"Oh, ini pisangnya? Banyak banget gitu? Emang tidak busuk ini? Siapa yang akan mengerjakan? Siswa kan lagi COVID-an, lagi pada belajar dari rumah?" Omel Liyana lagi.Â
"Itu beli minyak goreng juga banyak banget?" Tambah Liyana lagi.
Aku dan Halima diam, hanya kadang menanggapi kata-kata Liyana dengan tawa cibiran.
Kami sendiri tidak tertarik untuk mengambil pisang tersebut, jadi setelah melihat pisang-pisang tersebut sejenak, yang memang jumlahnya cukup banyak, kami, meski tidak terucap, kompak kembali ke ruang guru.
"Cair lagi ya uang praktik? Kok kita tidak diberi tahu. Aku kemarin sudah pakai uang pribadi lho untuk praktik, Rp 300.000,-." Kata Liyana, setelah masuk ke ruang guru, sambil menatap aku dan Halima, posisinya masih berdiri.
"Katanya mereka pinjam uang sekolah." Kata Halima tertawa, sambil kembali duduk di kursinya.
Liyana menatap Halima tidak mengerti.Â
"Yup, betul, kata Tika, mereka pinjam uang sekolah sebesar 10 juta untuk modal usaha." Kataku yang juga masih berdiri di depan meja kerjaku, menambahi informasi yang disampaikan oleh Halima.
"Pinjam uang sekolah untuk modal usaha? Kok kita tidak diberi tahu? Kita kan tim?"
"Nah itu dia.." kata Halima, masih sambil tertawa. Mungkin tawa tidak berdaya, mungkin tawa marah, dan mungkin tawa sedih, sama seperti yang kurasakan.
"Masalahnya mereka meminjam atas nama tim, kita tidak diberi tahu. Pihak sekolah bisa saja mengiranya kita semua tahu, dan kita juga akan dapat bagian uang tersebut." Kataku lagi, masih berdiri, masih tertawa, sama seperti tawanya Halima. "Makanya tadi kubilang, ada yang lebih parah dari itu!" Kataku lagi menambahi.