya. Waktu itu aku lagi ngajar di kelas malah, disuruh keluar sebentar, dan katanya akulah yang ditunjuk Pimpinan Sekolah untuk mengikuti Diklat asesor, karena seharusnya memang giliranku." Kataku.

"Hmm..hmm.." komentar Halima sambil mengangguk-angguk. Halima yang dari tadi juga duduk menyenderkan badannya di sisi tembok yang lain, sepertiku, setelah makan lotis, tapi seperti biasa sambil memainkan gawainya, juga hanya diam, sambil sesekali menengok dan tersenyum menimpali obrolan kami. 

"Berarti kamu sudah digagalkan berangkat pelatihan dua kali dong Mba?" Tanya Nisa.

"Eh, masa iya?" Tanya Wilis.

"Ya.." Jawabku, mau melanjutkan kata-kataku tapi malas. Malas iya, sudah pasrah juga iya, bahkan sudah tidak berminat ikut diklat itu juga iya.

"Padahal senior lho!" Kata Wilis lagi.

"Haha..iya ya." Kata Nisa. "Mba Alia yang senior aja diperlakukan seperti itu. Apalagi aku, yang paling kecil, yang ecek-ecek kayak gini!" Kata Nisa lagi.

"Padahal habis Asesor enak ya Lis? Sekali mengasesori, kamu bisa dapat tambahan honor berapa kemarin?" Tanya Nisa.

"Iya, lumayan Mba, kemarin aku dapat gaji...kira-kira sebesar satu kali gaji utuh!" Kata Wilis sambil menatapku, lalu menatap Nisa.

"Yang kedua ini gimana sih, kok Alia bisa dilompati lagi?" Tanya Liyana.

"Entahlah..aku juga tidak tahu." Kata Halima yang menimpali. "Kalau yang berangkat diklat itu dilihat dari urutan masuk sekolah, kan seharusnya urutannya emang kamu Liyana, terus harusnya Alia, terus aku, baru asisten bos itu.

Tapi kemarin bos memutuskan langsung asisten bos yang berangkat. Dengan alasan Alia sudah punya sertifikat diklat lain. Begitu juga aku, katanya aku sudah punya sertifikat diklat lain. Itu kok gimana..gitu, tapi ya sudahlah, terserah mereka." Kata Halima, seolah malas membahas hal tersebut.

Nisa menatapku, lalu tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menatap Wilis sambil berkata, "Dih, aneh ya?! Dulu alasannya karena harus sesuai urutan masuk ke sekolah. Sekarang alasannya karena sudah punya sertifikat diklat lain." Kata Nisa.

"Hehe.. Kalau di timku sih tidak seenaknya gitu. Semua berjalan sesuai prosedur dan aturan yang berlaku. Dan memang ya, diurutkan sesuai urutan masuk ke sekolah. Kalau yang bersangkutan, yang seharusnya berangkat diklat tidak mau, baru diganti." Kata Wilis.

"Si Alia sendiri kemarin sudah konfirmasi ke asisten bos, kok tiba-tiba dia yang berangkat? Asisten bos kasih keterangan yang berbeda lagi. Dia tidak bilang karena aku sama Alia sudah punya sertifikat diklat ini dan itu. Tapi dia bilangnya, dia melakukan itu karena dia ditunjuk langsung oleh Pimpinan Sekolah."

"Lah, berubah lagi!" Kata Nisa. "Tadi katanya karena setifikat Diklat lain. Sekarang katanya ditunjuk Pimpinan Sekolah?" Kata Nisa sambil tertawa, merasa aneh. "Lagipula, Kenapa tim-tim lain tidak ditunjuk, cuma tim kita ini yang ditunjuk, istimewa sekali tim kita ini. Timnya kamu nggak ditunjuk kan Lis?" Tanya Nisa.

"Enggakkk.." kata Wilis sambil tertawa.

Kami semua kecuali Dinda tertawa, termasuk Tika, dengan tawa yang aneh, tawa tanpa bunyi.

"Sudah, sudah..emang kalian semua ini aneh!" Kata Dinda yang tiba-tiba duduk dengan tegak, yang seolah dari tadi sedang tidur dengan nyaman, tapi merasa terganggu karena kami semua ribut. 

"Kok kita, enak aja! Bosnya Tika tuh yang aneh..!" Kataku membela diri.

"Dih, kok bos saya? Tahu tuh bosnya siapa? Bosnya Mba Liyana kali?!" Jawab Tika.

"Enak aja, nggak mau aku! Terserah lah sana, buat siapa itu yang mau!" Kata Liyana sambil melirik tajam.

"Hmmmm.." Kata Dinda lagi, masih sambil merebahkan badannya lagi, ke meja kerjanya Liyana lagi, dengan deheman yang panjang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun