"Ah, itu anak berdua mah, walaupun tidak dimintai tolong untuk membelikan lotis juga tetap ngelayap, pergi ke luar, panas-panas gini!" Kata Dinda, yang sudah mengundurkan diri dari arena makan lotis, karena kepedesan, dan sekarang sedang duduk sambil mengantuk dengan kadang merebahkan setengah badannya di meja kerjanya Liyana.
Nisa dan Wilis tertawa, meski tidak mengeluarkan suara, hanya memamerkan gigi-giginya saja.
"Hehe..kadang sumpek di dalam sekolah terus Mba!" Jawab Nisa.
"Eh, Mba, aku dengar kamu dilompati lagi ya, Diklat Asesornya?" tanya Nisa tiba-tiba, seolah baru teringat akan hal tersebut.
"Iya, bener. Dulu aku dilompati Liyana, sekarang aku dilompati..entah siapa?"Â
"Sori gaiss, aku dulu tidak sengaja melompat kamu, Alia. Aku cuma ditanya oleh bos. Tanya, antara aku sama kamu, siapa yang duluan di sekolah ini?
Terus, aku jawab, ya secara tanggal, kamu duluan, Alia, yang masuk sekolah ini. Tapi secara ngajar, aku duluan yang ngajar, karena waktu itu kamu lagi sekolah S2 kan?
Eh, ternyata, katanya mau dijadikan dasar untuk memutuskan siapa yang akan diikutkan Diklat Asesor. Eh, akhirnya aku yang dipilih bos untuk ikut Diklat asesor.
Aku juga tidak tahu, kalau waktu itu, sebenarnya kamu yang sudah ditunjuk oleh bos, untuk ikut Diklat Asesor. Jadi ya sori, aku hanya korban keputusan bos!" Kata Liyana, berusaha menunjukkan penyesalannya.
"Santai, kita semua di sini korban keputusan, kok!" Kataku kemudian, sambil tersenyum berusaha mengurangi kecanggungan dan rasa bersalahnya Liyana.
"Kita mah di sini apa ya Mba, cuma pelaksana keputusan. Bukan tim yang diajak diskusi dan diputuskan bersama segala sesuatunya." Komentar Tika.